Susy Susanti

Hari Olahraga Nasional dan Jejak Kedaulatan Indonesia

7 September 2020 10:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Susy Susanti menyalakan obor Asian Games di GBK. Foto: Reuters/Cathal Mcnaughton
zoom-in-whitePerbesar
Susy Susanti menyalakan obor Asian Games di GBK. Foto: Reuters/Cathal Mcnaughton
ADVERTISEMENT
Hari Olahraga Nasional (Haornas) XXXVII diperingati pada 9 September 2020. Ini merupakan salah satu hari terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kenapa? Sebab, olahraga pernah menjadi aspek penting bagi Indonesia untuk menunjukkan kedaulatannya kepada dunia.
Mari kita mundurkan memori ke tahun 1948. Kala itu, Indonesia hendak berpartisipasi dalam ajang Olimpiade musim panas yang diadakan di London, Inggris, Juli-Agustus 1948.
Ya, sebagai negara yang baru merdeka, salah satu cara Indonesia untuk menunjukkan kedaulatan bangsa adalah dengan mengikuti hajat-hajat besar skala internasional. Dalam konteks olahraga, Olimpiade menjadi sasaran menarik.

Mengenang ISI Sport Week

Dalam situs web resmi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), terpapar kisah tentang keberadaan Ikatan Sport Indonesia (ISI) yang didirikan sejumlah pemuda Indonesia pada 1938. Walau kala itu Indonesia belum merdeka, tetapi ISI diklaim telah menjalin kontak dengan Komite Olimpiade Asia.
ADVERTISEMENT
Anggotanya adalah PSSI (Perserikatan Sepak Bola Indonesia), Pelti (Perserikatan Lawn Tenis Indonesia), dan Perserikatan Bola Keranjang Seluruh Indonesia (PBKSI). Ya, baru tiga federasi.
Balap Sepeda BMX di Asian Games 2018. Foto: istimewa.
Nah, ISI memiliki turnamen bernama Sport Week yang diadakan setiap tahun. Tujuan penyelenggaraannya adalah membangkitkan persatuan dan persaudaraan masyarakat lewat olahraga.
ISI hendak menunjukkan jati diri Indonesia melalui pertunjukan olahraga yang melibatkan berbagai cabor yang juga eksis sampai sekarang. Selain itu, Sport Week juga dijadikan sebagai instrumen persatuan dalam kaidah perjuangan melawan penjajahan.

Sulitnya Indonesia menembus Olimpiade

Pada 1948, Indonesia ingin berpartisipasi di Olimpiade London 1948. Untuk itu, Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dan Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI)--kini dilebur menjadi KONI--ditugaskan membentuk delegasi Indonesia.
Namun, keinginan Indonesia terhalang jalan terjal. Salah satunya karena PORI yang berdiri pada 1946 belum terdaftar sebagai anggota International Olympic Committee (IOC)--badan penyelanggara Olimpiade.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Indonesia tak bisa mengirimkan atlet-atletnya untuk berpartisipasi dalam turnamen empat tahunan itu. Sudah begitu, Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, masih diganggu Belanda baik di dalam maupun luar negeri.

Aksi Belanda menjepit Indonesia

Di dalam negeri, Belanda membuat Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947. Isinya, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia (RI) atas Sumatera, Jawa, dan Madura; serta tentang pembentukan Negara Indonesia Serikat.
Belanda semakin memojokkan Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer I selama 21 Juli-5 Agustus 1947. Setelah itu, Indonesia kian terjepit dengan hadirnya Perjanjian Renville: Wilayah RI yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
Belanda juga memainkan peran mereka di forum-forum internasional. Dengan begini, Indonesia kian sulit meminta pengakuan kemerdekaan dari negara-negara lain dan semakin sulit pula berpartisipasi di turnamen internasional.
ADVERTISEMENT
Hingga pertengahan 1948; baru Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, Yaman, Palestina, Vatikan, dan Irak yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Inggris dan negara-negara lain di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum mengakui kemerdekaan Indonesia.
Warga menyaksikan proses pembangunan Kompleks Stadion Papua Bangkit di Distrik Sentani Timur. Foto: ANTARA FOTO/Gusti Tanati

PON sebagai Cikal Bakal Hari Olahraga Nasional

Alhasil, kalau atlet-atlet Indonesia ingin kekeh bertanding di Olimpiade, mereka harus memakai paspor Belanda. Ini jelas mendapat penolakan mentah-mentah pada waktu itu.
Akhirnya, ya, sudah, Indonesia gagal mentas di Olimpiade. KORI dan PORI pun membuat rencana lain: Menyelenggarakan pesta olahraga dalam negeri yang disebut Pekan Olahraga Nasional (PON).
Tujuannya adalah menegaskan kekuatan bangsa Indonesia. Jadi, dengan wilayah yang sempit saja (gara-gara perjanjian Renville), Indonesia mengadakan acara olahraga skala nasional.
Selain itu, PORI juga hendak kembali menghidupkan semangat ISI dalam Sport Week-nya dulu. Singkat cerita, PON I diadakan di Surakarta (Solo) selama 9-12 September 1948. Nah, tanggal 9 September telah ditetapkan sebagai Haornas sejak 1983.
ADVERTISEMENT

Sekilas tentang PON I

Stadion Sriwedari Solo. Foto: pariwisata.surakarta.go.id
Penyelenggaraan PON I terpusat di Stadion Sriwedari, stadion yang kala itu dikenal sebagai salah satu fasilitas olahraga terbaik di Indonesia. Sudah ada kolam renangnya pada waktu itu.
Ada sekitar 600 atlet yang berpartisipasi di PON I. Atlet-atlet itu terbagi dalam 13 tim yang mewakili kota dan karesidenan.
Mereka memperebutkan 108 medali dalam 9 cabang olahraga: Atletik, bola keranjang, bola basket, bulu tangkis, sepak bola, tenis, panahan, pencak silat, dan renang plus polo air.
Karesidenan Surakarta selaku tuan rumah menjadi juara umum. Mereka meraih 36 medali, dengan rincian: 16 emas, 10 perak, dan 10 perunggu.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten