Mike Tyson Ogah Jadi Pelatih, Lebih Pilih Rp 118,7 M
ADVERTISEMENT
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
ADVERTISEMENT
Tyson sudah menggantungkan sarung tinjunya pada 2005 silam. Namun, ia kembali naik ke atas ring untuk melawan Roy Jones Jr. dalam pertarungan ekshibisi, 2020 lalu.
Pria 58 tahun tersebut telah mengukir namanya dalam sejarah tinju. Tyson pernah menjadi juara kelas berat tak terbantahkan yang paling muda, saat usianya 20 tahun.
Pada 22 November 1986, Tyson mengalahkan Trevor Berbick untuk sabuk juara WBC. Pada 7 Maret 1987 ia merengkuh gelar juara WBA usai menghabisi James Smith dan terakhir menekuk Tony Tucker untuk gelar IBF pada 1 Agustus 1987.
Dengan sederet prestasi tersebut, tak dapat dipungkiri lagi bahwa Tyson adalah salah satu yang terhebat. Namun, ia enggan menurunkan ilmunya. Bukan karena pelit, melainkan menjadi pelatih adalah hal yang sulit.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak memiliki kesabaran yang tinggi. Saya tidak akan bangun setiap pagi, membangunkan seseorang, memastikan dia melakukan latihannya dan semua hal itu," tutur Tyson dikutip dari Essentially Sports.
"Saya tidak punya waktu, saya punya bisnis untuk diurus. Saya tidak punya waktu untuk berada di gym setiap hari, sepanjang hari, itulah yang dilakukan seorang pelatih," tambahnya.
Tyson menambahkan bahwa pelatih memiliki tanggung jawab yang banyak, lebih dari orang tua sang atlet. Atas dasar itu, ia lebih memilih dibayar USD 8 juta (setara Rp 118,7 miliar) daripada melatih.
"Jadi saya lebih memilih dibayar USD 8 juta [Rp 118,7 miliar] di suatu tempat daripada berada di gym setiap hari," ujar Tyson.
“Dengarkan, ketika Anda seorang pelatih, Anda juga seorang psikiater, Anda seorang ibu, Anda seorang ayah, Anda seorang ayah tiri, Anda adalah segalanya," pungkasnya.
ADVERTISEMENT