Jurnal: Audisi Umum Djarum, Mengilhami Arti Sebuah Perjuangan

24 November 2019 14:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana hari kedua Final Audisi Djarum 2019. Foto: Dok. PB Djarum
zoom-in-whitePerbesar
Suasana hari kedua Final Audisi Djarum 2019. Foto: Dok. PB Djarum
ADVERTISEMENT
"Kemenangan hari ini, bukanlah berarti, kemenangan esok hari. Kekalahan hari ini, bukanlah berarti, kekalahan esok hari."
ADVERTISEMENT
Itu adalah sepenggal lirik dari lagu Dewa berjudul "Hidup Adalah Perjuangan". Lagu ini digubah pada tahun 2000 silam dan menjadi bagian dari lagu yang terdapat dalam album Dewa Bintang Lima.
Pertama kali saya mendengarkan lagu ini adalah ketika menonton sinetron "Jalan Keadilan", yang dibintangi Attar Syah dan Mandala Shoji. Lagu ini merupakan soundtrack sinetron tersebut.
Setelah menonton sinetron itu, lagu ini terpatri dalam pikiran saya. Meski liriknya sederhana, namun kesan yang diberikan cukup dalam. Karena terkadang, sebuah makna memang tak perlu disampaikan lewat kata yang berbelit.
Pada 2019 ini, perwujudan dari lagu ini langsung saya lihat dari anak-anak yang tampil dalam Final Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2019 di Kudus, Jawa Tengah. Berbagai potret perjuangan itu tergambar lewat berbagai pertanda yang saya lihat selama di sana.
Dhiva Violya Marante, peserta audisi umum PB Djarum. Foto: Dok. PB Djarum
***
ADVERTISEMENT
"Tak ada yang jatuh dari langit, dengan cuma-cuma. Semua usaha dan doa."
Siang itu, Kamis (21/11/2019), cuaca di Kudus cukup panas. Hal ini wajar kiranya, mengingat letak dari Kudus yang berdekatan dengan laut. Matahari bersinar terik, menerpa wajah dari orang-orang yang sedang beraktivitas.
Meski begitu, tidak ada rasa lelah maupun gerah yang menimpa anak-anak yang berada di GOR Djarum, Jati, Kudus. Siang itu, mereka berkerumun di atas panggung, menanti pengumuman yang kelak akan membawa mereka menuju masa depan.
Sementara, di sela-sela sudut GOR Djarum, orang tua dan keluarga menggelar tikar. Mereka mengipasi diri di tengah cuaca panas, sesekali makan camilan, sembari menunggu sesuatu. Menunggu memang pekerjaan yang melelahkan, apalagi menunggu sesuatu yang belum pasti.
ADVERTISEMENT
"Kok, sampai begini, ya," ujar saya dalam hati.
Suasana Audisi Umum Djarum 2019 di Kudus. Foto: Sandy Firdaus/kumparan
Hari Kamis adalah hari ketiga saya berada di GOR Djarum. Kedatangan saya ke sini adalah dalam rangka peliputan babak Final Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2019.
Sebelum saya berangkat, beberapa rekan saya memang sempat bercerita, akan banyak sesuatu menarik yang bisa dilihat selama di sana. Awalnya, saya tidak terlalu percaya. Namun, pada akhirnya itu memang benar adanya.
Sejak hari pertama meliput, selain perkara wajah anak-anak yang penuh harap dan para orang tua yang rela menggelar tikar di tengah cuaca panas, saya juga menemukan banyak cerita yang menggetarkan hati.
Kebanyakan, cerita-cerita ini saya dapat dari mereka yang ikut serta Audisi Umum Djarum 2019. Sekadar informasi, audisi ini digelar PB Djarum dalam rangka menyaring bakat-bakat potensial di bidang bulu tangkis.
Suasana Audisi Umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis 2019 di Kudus, Jawa Tengah. Foto: Dok. PB Djarum
Kelak, bagi mereka yang sukses melalui proses audisi ini, akan mendapat kesempatan bergabung bersama PB Djarum. Bagi beberapa orang, kesempatan ini adalah emas, terutama untuk mereka yang memang menjadikan bulu tangkis sebagai fokus hidup.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, wajar jika banyak orang yang berjuang sedemikian rupa agar anaknya bisa mendapatkan beasiswa ini. Nah, cerita yang saya dapat di Kudus ini berisikan ragam perjuangan yang dilakukan oleh orang-orang tersebut.
Ada satu peserta bernama Madinah Dell Azzahra. Hadir bersama sang ayah, Irsan Nanang, Madinah sudah melalui banyak hal sebelum akhirnya ia menginjakkan kaki di Kudus tahun ini, salah satunya adalah kerap berlatih di lapangan yang rusak.
"Saya bilang 'ya tidak apa-apa latihan (di lapangan rusak), toh, latihan di mana pun kalau dia berprestasi (mau usaha) pasti dapat. Buat apa kita latihan di China, tapi kalau akhirnya di sini (Indonesia) kalah juga," tegas Irsan.
Lain Madinah, lain pula Yuga Gustisyah. Bocah asal Aceh ini sampai mengorbankan sekolahnya selama sebulan penuh, hanya demi satu impian yang mungkin kerap mengganggu mimpinya: masuk PB Djarum. Hal ini jelas bukan perkara mudah.
ADVERTISEMENT
Namun, Yuga bergeming. Ia akhirnya memilih berlatih di Lumajang bersama Dwinur Supriyanto. Hasilnya juga terbilang bagus: Yuga berhasil melangkah ke fase karantina, fase terakhir seleksi Audisi Umum Djarum.
"Untuk mempersiapkan audisi umum tahun ini Yuga enggak sekolah, karena latihan penuh di Lumajang. Yuga masih sekolah kelas enam SD, selama sekolah ia berlatih di Aceh (bersama PB Teuku Umar),” ujar Yushansyah, sang ayah.
"Kemarin bulan Oktober ikut audisi Surabaya, Yuga enggak balik lagi ke Aceh, latihan di Lumajang terus sampai hari ini. Alhamdulillah sekolahnya mendukung penuh," lanjutnya.
Suasana audisi umum PB Djarum 2019. Foto: Sandy Firdaus/kumparan
Namun, dari semua perjuangan dan pengorbanan ini, beberapa di antaranya ada juga yang tidak membuahkan hasil. Hal ini dialami oleh Tanaya Yafiyah Darojat. Selepas hasil pengumuman pada Kamis (21/11) siang, saya melihat Tanaya menangis.
ADVERTISEMENT
Lalu, saya mengikuti Tanaya dan menemui ayahnya, Bambang Sarjono. Sang ayah tampak memahami kesedihan sang anak, apalagi ia sudah ikut Audisi Umum Djarum selama lima kali, yakni sejak 2015 hingga 2019.
"Karena punya target harus masuk, ia (Tanaya) sempat histeris, apalagi yang masuk (fase karantina) yang biasanya di bawah dia terus. Sempat shock dia," ujar sang ayah.
Beberapa potret ini akhirnya menjawab tanya saya yang hadir sejak hari pertama saya berada di sini. Wajah anak penuh harap serta tikar-tikar yang digelar itu merupakan cermin dari para manusia yang sedang menjalani salah satu dasar dari kehidupan: berjuang.
Suasana Audisi Umum Djarum 2019 di Kudus. Foto: Sandy Firdaus/kumparan
***
"Kebenaran saat ini, bukanlah berarti, kebenaran saat nanti. Kebenaran, bukanlah kenyataan"
Seorang filsuf kenamaan dari Jerman, Friedrich Nietzsche, suatu ketika pernah mengungkapkan jika perjuangan adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam hidup. Jika manusia hidup tanpa perjuangan dan kesulitan, manusia akan jadi pincang.
ADVERTISEMENT
Empat hari berada di Kudus meliput Audisi Umum Djarum, menenggelamkan saya pada sebuah pemikiran bahwa sepanjang hidup, manusia memang harus berjuang. Minimal, manusia berjuang untuk hidup setiap harinya.
Suasana hari kedua Final Audisi Djarum 2019. Foto: Dok. PB Djarum
Potret dari perjuangan mereka yang mengikuti Audisi Umum Djarum ini memang menggugah hati. Tapi, yang paling penting, semua potret itu mengajarkan kepada kita bahwa memang, manusia tidak boleh menyerah dalam hidup. Selalu ada ruang untuk perjuangan di dalamnya.
Toh, bukankah apa yang tidak membunuh kita dalam hidup, akan membuat kita jadi lebih kuat? Dengan catatan, kita mau belajar dari apa yang tidak membunuh kita tersebut.
"Hidup, adalah, perjuangan tanpa henti-henti. Usah, kau, menangisi hari kemarin. Hidup adalah perjuangan, hidup adalah perjalanan."
ADVERTISEMENT