RunStyle III

Me and Marathon: Mengapa Saya Ikut Lari Maraton

28 Februari 2020 13:01 WIB
comment
21
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maraton. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Maraton. Foto: kumparan
Maraton bermula dari medan perang. Bagaimana ia kemudian menjadi nama dari sebuah nomor lari bermula ketika seorang serdadu bernama Pheidippides diberi tugas mengabarkan kemenangan Yunani atas Persia dalam Pertempuran Marathon.
Pheidippides berlari kencang dari Marathon ke Athena untuk membawa kabar gembira itu. Konon, bahkan dia tak sekali pun berhenti dalam misinya tersebut. Sayangnya, aksi heroik itu tidak berakhir dengan bahagia.
Ini adalah kisah dari Yunani Kuno. Maka, jangan heran jika segalanya berujung tragedi. Pheidippides kolaps dan mati setelah berlari dari Marathon ke Athena. Untungnya, dia sempat berteriak "kita menang!" sehingga kabar bahagia tetap sampai ke orang-orang di negerinya.
Maraton bermula dari medan perang dan sampai sekarang pun unsur peperangan itu belum hilang. Kini, sebagai sebuah nomor lari, maraton menjadi ajang pertempuran bagi para pelakunya untuk mengalahkan diri mereka sendiri.
Menjalani maraton tentu bukan hal sembarangan. Bayangkan saja jarak 42 km harus ditempuh dengan berlari. Ingat, berlari. Bukan berjalan atau lari-lari kecil. Maka dari itu, menjalani maraton jelas perlu persiapan tak main-main.
"Normalnya, training plan buat maraton itu sekitar 12-16 minggu. Itu untuk level hobbyist, ya, yang maratonnya paling 2 sampai 3 kali setahun," kata seorang pelari amatir, Nick Sandy Santiago, kepada RunStyle.
Ilustrasi lari marathon. Foto: AFP/Andrej ISAKOVIC
"Di situ, workout-nya sebagian besar, ya, lari. Kita kombinasikan antara easy run dan sprint. Ini dilakukan secara gradual, jadi jarak yang ditempuh meningkat setiap minggunya."
"Di minggu-minggu awal, jarak yang ditempuh bisa 5-8 km waktu weekdays. Terus, di weekend biasanya latihan long run buat melatih tubuh. Waktu peak training sekitar 4 minggu sebelum race, long run di weekend itu 80% dari jarak lomba. Sekitar 30-an km, lah," lanjut pria yang akrab disapa Santi itu.
Cara serupa juga dilakukan runner lain bernama Bahtawar Muzakky. Sosok yang karib dipanggil Baba ini juga mulai berlatih untuk maraton tiga bulan sebelum lomba.
"Latihannya mulai dari latihan speed, strength training, long run, yoga, sepeda, dan renang. Pokoknya aktif lima hari, dua hari istirahat," tutur Baba kepada RunStyle.
Latihan kombinasi seperti ini turut direkomendasikan oleh Santi. "Latihan cross training lebih bagus. Bisa berenang, bersepeda, weight training, kalistenik. Lebih bagus karena bisa melatih bagian tubuh yang lain," jelasnya.
Bicara soal latihan, satu hal yang kerap dilupakan arti pentingnya oleh para pelari, khususnya pelari amatir, adalah keberadaan pelatih. Padahal, rezim latihan yang benar bisa membuat performa lari jadi lebih optimal.
Ilustrasi lari. Foto: Pixabay
"Banyak orang yang merasa enggak butuh pelatih. Padahal, pelatih bisa melatih teknik sehingga tidak rentan cedera dan bisa melahap jarak panjang. Misal, ada orang yang sebenarnya bisa lari half-marathon tapi karena tekniknya salah akhirnya cuma bisa lari 10 km. Itu sering terjadi," ucap Santi.
Selain berlatih, persiapan mengikuti maraton juga wajib dilakukan dengan menjaga asupan nutrisi. Menariknya, cara pelari melakukan ini berbeda-beda. Baba, misalnya, memilih memperbanyak karbohidrat seminggu menjelang race.
"Dari nutrisi, sih, enggak terlalu macam-macam. Normal aja tapi mendekati event-nya nanti hindari makanan pedas dan goreng-gorengan, juga perbanyak karbohidrat dan kurangi serat. Karbohidrat itu buat tabungan energi selama lomba," terangnya.
Sementara itu, Santi menyarankan agar pelari mencoba dua metode diet, yaitu keto dan OCD. Dua jenis diet ini punya tujuan akhir yang sama. Yakni, agar tubuh terbiasa menggunakan lemak sebagai sumber energi, bukan karbohidrat.
"Coba liat pelari yang namanya Jim Walmsley dari Amerika. Dia 'kan badannya cungkring begitu, tapi dia bisa menghasilkan energi 10.000 kalori dari lemak tubuhnya. Aku sedang mencoba cara seperti itu," kata Santi.
Setelah semua persiapan dilakukan, race pun dijalani. Baba mengaku sudah mulai mengikuti event maraton sejak 2016. Bahkan, dia pernah menjajal sebuah event maraton di Malaysia.
Baba bertutur bahwa dia mulai berani mengikuti maraton karena terinspirasi teman-temannya yang sudah ikut duluan. "Terus nyoba ikutan event juga. Bertahap mulai dari yang 5K, 10K, 21K, sampai akhirnya kategori full-marathon 42K," kenangnya.
Orang berlari maraton untuk mengalahkan diri mereka sendiri. Foto: Shutterstock
"Waktu itu yakin ikut karena sudah sering latihan. Jadi, sekalian nantang diri sendiri, buktiin ke diri sendiri kalau bisa melewati itu semua."
"Soal hasil enggak terlalu jadi masalah karena yang dikejar cuma bisa menyelesaikan, bukan mencari catatan terbaik. Yang dicari bukan hasil, melainkan pengalaman selama prosesnya," tambah Baba.
Santi, sementara itu, baru satu kali mengikuti maraton karena dia lebih kerap berkompetisi di ultra run yang jarak tempuhnya mencapai 50 km. Menariknya, ultra run-lah yang membuat dirinya yakin bisa menyelesaikan Borobudur Marathon 2016.
"Itu pertama kali Borobudur Marathon ada full-marathon. Waktu itu bulan Desember, ya. Aku ikut setelah finis di Sleman Ultra Run (50 km) bulan Mei. Aku merasa spiritnya lagi tinggi, kondisi tubuhku paling fit waktu itu," ujarnya.
Meski begitu, hasil yang didapat Santi kurang memuaskan di race itu karena dia memutuskan untuk tidak finis. Keputusan untuk tidak merampungkan lomba ini diambil Santi dengan pertimbangan yang cukup berat.
"Aku memutuskan DNF (did not finish) sekitar kilometer 30-an akhir karena ada lecet di jari kaki. Salah pakai kaus kaki waktu itu Sebenarnya masih bisa finis tapi karena sebulan ke depan mau ikut ultra di Semarang," ucap Santi.
Ilustrasi lari maraton. Foto: AFP/NELSON ALMEIDA
"Itu pengalaman DNF pertamaku. Tiga kali memutuskan DNF, aku selalu mikir panjang. Tapi, menurutku, DNF itu bukan hal memalukan. Terkadang, ada orang yang enggak bisa membedakan ego dengan kebanggaan. Itu fenomena yang sering kutemui di dunia lari."
"Banyak orang memaksakan diri untuk mencapai sesuatu sampai akhirnya ada yang meninggal, lumpuh karena heatstroke. Itu 'kan panas banget memang. Dua tahun terakhir, aku lebih sering jadi ofisial jadi sering menemukan banyak orang yang enggak bisa menahan egonya," lanjut alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Bagi seorang pelari, keberhasilan menyelesaikan balapan rupanya tidak cuma bergantung pada kemampuan mereka sendiri. Terkadang, dalam kasus Santi, inkompetensi panitia penyelenggara juga bisa menjadi faktor.
"2016 itu perhelatan Borobudur Marathon terburuk. Tiga tahun terakhir dipegang sama KOMPAS, yang 2016 itu dipegang EO daerah. Di full-marathon terlambat start. Seharusnya mulai dari jam 4 atau 5 pagi. Itu mulai dari 6:30 jadi kena panas banget," papar Santi.
"Ditambah lagi, marshal yang memandu race salah rute di salah 1 km pertama. Padahal itu masih di dalam area Borobudur-nya. Harusnya cuma lurus tapi harus muter balik segala macam."
"Yang lebih parah lagi, di Borobudur Marathon waktu itu belum ada kebijakan evakuasi. Jadi, aku harus nyari evakuasi sendiri. Aku ketemu polisi di masjid dan akhirnya diantar sampai ke garis finis."
Mempersiapkan diri, berlatih sebelum berlari maraton. Foto: Shutterstock
"Tapi, sekarang penyelenggara maraton sudah lebih bagus. Waktu cut-off, chekcpoint, semua sudah ditentukan. Jadi, kalau ada pelari yang gagal sampai checkpoint di waktu yang sudah ditentukan, mereka bakal dievakuasi. Karena, itu 'kan pakai jalan umum, ya, jadi biar tertib juga."
"Waktu gagal finis itu rasanya surreal. Kayak enggak percaya, masak, sih, enggak bisa? Aku sebenarnya disuruh ngambil hak-hak finisher, mulai dari medali sampai jersi, tapi akhirnya aku balikin, hahahaha," selorohnya menutup.
Nah, sampai situ, kita bicara soal full-marathon. Lalu, bagaimana dengan half-marathon? Well, ternyata tidak jauh berbeda. Soal half-marathon, Reina Hakim Hironima punya ceritanya sendiri.
"Waktu itu saya ikutan event Bali Marathon di tahun 2015, Jakarta Marathon di tahun 2015, Mesastila Trail Run 2017, Toraja Marathon di tahun 2018, semua di kategori 21K," tuturnya kepada kami.
Sama seperti full-marathon, persiapan jelang half-marathon juga dilakukan Reina selama tiga bulan. "Latihannya dengan melatih kaki untuk terbiasa lari secara bertahap sampai bisa mencapai 21K selama latihan," kata Reina.
"Biasanya, latihan lari dilakukan waktu Car Free day bersama dengan teman-teman lari saya. Waktu itu saya bergabung di klub 46 Runners yang merupakan klub lari di tempat kerja sebelumnya. Selain itu, biar tidak membosankan, latihan lari juga dilakukan di Taman Safari Ragunan."
Tokyo Marathon, salah satu event maraton terbesar di dunia. Foto: Shutterstock
"Di latihan itu, ada juga latihan drill seperti ABCD Drill. Drill itu gunanya untuk melatih kaki supaya bisa melakukan gerakan dengan benar," terangnya.
Reina memilih untuk mengikuti event half-marathon karena dia memang mencintai olahraga ini. Baginya, ada hal-hal yang bisa dia pelajari dari berlari.
"Lari itu olahraga yang paling menyenangkan. Lari mengajarkan kita untuk tidak mudah menyerah. Awalnya saja yang sakit, tapi setelah lewat 5K lari menjadi sangat menyenangkan. Selain itu, belajar sportif dan bertanggung jawab karena untuk dapat medali marathon itu ya kita harus lari sampai garis finis," katanya.
"Lebih dari itu, lari itu bagi saya dan teman-teman saya adalah salah satu personal goals, bahwa kita bisa mencapai garis finish dengan kekuatan kita sendiri. Nantinya, medali-medali yang dikumpulkan menjadi suatu kebanggaan tersendiri buat saya," imbuh Reina.
Lalu, bagaimana hasil yang dia dapatkan selama mengikuti event half-marathon tadi?
"Hasilnya sesuai dengan ekspektasi saya. Saya mendapatkan tubuh yang sehat, medali yang bisa saya banggakan, dan semakin percaya diri," tutup Reina.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten