Jangan Panggil Quartararo 'The Next Marquez'

14 November 2019 15:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rookie of the Year 2019, Fabio Quartararo. Foto: Toshifumi KITAMURA / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Rookie of the Year 2019, Fabio Quartararo. Foto: Toshifumi KITAMURA / AFP
ADVERTISEMENT
Selamat ulang tahun ke-20! Dua belas tahun lebih tiga bulan dan tiga hari sejak harimu yang sekarang, saya menulis ini untuk mengabarkan bahwa kamu babak-belur, tetapi tidak mati. Sebenarnya saya tidak tahu itu kabar baik atau buruk.
ADVERTISEMENT
Saya tahu kamu melihat sekeliling. Bertahun-tahun, hampir semua yang kamu lihat membuatmu bergidik ngeri. Orang-orang di sekitarmu berkawan dengan kecepatan. Mereka mencapai segala yang hebat dengan cepat.
Saat kamu masih pening memikirkan alasan apa lagi yang kamu berikan ketika ibumu bertanya soal skripsi yang tidak selesai-selesai, kawan-kawanmu sudah memamerkan gaji pertama.
Ketika kamu kesulitan mengatur gaji pertama, kawan-kawanmu sudah pusing memilih cicilan apa yang bakal mereka ambil. Mobil dulukah? Atau lebih baik menabung untuk DP rumah? Pertanyaan itu berulang-ulang hinggap di telingamu.
Yang bisa kamu lakukan cuma menyulut batang rokok kesekian. Lalu kamu batuk-batuk, lalu kamu punya alasan untuk mengambil air minum, dan tak kembali ke tengah-tengah mereka.
Kim Jong-un merokok dalam perjalanan ke Vietnam. Foto: AP
ADVERTISEMENT
Orang-orang di sekelilingmu bekerja dengan cepat. Mereka sudah membereskan lima tugas, kamu masih sibuk menyelesaikan yang kedua.
Belakangan kamu menyadari bahwa kamu orang yang lambat. Kamu melawan bertahun-tahun. Membuat daftar prioritas, datang lebih cepat, menjauh dari orang lain, dan bangun tengah malam untuk mulai bekerja.
Hasilnya sama saja. Kamu tetap yang paling lambat. Hingga akhirnya kamu dan kelambatanmu berdamai. Sepertinya kalian sudah muak bertengkar.
Kamu sampai pada satu pengertian bahwa hidup tidak pernah menuntutmu untuk menjadi yang tercepat terus menerus. Untuk pengertian yang satu ini, kamu berutang pada Fabio Quartararo.
Usianya masih delapan tahun di waktumu yang sekarang. Orang-orang bahkan belum menyadari bahwa di dunia ini ada manusia bernama demikian. Dua belas tahun dari waktumu yang sekarang, orang-orang mengenal Quartararo sebagai pebalap MotoGP.
ADVERTISEMENT
Iya, balapan motor itu. Kamu pikir urusanmu cuma sepak bola?
Fabio Quartararo menutup GP Jepang 2019 di posisi kedua. Foto: Toshifumi KITAMURA / AFP
Kamu membaca wawancara Mat Oxley yang berjudul How I Ride: Fabio Quartararo. Waktu membacanya pertama kali, kamu langsung membayangkan bicara empat mata dengan atlet yang begitu kamu puja.
Hidup para pebalap adalah tentang kecepatan. Selalu tentang kecepatan. Waktu 0,1 detik saja bisa membuat mereka kalah. Waktu 0,1 detik pun bisa mengantar mereka ke puncak prestasi.
Di hari saya menulis surat ini, Quartararo sudah 20 tahun. Usia yang sama denganmu. Di usianya yang sekarang ia sudah berstatus sebagai pebalap MotoGP.
Masih rookie, sih, tetapi rookie terbaik. Ia berulang kali menyulitkan senior-seniornya. Valentino Rossi yang sama-sama pebalap Yamaha saja mati kutu dibuatnya, padahal Rossi adalah idolanya sejak bocah.
ADVERTISEMENT
Quartararo bercerita kepada Oxley bahwa ia pernah ngentang berjam-jam di hotel tempat Rossi menginap hanya untuk mendapatkan tanda tangan. Kini Rossi mendongak padanya.
Ia berulang kali melihat data Quartararo seusai balapan. Rossi mengukur performanya sendiri dengan menjadikan catatan Quartararo sebagai patokan. Hidup itu gila, bukan?
Fabio Quartararo tengah) di Chang International Circuit, Buriram, Thailand. Foto: REUTERS/Soe Zeya Tun
Saya tidak akan bertanya apa yang kamu lakukan di usia 20 tahun. Buat apa ditanyakan kalau saya memang tahu? Kalau bertahun-tahun setelah ini ada yang bertanya seperti itu, diamkan saja.
Lagi pula, kebanyakan orang yang bertanya demikian menghabiskan jam-jamnya untuk mencari kalimat puitis dari Goodreads untuk dipakai sebagai caption foto di Instagram.
Nanti kamu bakal tahu apa itu Instagram. Sekarang kamu puas-puaskan saja main Friendster.
ADVERTISEMENT
Quartararo bukan rookie yang diunggulkan di awal musim 2019. Ia hanya menyelesaikan Moto2 2018 di posisi 10. Bandingkan dengan Marc Marquez yang datang ke MotoGP 2013 dengan status juara Moto2 2012.
Quartararo mengawali MotoGP 2019 dengan semenjana. Tak heran jika awalnya ia diprediksi tak lebih dari sekadar penggembira.
Bandingkan lagi dengan Marquez. Musim perdananya di MotoGP ditutup dengan gelar juara. Dalam kurun 2013 hingga 2019, hanya musim 2015 yang tidak diselesaikan Marquez dengan gelar juara.
Hari-hari Quartararo berubah sejak GP Catalunya. Untuk pertama kalinya Quartararo naik podium MotoGP. Ia menutup balapan di posisi runner up alias di belakang Marquez.
Quartararo berubah menjadi pebalap yang layak diwaspadai. Duel sengit menjadi kisah membalapnya dalam beberapa seri terakhir, termasuk di GP Thailand ketika Marquez menyegel gelar juara.
ADVERTISEMENT
Hingga GP Jepang selesai, Quartararo mengemas 163 poin dan menempati posisi enam. Pebalap asal Prancis ini sudah enam kali naik podium pada 2019. Atas performanya, Quartararo dinobatkan sebagai Rookie of the Year.
Pebalap Petronas Yamaha, Fabio Quartararo, merayakan kesuksesan menaiki podium di GP Catalunya. Foto: Pau Barrena/AFP
Kamu bukan orang yang naif. Salah satu temanmu pernah berkata kamu menua terlalu cepat. Pegang saja ini. Perhitungan itu perlu.
Quartararo ternyata bukan anak muda naif. Di usianya yang 20 tahun, ia bahkan berbicara seperti Yoda. Ketika para pebalap muda seusianya memegang prinsip full throttle, Quartararo percaya bahwa tidak semua kecepatan bisa dimilikinya.
Yang menjadi perhatian Quartararo adalah corner speed alias kecepatan saat di tikungan. Bukan berarti aspek lain tidak dipikirkan. Quartararo bertekad mengembangkan aspek lain tanpa kehilangan corner speed-nya.
ADVERTISEMENT
Pengertian semacam ini ditemukannya saat berbincang dengan Marquez. Juara dunia itu bercerita bahwa ia datang ke MotoGP pada 2013 dengan corner speed yang sangat oke.
Kualitas itu lama kelamaan menghilang karena Marquez berusaha membenahi area lain. Quartararo lantas mengambil kesimpulan bahwa ia tak boleh mempertaruhkan corner speed.
Saran untukmu, carilah kawan seperti Marquez. Sehebat-hebatnya kalian bersaing, sehebat itu pulalah kalian saling menopang.
Podium juara MotoGP Catalunya 2019. Foto: REUTERS/Albert Gea
Quartararo pernah menjadikan Marquez sebagai beban. Waktu itu sekitar 2015. Quartararo masih membalap di Moto3, masih 16 tahun.
Orang-orang mengecapnya sebagai 'The Next Marquez'. Gelar itu ternyata menjadi beban yang tidak perlu. Quartararo memaksakan diri untuk membalap seperti Marquez.
Bukannya juara, ia malah cedera. Pergelangan kakinya patah sehingga harus absen di enam balapan.
ADVERTISEMENT
"Hasilnya buruk, tetapi pengalamannya bagus." Quartararo bicara seperti itu. Kecelakaan tadi menyadarkannya bahwa ia bukan Marquez dan tidak perlu menjadi Marquez.
Motornya dan motor Marquez saja berbeda. Kru yang menangani dan tim yang menaunginya juga berbeda. Berangkat dari situ, Quartararo memulai semuanya dari awal pelan-pelan.
Ia mempelajari kru dan motornya, termasuk apa yang diinginkan timnya. Ternyata ada waktu tertentu yang membuat prinsip alon-alon asal kelakon berlaku bagi pebalap.
Fabio Quartararo merayakan finis ketiga di MotoGP Austria 2019. Foto: REUTERS/Lisi Niesner
Pengenalan itu membawa Quartararo peningkatan satu aspek. Pengereman.
Beberapa jam sebelum tes pramusim di Sepang, Quartararo berpikir tentang pengereman melulu. Seperti apa mengerem yang tepat, bagaimana lawan mengerem, atau kapan pengereman bakal jadi efektif. Macam-macam.
Meski demikian, pemikiran yang seabrek itu tidak berbanding lurus dengan hasil tes. Catatan waktu Quartararo ada di urutan 16 di antara 28 pebalap.
ADVERTISEMENT
Harapan bagi Quartararo muncul kembali begitu melihat hasil tes pramusim terakhir di Qatar. Catatan waktu Quartararo ada di posisi kedua. Torehan waktu 1 menit 54,441 detiknya berselisih 0,233 dari catatan Maverick Vinales, si pebalap tercepat kala itu.
"Saya tidak lagi ambil pusing soal pengereman saat di Qatar. Ternyata kualitas pengereman saya jadi meningkat. Itu langkah terbesar saya di sepanjang musim," seperti itu kata Quartararo.
Pebalap Honda Repsol Marc Marquez (kanan) dan pebalap Petronas Yamaha SRT, Fabio Quartararo. Foto: AFP/LILLIAN SUWANRUMPHA
Pengereman dalam balap motor tidak bicara tentang berhenti. Pengereman bicara soal mengendalikan kecepatan. Ketika pebalap sedang melaju dalam kecepatan penuh, kelengahan sering mengintip dan petaka gemar menghantam.
Tidak perlu bicara podium lagi kalau begini. Ia bisa tergelincir, terguling di gravel trap, lalu merutuk kesal.
ADVERTISEMENT
Quartararo tak mau balapannya selesai lebih cepat. Ia memang mengidolakan Rossi dan disejajarkan dengan Marquez. Namun, ia tidak mau menjadi agresif seperti mereka.
Halus, presisi, konsisten. Agresif hanya saat dibutuhkan. Quartararo ingin menjadi pebalap yang seperti itu.
Tidak mengherankan jika jelang GP Valencia alias seri terakhir, Quartararo baru sekali mengalami crash. Insiden itu terjadi di GP Australia. Itu pun karena dia ditabrak oleh Danilo Petrucci.
Beberapa tahun dari sekarang, kamu akan bertemu dengan orang yang kau jadikan tolok ukur. Barangkali seperti idola. Dia tidak akan membuatmu berteriak histeris. Dia akan membuatmu ingin menjadi sepertinya.
Tanpa menjadi Rossi atau Marquez, Quartararo tidak mengalami musim yang buruk. Malah impresif. Kini ia sudah mengemas 172 poin dan ada di posisi enam. Ia bahkan punya peluang untuk menutup musim sebagai pebalap tim satelit dengan posisi tertinggi.
ADVERTISEMENT
Benang merahnya, kamu tidak perlu berusaha menjadi orang yang kepadanya kamu menikamkan mata lekat-lekat. Kalaupun masih lambat, rasanya tak bakal jadi masalah asalkan tidak terlambat. Toh, kamu bukan pebalap.
Balapan, pada akhirnya, akan tetap menjadi tanda tanya raksasa bagi Quartararo. Tidak ada yang bisa mengetahui pasti bakal jadi pebalap seperti Quartararo di masa depan. Jangankan bicara musim-musim mendatang, akhir musim ini saja belum pasti.
Akan tetapi, kamu bukan Quartararo. Pada suatu waktu, kamu bakal sampai pada titik yang membuatmu percaya bahwa kamu akan finis sebagai orang yang lebih baik daripada baik-baik saja.
***
Catatan penulis: Membaca tulisan para bintang olahraga dalam kanal Letter to My Younger Self di The Players' Tribune selalu menyenangkan. Namun, rasanya kita semua tidak perlu menjadi bintang dulu untuk menulis seperti itu.
ADVERTISEMENT
Rasanya kita tidak harus menjadi siapa-siapa dulu untuk bicara dan senang dengan diri sendiri. Itulah mengapa untuk kali ini kami menulis begini.