Membebaskan Jorge Lorenzo

18 November 2019 19:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jorge Lorenzo umumkan pensiun dari MotoGP. Foto: REUTERS/Heino Kalis
zoom-in-whitePerbesar
Jorge Lorenzo umumkan pensiun dari MotoGP. Foto: REUTERS/Heino Kalis
ADVERTISEMENT
Paul McCartney duduk menghadap piano butut di Skotlandia pada suatu waktu di tahun 1968. Friksi beranak-pinak menjadi konflik yang menghantam keutuhan The Beatles.
ADVERTISEMENT
McCartney bukan Yesus yang bisa berjalan di atas air berombak kencang. Namun, McCartney tetap bisa menulis lagu di tengah hari-hari memuakkan.
Anak ajaib itu bernama The Long and Winding Road. Balad se-balad-balad-nya. Mengutip buku yang ditulis Ian MacDonald yang belakangan disebut sebagai Bible of The Beatles, Revolution in the Head: The Beatles' Records and the Sixties, McCartney menulis lagu ini di hari yang sama dengan ia menulis Let It Be.
Dua lagu spesial muncul di tengah goncangan. Kelahiran Let It Be dibidani akan mendiang ibu McCartney, Mary, yang mampir dalam mimpi dan berkata bahwa semuanya bakal baik-baik saja.
The Long and Winding Road ditopang oleh imajinasi liar yang membayangkan seperti apa rasanya jika Ray Charles menuliskanmu sebuah lagu.
ADVERTISEMENT
The Long and Winding Road adalah lagu yang membicarakan soal apa-apa yang tidak mungkin tercapai. Ia bicara tentang pintu yang tidak bisa kita raih dan jalan yang ujungnya tidak pernah kita temui.
Jorge Lorenzo di akhir MotoGP Valencia 2019. Foto: PIERRE-PHILIPPE MARCOU / AFP
Dalam napas yang nyaris sama, Jorge Lorenzo berpacu di atas jalan panjang dan berliku. Lorenzo menghabiskan 18 tahun di atas lintasan balap sebagai profesional.
Ia terbiasa dengan jalan panjang dan tikungan menyeramkan yang bukannya tidak mungkin membuatnya tergelincir dan terguling. Namun, ia selalu paham, di ujung jalan seperti itu ada podium puncak dan trofi juara.
Dua gelar juara kelas 250cc pada 2006 dan 2007 serta MotoGP pada 2010, 2012, dan 2015 membuktikan tak ada yang salah dengan keputusannya untuk hidup sebagai pebalap profesional. Dihantui cedera dan kematian bukan masalah. Menjadi pebalap profesional adalah pertaruhan yang adil untuk Lorenzo.
ADVERTISEMENT
Jorge Lorenzo dan trofi juara 2015. Foto: JAVIER SORIANO / AFP
Semuanya berubah sejak ia angkat kaki dari Yamaha pada akhir 2016. Jangankan gelar juara, podium puncak pun hanya dipijaknya di tiga seri--semuanya bersama Ducati. Kalau mau bicara dalam konteks yang lebih lebar, Lorenzo hanya tujuh kali finis tiga besar dalam tiga musim terakhir.
Keputusan untuk pindah ke Repsol Honda pada 2019 juga tidak bertaji. Menjadi bayang-bayang Marc Marquez bahkan merupakan skenario too good to be true bagi Lorenzo. Bagaimana mau jadi bayang-bayang kalau naik podium saja tidak pernah?
Jika the long and winding road untuk McCartney adalah konflik The Beatles, the long and winding road untuk Lorenzo adalah kegagalan merengkuh gelar juara MotoGP.
Jorge Lorenzo di MotoGP Aragon 2019. Foto: Reuters/Albert Gea
"Saya adalah satu-satunya pebalap yang pernah jadi juara di era [Marc] Marquez."
ADVERTISEMENT
Awalnya omongan Lorenzo itu terdengar angkuh. Namun, belakangan kalimat tadi terdengar seperti seruan minta tolong. Kalimat itu seperti tanda SOS yang dibubungkan ke langit sambil berharap ada tim lain yang menemukannya.
Repsol Honda datang. Lorenzo meninggalkan Ducati Corse. Namun, Lorenzo tak juga sampai pada ujung jalan yang ia inginkan. Likunya makin rumit karena bertandem dengan Marquez yang selalu menemukan jalan keluar untuk menjadi keajaiban di atas lintasan balap.
Tiga hari sebelum balapan MotoGP Valencia, Kamis (14/11/2019), Lorenzo bicara di depan para wartawan. Circuit Ricardo Tormo ibarat lagu Get Back dalam album Let It Be--lagu terakhir dalam album perpisahan, seri penutup untuk sebuah perjalanan.
Valencia adalah kota yang spesial bagi Lorenzo. Bersama Dani Pedrosa, ia tercatat sebagai pebalap kelas MotoGP yang paling sering menang di kota ini. Lorenzo naik podium puncak di Valencia pada 2010, 2013, 2015, dan 2016.
ADVERTISEMENT
GP Valencia menutup MotoGP 2019. Namun, Lorenzo juga ingin menutup segalanya di kota ini. GP Valencia 2019 adalah balapan ke-203 dan terakhir Lorenzo di kelas MotoGP--balapan ke-297 di semua kelas.
"Saya merasa sangat bebas. Saya merasa mendapatkan kebebasan penuh karena bisa finis di balapan terakhir saya dan membantu Honda mendapatkan tiga gelar juara musim ini. Jadi, di sinilah saya sekarang," jelas Lorenzo dalam wawancara usai GP Valencia.
Sikapnya yang perfeksionis, keinginannya untuk terus mendapatkan tantangan, hingga tubian cedera berujung pada keputusan untuk angkat kaki dari MotoGP.
Balapan MotoGP adalah jalan yang mengantar Lorenzo ke puncak gunung prestasi. Tiga puncak belum cukup, maka Lorenzo melanjutkan perjalanannya.
Lorenzo tidak mau berjalan selamanya. Ia ingin tiba di tujuan.
ADVERTISEMENT
Namun, Lorenzo tak kunjung sampai. Barangkali ia tersesat. Dan sebagaimana mereka yang tersesat, Lorenzo mengambil jalan yang lain. Ia membebaskan diri dari jalan tanpa akhir.