Pada Akhirnya, Ada Sepeda yang Menjadi Tempat Sri Sugiyanti Berkarya

10 Oktober 2018 7:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sri Sugiyanti (kanan) bersama pilotnya, Ni Mal Maghfirah. (Foto: kumparan/Sandi Firdaus)
zoom-in-whitePerbesar
Sri Sugiyanti (kanan) bersama pilotnya, Ni Mal Maghfirah. (Foto: kumparan/Sandi Firdaus)
ADVERTISEMENT
Wajahnya sendu. Jika Anda melihatnya pertama kali, Anda akan melihat sosoknya yang begitu baik dan polos. Itu kesan yang, lazimnya, akan orang tangkap saat mereka memandang wajah Sri Sugiyanti pertama kali.
ADVERTISEMENT
Di siang yang terik di Sirkuit Internasional Sentul, Bogor, Selasa (09/10/2018) sore itu, Sri sedang bersiap. Dia sudah mengenakan baju khusus atlet sepeda warna merah putih, seragam atlet para sepeda kontingen Indonesia. Matanya terus memandang ke depan. Sayu, tapi kosong. Dia memiliki teman yang setia mendampinginya. Namanya Ni Mal Maghfirah, berkerudung hitam saat itu.
Dari apa yang terlihat, jika Anda adalah orang yang peka, Anda akan tahu bahwa Sri adalah orang berkebutuhan khusus (difabel). Pandangannya yang kosong dan sayu, serta lengannya yang kerap menggamit lengan Maghfirah, mencerminkan bahwa Sri adalah tuna netra. Di ajang para sepeda Asian Para Games 2018 saja, dia masuk klasifikasi B (blind). Bersama Maghfirah sebagai pilot, dia menyelesaikan balap.
ADVERTISEMENT
"Saya sudah enggak bisa melihat dari umur 11 tahun, tapi penyakit saya ini baru ketahuan 2017 kemarin penyebabnya. Penyebabnya karena genetik. Jadi saya hanya lihat cahaya saja. Enggak bisa diobati juga karena ini penyakit genetik, belum ada obatnya," ujar Sri saat ditemui awak media.
Tapi, dengan keberbedaan yang dia miliki dari orang kebiasaan, bukan berarti Sri tidak bisa hidup layaknya orang normal. Dia kuliah. Dia juga berlatih renang setiap hari dan semua itu dia jalani dengan biasa saja, seperti orang-orang lain. Dia juga merasakan rasa lelah seperti halnya orang kebanyakan.
Rasa lelah ini hadir bukan tanpa alasan. Ajang persiapan Asian Para Games yang dia lalui di Solo beriringan dengan masa kuliahnya di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo. Dia harus membagi waktunya antara kuliah dan latihan. Sri pun merasa lelah, dan dia akhirnya memutuskan fokus di salah satu bidang.
ADVERTISEMENT
"Kemarin tiga bulan pertama saya semester 6. Bolak balik, kuliah-latihan, kuliah-latihan, capek banget. Akhirnya semester 7 ini, mulai September 2018, saya izin fokus di sini karena sudah mendekati (Asian Para Games 2018). Tapi alhamdulillah semester 6 sudah terlewati. Semester 7 ini yang banyak izinnya. Banyak izin kuliah saya," ujar Sri.
Namun, keputusannya fokus di satu hal berbuah manis. Hasil itu dia rasakan dalam ajang Asian Para Games 2018.
***
Sebelum mengenal sepeda, Sri terlebih dahulu mengenal olahraga atletik. Dia tak menyebut tahun berapa, tetapi dia sempat berlaga di kejuaraan nasional atletik. Namun, di Asian Para Games 2018 ini, dia memilih untuk berkarya di tempat yang baru. Di sepeda, dia merasa bisa lebih berkembang.
ADVERTISEMENT
"Dulu saya atletik, baru sampai nasional. Saya tidak ikut seleksi di Asian Para Games 2018 ini. Sudah jauh sekali (tertinggalnya)," kenang Sri.
Sri Sugiyanti (kanan) bersama pilotnya, Ni Mal Maghfirah. (Foto: kumparan/Sandi Firdaus)
zoom-in-whitePerbesar
Sri Sugiyanti (kanan) bersama pilotnya, Ni Mal Maghfirah. (Foto: kumparan/Sandi Firdaus)
"Karena di lari sudah enggak bisa, dari manajer juga menyarankan ke sepeda saja. Saya sejak bulan April itu fokus latihan. Baru banget, masih adaptasi sama pilot waktunya enggak lama. Keren banget, saya percaya sama pilot saya," tambah Sri.
Sekarang, Sri menuai hasil positif dari pilihan yang dia ambil. Di cabor para sepeda, sejauh ini, dirinya sudah menyumbangkan satu perunggu dan satu perak bagi kontingen Indonesia. Capaian ini sendiri tidak disangka-sangka oleh Sri, apalagi jika dia mengingat apa yang terjadi di try out Italia kemarin.
"Enggak nyangka sama sekali. Kalau saya sendiri percaya sama pilot, dia andal di sini ini juga tidak seperti yang saya bayangkan. Sebelumnya saya try out di Italia, sangat beda jauh dengan hasil di sini. Saya juga sempat takut banget karena pengalaman di italia itu," ujar Sri.
ADVERTISEMENT
"Tapi setelah saya rasakan di sini beda jauh, biasanya latihan sama cowok-cowok pasti ketinggalan terus. Tapi semua tadi beda. Pas finishing, saya sudah kehabisan intervalnya, enggak bisa bertahan lama. Gak nyangka sama sekali. Padahal saya latihan dari bulan Januari, efektifnya sama pilot itu dari April," tambahnya.
Di bawah terik matahari yang menyinari Sentul pada Selasa siang itu, Sri merayakan kemenangan yang dia dapat. Dia sukses meraih medali perak di nomor Road Race B putri. Bersama sang pilot, Ni Mal Maghfirah, dia merayakan kemenangan di paddock Indonesia. Sejurus kemudian, para penggemar Sri pun mulai berdatangan. Dari situlah mereka mengambil alih, berfoto bersama Sri sampai puas.
Perempuan kelahiran 1994 tersebut memang akhirnya gagal mentas di ajang atletik, tetapi dia berhasil menemukan kesenangan lain.
ADVERTISEMENT
Atlet para sepeda Indonesia, Sri Sugiyanti, bersama para pendukungnya. (Foto: kumparan/Sandi Firdaus)
zoom-in-whitePerbesar
Atlet para sepeda Indonesia, Sri Sugiyanti, bersama para pendukungnya. (Foto: kumparan/Sandi Firdaus)
***
Maghfirah, rekan, teman, sekaligus pilot Sri, mengungkapkan bahwa banyak suka dan duka yang dia rasakan saat menjadi rekan dan pilot Sri. Menemani Sri, akhirnya, menjadi salah satu pengalaman yang berharga baginya. Keduanya malah jadi saling menyemangati dan saling menguatkan.
"Suka dukanya pasti ada, tapi 'kan selalu memotivasi terus, percaya dengan apa yang sudah dilakukan saat latihan. Kita cuma berusaha semaksimal mungkin. Akhirnya alhamdulillah bisa dapat medali. Saling menguatkannya, saling percaya, terbuka saling motivasi, bisa bisa. Yang terpenting kita banyak berdoa," ujar Maghfirah.
Sri pun memberikan pesan bagi para orang di sekitarnya. Menurutnya, manusia itu memiliki kemampuan dan dapat memaksimalkan kemampuan yang mereka miliki. Hanya saja, kadang manusia tidak percaya dengan kemampuan yang dia miliki tersebut.
ADVERTISEMENT
"Saya saja enggak percaya dengan kemampuan saya, saya enggak percaya sama diri sendiri. Enggak tahu ada keajaiban apa. Percaya saja sama Allah, kalau percaya semua bisa," ujar Sri.
Sembari mengucapkan hal tersebut, Sri sesekali mengusap air matanya. Sedih, pasti. Itu wajar. Apalagi jika mengingat sehari-harinya, dia kuliah dibantu temannya dalam beberapa kesempatan. Meski begitu, Sri tetap masih bisa berkarya, dengan sepeda sebagai mediumnya.