Kunci Sukses Ahsan/Hendra: Pintar-pintar Atur Diri

16 Desember 2019 17:15 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ahsan/Hendra beraksi di BWF World Tour Finals 2019. Foto: Dok. PBSI
zoom-in-whitePerbesar
Ahsan/Hendra beraksi di BWF World Tour Finals 2019. Foto: Dok. PBSI
ADVERTISEMENT
Teriakan “Atur diri!” pernah menjadi karib telinga para pencinta bulu tangkis Indonesia. Itu adalah instruksi khas Sigit Pamungkas, pelatih legendaris PBSI yang pernah membesut ganda putra Indonesia.
ADVERTISEMENT
Teriakan tadi tidak asal lantang dan bukan adu galak belaka. Teriakan itulah yang mengantar Hendra Setiawan dan Markis Kido ditahbiskan sebagai juara dunia lewat pengalungan medali emas Olimpiade 2008.
Frase ‘atur diri’ adalah frase yang langka. Bila kita menyimak sebagian besar laga musim ini saja, instruksi demikian sama sekali tak terdengar. Tak cuma di ganda putra, nomor-nomor lain pun begitu.
Kebanyakan dari kita akan mendengar para pelatih bicara “Berani, ya,” atau “Jangan tinggalkan net” kepada anak-anak didik mereka di jeda interval atau gim. Memang tidak ada yang salah. Toh, instruksi bicara soal kebutuhan pemain di suatu laga.
***
Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan menutup musim 2019 dengan berdiri di podium puncak, terbaik di antara yang terbaik.
ADVERTISEMENT
BWF World Tour Finals bukan turnamen sembarangan. Tak semua pebulu tangkis bisa berlaga di sana. Hanya ada 40 pebulu tangkis atau delapan kontestan untuk setiap nomor.
Itu pun tidak asal mendaftar. Cuma mereka yang lolos kualifikasi, yang ditentukan dari perhitungan poin seluruh BWF World Tour, yang bisa turun arena memperebutkan gelar juara.
Pasangan ganda putra Indonesia, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, di ajang BWF World Tour Finals 2019. Foto: Dok.PBSI
Ahsan/Hendra tidak melakoni musim 2019 dengan gelar juara melimpah. Selain BWF World Tour Finals 2019, mereka ‘cuma’ mengamankan tiga gelar juara: All England, New Zealand Open, dan Kejuaraan Dunia.
Di antara keempatnya, hanya New Zealand Open yang jadi kompetisi BWF di bawah level 500. Bila konteksnya diperluas, keempat gelar juara itu direngkuh Ahsan/Hendra tanpa All Indonesian Final.
ADVERTISEMENT
Segala pencapaian yang direngkuh Ahsan/Hendra disebut-sebut sebagai anomali. Keempat mahkota juara tadi adalah penyimpangan untuk usia yang tak lagi muda, kelainan soal status sebagai pemain non-Pelatnas.
Semuanya tampak mudah jika dilihat begitu saja. Namun, behind the scene memang tak semewah highlight.
Di sana ada latihan keras, dikalahkan lawan, dikandaskan rekan senegara, dipertanyakan, berganti pasangan, bertandem lagi, keluar dari Pelatnas, dikritik, dikalahkan lagi hingga akhirnya merengkuh sejumlah gelar bergengsi.
Ganda putra Indonesia, Hendra Setiawan (kiri) dan Mohammad Ahsan (kanan), bersama Herry Iman Pierngadi menunjukkan medali dan piala. Foto: ANTARA FOTO/Bimo - Humas PBSI
Tahun 2006 adalah babak baru bulu tangkis. Metode lama yang dengan target akhir 15 diganti dengan skor akhir 21. Lain aturan, lain gaya main. Mereka yang mengandalkan permainan bertahan bakal babak-belur jika mempertahankan pola serupa di era 21 poin.
Era ini adalah era kecepatan dan kekuatan. Tuntutannya kompleks. Kau harus cepat dan kuat sekaligus. Barangkali ini seperti sepak bola modern yang menuntut para pemain bertahan--termasuk kiper--untuk terlibat dalam serangan, tetapi tidak boleh lupa bertahan. ‘Kan ruwet.
ADVERTISEMENT
Untuk melaluinya, Ahsan/Hendra melakukan semua hal yang mereka bisa supaya bisa naik lagi dan bertahan di level top dengan lama. Ahsan/Hendra mau tak mau mesti jeli dengan kelemahan dan keunggulan, mesti cepat tanggap akan perubahan dan perkembangan lawan.
Jurnal soal kelemahan dan keunggulan lawan yang biasa mereka tulis tetap dilanjutkan. Hanya, belakangan caranya lebih canggih. Keduanya menonton video pertandingan lawan di Youtube.
Tak sampai di situ. The Daddies juga tak sungkan untuk menonton langsung saat calonnya sedang bertanding. Konon, pandangan mata langsung acap mendulang detail yang tak tertangkap kamera.
Cara bermain di lapangan juga mesti diatur. Hendra yang biasanya menjadi kapten di lapangan depan mesti berbagi tugas secara merata dengan Ahsan.
Ahsan/Hendra beraksi di BWF World Tour Finals 2019. Foto: Dok. PBSI
Beberapa tahun lampau kita menyaksikan pembagian tugas yang jelas antara Hendra dan Ahsan. Hendra tangkas betul saat mencobai refleks lawan dari jarak dekat. Sergapan dan dorongan tajam ke arah tubuh menjadi manuver yang acap mematikan langkah lawan.
ADVERTISEMENT
Sementara, Ahsan bertugas menyisir area belakang. Ketangguhannya menggalang pertahanan menjadi antidot bagi Hendra yang tak begitu andal jika bertugas di lapangan belakang. Namun, bulu tangkis era modern menuntut pemain buat jadi serbabisa.
Untuk menjadi pasangan yang komplet, keduanya mesti seimbang di lapangan depan dan belakang. Kalau di lapangan belakang mesti tangguh dan tangkas, kalau di lapangan depan mesti tajam dan teliti.
Permainan seperti ini bukan tentang serangan agresif melulu. Bagaimanapun, sebagai pemain senior, Ahsan/Hendra menyadari bahwa aspek fisik menjadi kelemahan mereka. Jika terus menerus menerjang lawan dengan pukulan menggebu-gebu, Ahsan/Hendra kehabisan bensin di tengah jalan.
Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan berfoto dengan pelatih Herry IP menjuarai All England 2019. Foto: Karina Nur Shabrina/kumparan
Itulah sebabnya mereka bermain dengan lebih teliti lewat penempatan shuttlecock dan antisipasi pukulan. Sederhananya, performa Ahsan/Hendra bicara lantang soal kematangan visi bermain.
ADVERTISEMENT
Contohnya terlihat dalam gim pertama final BWF World Tour Finals 2019, tepatnya saat kedudukan imbang 13-13. Service yang dilakoni oleh Watanabe langsung melahirkan duel pukulan lebar. Alih-alih menjawab lawan dengan hentakan smash, Hendra melepaskan pukulan tanggung dan menyilang dari lapangan belakang.
Ia dan Ahsan beberapa kali mengambil posisi sejajar untuk saling bantu melepaskan dan mengembalikan pukulan menyilang. Klimaksnya, Hendra mengambil posisi di sudut kiri lapangan belakang dan menempatkan shuttlecock ke lapangan tengah.
Endo dan Watanabe yang masing-masing ada di kiri dan lapangan langsung bergerak berbarengan ke tengah. Keduanya mengangkat shuttlecock tepat ke arah Ahsan.
Meski demikian, kekuatan ganda Jepang itu berkurang karena Endo terjatuh. Ahsan menutup reli itu dengan trengginas. Ia mengirim smash ke lapangan kiri saat Watanabe masih di tengah dan Endo belum berhasil bangkit.
ADVERTISEMENT
Watanabe bisa menjangkau shuttlecock itu. Namun, ia kehilangan kendali sehingga shuttlecock mengenai ujung raketnya dan malah terpental dari lapangannya sendiri.
Manuver tadi bicara bagaimana mengatur permainan. Hendra adalah tipe pemain yang pintar menjebak lawan. Ia bakal menggiring lawan masuk perangkapnya dengan tempo permainan tanggung. Begitu lawan sudah nyaman, Ahsan akan menghentak sebagai algojo yang membuyarkan pesta.
Yang diatur Ahsan/Hendra bukan hanya taktik paling pas untuk merusak permainan lawan. Menjaga mental adalah perkara yang tak kalah penting. Malang-melintang di ranah bulu tangkis sekitar dua dasawarsa menempa Ahsan/Hendra sebagai pemain bermental baja.
Ganda putra Indonesia Hendra Setiawan (kiri) dan Mohammad Ahsan (kanan) meluapkan kegembiraan usai mengalahkan ganda putra Jepang. Foto: ANTARA FOTO/Bimo - Humas PBSI
Permainan mereka mungkin tidak menghentak-hentak amat, tetapi lebih matang dan aman. Drive-drive jitu menjadi andalan. Penempatan shuttlecock Ahsan/Hendra bukan pertaruhan, tetapi hasil berpikir dengan matang.
ADVERTISEMENT
Di gim ketiga final Kejuaraan Dunia, misalnya. Pelatih ganda putra, Herry IP, menyebut bahwa sebenarnya Ahsan/Hendra sudah panik karena rubber. Bedanya, Ahsan/Hendra bisa mengendalikan diri sehingga tetap optimal.
"Di luar perkiraan saya mereka bisa stabil begitu. Itu namanya pemain senior. Kelebihan mereka sebagai pemain senior dan matang, walau poin kritis mereka bisa menang karena pengaruh jam terbang. Mental mereka bagus," ujar Herry.
"Final Kejuaraan Dunia kemarin, kita tak bicara lagi soal fisik, 'kan pastinya kalah jauh, tetapi mental mereka mantap. Sama seperti di final All England. Lawannya 'kan goyah. Namun, mereka bisa stabil," katanya.
***
Ukuran lapangan bulu tangkis dan bobot shuttlecock selalu sama saja. Para pemain yang turun arena pun itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
Namun, setiap musim punya ceritanya sendiri, setiap laga punya tantangan masing-masing. Pada akhirnya, Ahsan/Hendra adalah contoh bahwa pebulu tangkis mesti 'mengatur diri' agar tak kandas dihabisi zaman.