Jangan Cuma Transportasi Jakarta yang Ramah Difabel

4 Oktober 2018 10:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ni Nengah Widiasih saat di Pelatnas. (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ni Nengah Widiasih saat di Pelatnas. (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
ADVERTISEMENT
Pesta para atlet penyandang disabilitas atau difabel bakal hadir di Jakarta dengan tajuk Asian Para Games 2018. Indonesia untuk pertama kali menghelat multievent paralympic terbesar se-Asia itu. Yang menjadi pertanyaan, sudah siapkah kita menjadi tuan rumah yang baik?
ADVERTISEMENT
Berbagai venue di kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Senayan dan kawasan lain di seputaran DKI Jakarta serta satu di Sirkuit Internasional Sentul, disulap lebih ramah disabilitas. Bakal ada ramp hingga toilet disabilitas portable untuk memenuhi kebutuhan difabel.
Di GBK, salah satunya Istora, tribune venue pun dirombak untuk membuat panggung sementara sebagai tribune kursi roda. Sementara venue lain yang besar, seperti Stadion Utama, sudah memiliki area disabilitas kursi roda. Sekiranya, 'hanya' menyoal penyelenggaraan acara, venue bolehlah dibilang siap.
Satu yang belum disinggung, adalah soal transportasi. Bagi atlet, delapan venue terpusat di GBK tentu sangat mudah dijangkau. Menuju 10 venue lain di Jakarta juga mudah dengan pengawalan kepolisian, begitu juga di Sentul, Bogor. Bagi penyandang disabilitas yang bukan atlet, mereka akan menarik mundur terhadap persoalan fasilitas umum saat ditanya keinginan menonton Asian Para Games.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, bila mau ke GBK, sudahkah transportasi memadai dari rumah-rumah mereka? Sebenarnya, sudah ada Transjakarta Cares dari PT Transportasi Jakarta sebagai mobil antar-jemput gratis bagi penyandang disabilitas. Jumlahnya 26 unit, yang setiap harinya bisa mengangkut total 200 orang.
Ide itu sendiri, kata Direktur Utama PT Transportasi Jakarta, Budi Kaliwono, muncul karena pada 2016 lalu 240 halte Transjakarta tidak semuanya mudah akses (accessible) bagi difabel. Seiring perkembangan, sebanyak 289 unit bus low entry juga sudah lalu-lalang di Jakarta.
Namun, semua itu hanya bisa dicicipi para penyandang disabilitas di Jakarta. Pun delik transportasi, sangat mereka butuhkan tak hanya di Ibu Kota. Ada Ni Nengah Widiasih, yang mengaku sering merasa iri bila melihat infrastruktur tiap kali berlomba di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Atlet angkat berat asal Karangasem itu bahkan sedih melihat fasilitas umum bagi penyandang disabilitas di Pulau Dewata. Bali, boleh saja menjadi surga bagi para turis, tapi jalanan Bali bukanlah destinasi yang ramah bagi 'Manusia Hebat' seperti Ni Nengah.
Ia sendiri terlahir normal, tetapi di usia 3 tahun demam panas berujung dengan lumpuhnya kedua kaki Ni Nengah. Sejak itu, kursi roda menjadi bagian terpenting dalam kehidupannya.
"Saya suka sedih kalau pulang ke Bali, hampir semua tempat susah kami (penyandang disabilitas) datangi. Saya juga tidak pernah naik transportasi umum macam bus di Bali, haltenya terlalu curam," kata Ni Nengah kepada kumparanSPORT.
Sehari-hari, peraih perunggu di Paralimpiade 2016 nomor -42 kg itu menggunakan mobil pribadi. Ketika bepergian, Widi --sapaan akrabnya-- selalu mengajak saudara, adik, atau kakak karena ada tempat-tempat yang tidak bisa dilalui, misalnya tangga.
ADVERTISEMENT
Di luar negeri, ia terpukau dengan fasilitas yang serba canggih, terutama di Eropa dan Jepang. Di sana, Widi merasa mandiri. Atlet kelahiran 12 Desember 1989 itu tak perlu lagi meminta bantuan orang lain untuk mobilitasnya. Di negeri orang itu, Widi menjadi 'orang normal'.
"Walau pakai kursi roda, saya merasa seperti orang yang berjalan dengan kaki normal karena ke mana-mana akses bisa dilalui tanpa perlu bantuan. Ketika pulang ke Indonesia, saya suka sedih. Kapan negara saya seperti itu? Pasti (ketika fasilitas di Indonesia lengkap, red) kami menjadi orang difabel yang mandiri, yang tidak perlu mengajak orang lain ke mana-mana,".
"Di Bali, setiap mau pergi ke suatu tempat, saya tanya dulu: Ada akses untuk wheelchair? No. Jadi, saya tidak bisa ke mana-mana. Saya merasa di kampung sendiri seperti orang asing karena butuh bantuan. Malah di negara orang saya merasa liar, seperti orang normal karena bisa pergi sendiri," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Atlet voli duduk Asian Para Games 2018, Nina Gusmita (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet voli duduk Asian Para Games 2018, Nina Gusmita (Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan)
Sama seperti Widi, Nina Gusmita juga sulit mengakses transportasi umum bus dengan kondisi satu kakinya. Atlet voli duduk 'milenial' kelahiran Medan, 8 Agustus 1998 itu, mengaku hanya bepergian dengan taksi online, yang pada akhirnya tak lebih sulit ketimbang kebutuhan rekan-rekan disabilitas kursi roda.
"Sebetulnya mudah, banyak taksi online. Kalau saya main sehari-hari di Medan, tidak pakai bus. Karena di sana bus hanya untuk jarak jauh. Jadi saya pakai taksi atau mobil. Di Solo juga sama, tapi masih ada kendaraan umum," kata Nina kepada kumparanSPORT saat ditemui di kawasan Senopati, Kamis (27/9).
"Di Indonesia, secara umum, untuk wheelchair masih sulit. Tapi kalau seperti saya, sih, masih mudah dijangkau. Ke mana-mana bisa sendiri. Untuk keramahan, Solo nomor satu, di sana orang selalu tersenyum ke kami. Tapi, saya nyaman di Medan, rumah sendiri. Jakarta modern, tapi saya tidak tahan macetnya," ujar Nina mengakhiri.
ADVERTISEMENT
Bagi Widi, Nina, serta atlet disabilitas Indonesia lainnya, Asian Para Games pada 6-13 Oktober 2018 pada akhirnya menjadi panggung utama untuk mengangkat hak para 'Manusia Hebat'. Setelahnya, baru pemerintah yang memiliki pekerjaan rumah untuk meneruskan spirit ramah disabilitas di Tanah Air, agar momen Asian Para Games tak cuma menjadi pesta yang usai begitu gelarannya berakhir.
====
*Simak pembahasan mengenai perhelatan Asian Para Games 2018 dan fasilitas publik untuk difabel di konten khusus “Ramah Difabel”.