Mengapa Pendidikan Atlet (Kerap) Sebatas Sekolah Menengah Atas?

2 April 2019 19:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Liliyana Natsir pada acara salam perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Liliyana Natsir pada acara salam perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, profesi diartikan sebagai: "Bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu". Apakah atlet salah satunya? Jawabannya: Ya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) punya tempat untuk membina atlet muda lewat program Sekolah Khusus Olahragawan (SKO), salah satunya Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Ragunan di Jakarta.
Terkadang, jenjang SMA itu jadi tingkat terakhir para atlet dalam mengenyam pendidikan. Tengok saja statistik dalam acara Penyerahan Surat Keputusan (SK) Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Tahun Anggaran 2018, Selasa (2/4/2019).
Dari 286 atlet yang diberikan SK oleh Menpora Imam Nahrawi, 214 atlet di antaranya --atau sekitar 75%-- memiliki pendidikan SMA atau sederajat dan masuk SK golongan II/a. Sisanya, satu orang memiliki pendidikan D-3/sederajat (II/c) dan 68 orang berpendidikan S-1/sederajat (III/a).
Mengapa 214 orang itu tidak meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi? Liliyana Natsir coba menjawabnya. Mantan pebulu tangkis yang akrab disapa Butet ini adalah lulusan SMA di Tangerang. Namun, dia memilih fokus berlatih alih-alih duduk di bangku kuliah.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, setiap cucuran keringat selama belasan tahun menekuni bulu tangkis dibalas dengan rentetan prestasi yang mengekor nama besarnya. Emas Olimpiade 2016 Rio de Janeiro adalah torehan terbaiknya, yang juga adalah pencapaian tertinggi yang bisa diraih seorang atlet.
Ya, pemusatan latihan nasional (pelatnas) Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) layaknya pendidikan lanjutan bagi Butet.
Pebulu tangkis Liliyana Natsir tiba saat pesta perpisahannya di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (27/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
"Kalau terpecah-pecah begitu (sambil kuliah, red) agak sulit, ya, harus fokus ke bulu tangkis. Ada juga yang telaten, habis pulang pertandingan itu ngampus. Bisa, tapi takutnya persiapan latihan terganggu, malah jadinya setengah-setengah," ujar Butet saat ditemui di Gedung Kemenpora untuk menerima SK CPNS-nya.
"Untuk atlet bulu tangkis yang sudah masuk turnamen dunia itu susah kalau mau setengah-setengah. Masalahnya soal waktu. Kami 'kan latihan pagi dan sore, stamina dan fisik kita sudah capek sekali. Kalau libur, kami manfaatkan waktu untuk istirahat," imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Namun, Butet tidak menyamaratakan kehidupannya dengan atlet lain. Pemain ganda campuran legendaris yang resmi pensiun pada Januari 2019 ini sadar setiap individu memandang urgensi pendidikan secara berbeda-beda.
"Masing-masing orang (beda). Ada yang merasa (pendidikan) itu penting, ingin S1 atau S2. Ada yang mau memaksimalkan dulu di bulu tangkis. Kalau sukses di bulu tangkis juga 'kan sudah menjanjikan sekarang," ujar Butet.
Satu yang pasti, Butet tidak terima jika atlet disebut sebagai orang bodoh hanya karena pendidikannya sebatas SMA, termasuk dirinya. Butet memang hanya lulusan SMA, tapi dia sempat menjadi sorotan kala skor tes CPNS-nya pada November lalu disebut melebihi 450 --yang juga telah dikonfirmasi oleh Kepala Biro Humas BKN kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
"Kami (atlet bulu tangkis) harus jujur, ya. Selama ini kami banyak main raket, tapi bukan artinya atlet itu bodoh, belum tentu. Karena atlet sebenarnya kebanyakan IQ-nya itu pintar, karena sepersekian detik harus buat keputusan (saat tanding). Secara mental juga sudah teruji," tutur Butet.
"Jadi belum tentu atlet itu kalah dengan (lulusan) S1 dan S2, tapi kembali lagi ke (kemampuan) masing-masing atletnya," tegasnya.
Kini, terobosan apresiasi pemerintah kepada atlet berupa status CPNS pun disambut positif oleh Butet. Wanita kelahiran 9 September 1985 ini lega karena pilihan menjadi atlet bukan lagi suatu hal yang harus dikhawatirkan.
Meski begitu, Butet mengaku masih harus berdiskusi dengan Kemenpora soal tugasnya sebagai CPNS dengan jabatan pengelola sarana olahraga.
ADVERTISEMENT
"Sebagai atlet yang diberikan apresiasi ini, saya ucapkan terima kasih banyak karena ini terobosan. Baru kali ini mengalami (bonus) diangkat jadi PNS. Ini juga menjadi satu motivasi untuk calon atlet, bahwa kalau berprestasi dapat jaminan dari pemerintah," kata Butet.
"Yang pasti ini satu program pemerintah sebagai penghargaan, jadi terima saja dulu, ke depan (seperti apa) belum tahu. Nanti dipikirkan lagi jabatan apa, risikonya apa, dan saya bisa jalani apa tidak. Selama ini, saya selalu memilih sesuatu itu harus komitmen, saya harus totalitas, itu juga yang harus saya pikirkan saat diberi jabatan," ujarnya bijak.