Cover Collection "Paulus Pencetak Para Genius"

Paulus Pesurnay: Komitmen Semua Pihak, Faktor Penting Prestasi Atlet

22 Juni 2019 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Paulus Pencetak Para Genius Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Paulus Pencetak Para Genius Foto: Nunki Lasmaria Pangaribuan/kumparan
ADVERTISEMENT
Serabut otot merah muda, kata Paulus Pesurnay, adalah bukti bahwa Tuhan mahaadil.
ADVERTISEMENT
Paulus memang harus menyinggung bagian dari sistem otot itu jika bicara soal prestasi atlet. Tapi, mari kita simpan sejenak pembicaraan soal serabut otot merah muda itu.
Paulus percaya ada tujuh faktor yang memengaruhi pencapaian atlet meraih prestasi: Dua faktor eksternal dan lima faktor internal atlet. Keberadaan sarana-prasarana olahraga dan sistem pembinaan, termasuk kompetisi, adalah faktor eksternalnya.
Sementara, lima faktor internal adalah komitmen, konstitusi tubuh, pemahaman strategi dan taktik, kemampuan fisik atlet, serta keterampilan atau skill atlet.
Komitmen atlet adalah perkara penting. Tak peduli sehebat atau sebesar apa pun talenta seorang atlet, prestasi bisa menjadi persoalan mustahil tanpa komitmen. Bicara komitmen, tentu kita bicara tentang motivasi.
Yang perlu digarisbawahi, komitmen tidak datang dengan sendirinya. Ia membutuhkan pemicu. Dan salah satu pemicu paling efektif adalah rasa aman akan keputusannya menjadi seorang atlet.
ADVERTISEMENT
Taufik Hidayat mengangkat trofy usai menjuarai Thomas Cup di Kuala Lumpur. Foto: AFP/JIMIN LAI
Jagat olahraga acap melahirkan epos. Ada banyak orang di ranah ini yang berhasil mengalahkan kemustahilan. Mereka yang tadinya dipandang sebelah mata membungkam keraguan dengan rangkaian prestasi dan gelar juara.
Namun, lapangan olahraga juga sarangnya ironi. Coba ingat-ingat lagi kisah memprihatinkan yang muncul. Sudah berulang kali olahraga menampilkan cerita muram tentang seorang atlet yang berjaya di masa muda, tapi hidup memprihatinkan ketika pensiun.
Entah ada berapa banyak pula atlet yang berteriak menuntut hak sendiri, alias penghasilan. Tak perlu jauh-jauh mencari contoh. Kita hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga menit dengan menggunakan mesin pencari internet untuk menemukan masalah demikian--bahkan di negeri kita sendiri.
Sejak muda, Paulus sudah menimba ilmu di Sekolah Tinggi Olahraga Bandung (STOB). Tak sampai di situ, ia pun menjadi atlet atletik pada 1960-an. Itu belum ditambah dengan pendidikan olahraga yang ditempuhnya di Jerman sana. Setelahnya, Paulus pun aktif sebagai pelatih fisik.
ADVERTISEMENT
Itu berarti hidup Paulus tentang olahraga. Berangkat dari sini, ia menyadari betul sepenting apa pentingnya rasa aman bagi para pelakon olahraga.
Setiap atlet paham bahwa kewajiban untuk mengharumkan nama negara ada di pundak mereka. Di sisi lain, atlet pun membutuhkan gelar juara. Namun, atlet juga sama seperti kita.
Hendrawan (kiri) mendapat mendali perak foto bersama dengan peraih mendali emas Ji Xinpeng di kategori badminton di Olimpiade Sydney 2000. Foto: AFP/ROBYN BECK
Mereka membutuhkan kepastian untuk dapat bertahan hidup. Maka, yang dilakukan oleh pemerintah China untuk pahlawan bulu tangkisnya, Ji Xinpeng, dapat dijadikan contoh. Sebagai catatan, Ji adalah pebulu tangkis yang berhasil mengalahkan Hendrawan di final tunggal putra Olimpiade 2000.
Pemerintah China langsung menjamin masa depan yang kala itu masih berusia 19 tahun. Ji diberikan pensiun seumur hidup sebesar 500 dolar USD per bulan. Tapi, bukan cuma itu. Pemerintah juga memberikan bantuan supaya ketika gantung raket, Ji tidak hanya mengandalkan uang pensiunnya itu.
ADVERTISEMENT
“Bukan cuma pensiun. Ji Xinpeng ditawari, kalau sudah pensiun mau jadi apa. Kalau mau jadi pegawai bank, oke dikasih pendidikan dan kesempatan magang. Mau jadi dokter? Disekolahkan. Nah, Ji Xinpeng ini mau jadi mekanik. Ya sudah, pemerintah bantu sehingga ia bisa punya usaha mekanik. Semua aman,” jelas Paulus.
Yayuk Basuki di Wimbledon 1997. Foto: JACQUES DEMARTHON/AFP.
Sebagian atlet juga mendapatkan rasa aman tersebut dengan terjun sebagai profesional. Artinya, tidak bergantung pada negara. Semakin sering mereka bertanding, apalagi menang, semakin besar pula penghasilan mereka. Imbasnya masa depan semakin terjamin.
“Para profesional mengaku bahwa lima tahun saja sudah cukup bagi mereka untuk hidup layak. Apalagi kalau bisa lebih dari lima tahun? Terbayang kan kenapa Cristiano Ronaldo bisa menyumbang untuk Palestina sampai (setara) 21,3 miliar rupiah? Masa depan Ronaldo itu sudah terjamin,” jelas Paulus kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
Karier sebagai atlet profesional tidak hanya milik para pesohor lapangan hijau Eropa. Yayuk Basuki membuktikan bahwa menjadi profesional tidak menjadi perkara mustahil bagi atlet Tanah Air.
Yayuk bercerita bahwa setiap musimnya ia harus melakoni tur (berkompetisi) di luar negeri selama sembilan hingga 10 bulan. Dan bepergian ke luar negeri dalam kurun segitu secara rutin tanpa biaya tinggi, tentu menjadi perkara mustahil.
Namun, jalan sebagai profesional melahirkan rasa aman bagi Yayuk. Bahasa sederhananya, ia dapat menghidupi kehidupannya secara mandiri.
“Profesional itu berbeda. Saya mengover kehidupan saya sendiri. Seluruh pengeluaran untuk tanding dan tur ke mana pun, saya yang tanggung. Pemerintah tidak keluar uang karena saya memang profesional," ucap Yayuk kepada kumparanSPORT.
ADVERTISEMENT
“Saya travelling on my own cost. Sementara, berapa banyak income yang saya terima, ya, tergantung saya sendiri. Dalam artian, tergantung saya bertanding di turnamen hingga babak berapa. Tanggung jawab mengharumkan negara ada di pundak saya. Tapi, saya juga bertanggung jawab penuh kepada diri sendiri,” jelas Yayuk.
Paulus Pesurnay bersama istrinya. Foto: Marini Dewi Anggitya Saragih/kumparan
Yang perlu diperhatikan, menjadi petenis profesional juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ambil contoh Grand Slam. Kompetisi paling masyhur di jagat tenis ini menyediakan uang hadiah yang melimpah bagi para pesertanya.
Berhasil melangkah ke babak pertama saja, seorang petenis nomor tunggal akan diganjar uang hadiah sekitar 46.000 dolar AS. Kabar baiknya, seluruh seri Grand Slam sudah menyamaratakan jumlah uang hadiah untuk nomor putra dan putri.
ADVERTISEMENT
Namun, menjejak ke Grand Slam tidak semudah yang dipikirkan banyak orang. Sebagai kompetisi akbar, Grand Slam hanya terbuka bagi 128 peserta untuk nomor tunggal putra dan putri.
Hanya petenis putra peringkat 104 putra dan 108 putri yang berhak melangkah ke turnamen. Itu berarti, sisanya mesti menempuh jalur wildcard (masing-masing delapan) dan kualifikasi (12 putri, 16 putra).
Perolehan poin tentu menentukan peringkat. Proses mencari poin inilah yang mesti dilakoni dengan susah-payah oleh setiap petenis profesional, termasuk Yayuk. Atau, lihatlah yang dilakukan Christopher Rungkat dalam rangkaian turnya.
Yayuk Basuki dan Taufik Hidayat Foto: Nugroho Sejati/kumparan
“Buat masuk babak pertama itu yang sulitnya minta ampun. Mencari poinnya itu kayak masuk kampung ke kampung. Pain-nya selalu di sana. Begitu masuk, baru maintenance peringkat dan poin,” jelas Yayuk.
ADVERTISEMENT
Rasa aman inilah yang memberikan kebebasan bagi Yayuk untuk merengkuh prestasi. Namun, tanggung jawab terhadap diri sendiri juga menjadi perkara penting.
Itulah sebabnya, Yayuk merekrut Paulus sebagai pelatih fisik secara individu. Ia membutuhkan orang yang dapat fokus kepada physical ability-nya. Sederhananya, Yayuk tak mau kondisi fisiknya menurun ketika harus bertanding dalam kurun panjang.
“Sebagai profesional saya harus tahu input dan ouput-nya, termasuk kebutuhan konsumsi saya. Sebagai profesional, saya tidak bisa mengirit. Segala sesuatu yang saya perlukan untuk menunjang penampilan di lapangan harus saya penuhi.”
“Soal makan pun benar-benar harus saya hitung. Saya harus paham kadar karbohidrat, protein--pokoknya semua yang saya butuhkan. Artinya, saya bertanggung jawab pada diri sendiri, pada karier saya sendiri,” ujar Yayuk.
ADVERTISEMENT
Bertanggung jawab kepada diri sendiri adalah hal yang begitu ditekankan oleh Yayuk. Menjadi profesional, baginya, tidak cuma tentang membiayai kehidupannya secara mandiri. Itu tentang kegigihan untuk bersetia pada proses.
Semua orang ingin instan. Tapi, tidak ada yang bisa dicapai secara maksimal secara instan. Bagi Yayuk, kepelatihan pun demikian. Seorang pelatih--baik teknik maupun fisik--mesti berproses dengan memahami kebutuhan dasar kepelatihannya. Dalam artian, apa yang harus diperbaiki dari atletnya?
Petenis Yayuk Basuki saat bertanding melawan Monica Seles dari Amerika Serikat pada kejuaraan Wimbledon di Court One. Foto: AFP/PASCAL PAVANI
“Tenis itu bukan olahraga sekadar mukul keras. Bukan asal bam-bum-bam-bum. Ada game plan-nya. Pelatih juga harus mendorong atletnya kreatif. Saya punya power, tapi kalau tanding, tidak asal main grudag-grudug. Saya lebih memilih untuk pakai strategi permainan," tegas Yayuk.
Pun demikian dengan Hendrawan. Perjalanan panjang untuk merengkuh gelar juara meyakinkannya bahwa nama besar di jagat olahraga bukan perkara murahan. Jangan sekali-sekali mangkir dari proses. Makanya ia tak ambil pusing dengan latihan super berat sekalipun--bahkan Hendrawan masih harus jogging sesaat setelah pertandingan beres.
ADVERTISEMENT
Komitmen atlet menjadi satu hal, komitmen para pelatih fisik adalah persoalan lain. Paulus menyadari betul seperti apa tanggung jawabnya sebagai bagian dari tim. Pengertian ini mendorongnya untuk memahami secara detail olahraga yang digeluti oleh atlet yang ia tangani.
Ilmu olahraga yang ditempuh selama kuliah tidak menjadi modal Paulus satu-satunya. Perjalanan kariernya sebagai pelatih fisik bahkan dimulai ketika ia masih berstatus sebagai atlet atletik pada 1960-an. Ketika itu ia memiliki seorang pelatih berkebangsaan Republik Ceko.
Pelatihnya yang ini hanya bisa berkomunikasi dalam Bahasa Ceko dan Bahasa Inggris sehingga membutuhkan penerjemah. Paulus bersedia menerima tanggung jawab sebagai penerjemah. Tugas tambahan ini pula yang membuatnya terbiasa menyusun program-program latihan yang menjadi tiang pancang kariernya sebagai pelatih fisik.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Lari. Foto: Shutter Stock/kumparan
Nah, mulai dari sini, kita bisa bicara soal serabut otot merah muda tadi. Secara sederhana Paulus menggambarkan bahwa ada tiga kelompok serabut otot: serabut otot putih, serabut otot merah, dan serabut otot merah muda.
Serabut otot putih dan merah memiliki dua sifat yang berkebalikan. Serabut otot putih bisa berkontraksi dengan cepat, tapi juga cepat lelah. Sementara, serabut otot merah berkontraksi dengan lambat, tapi tidak cepat lelah.
Otot merah tidak cepat lelah karena sistem pembuluh darah dan kapiler yang lebih luas untuk menyediakan sejumlah oksigen ekstra. Oksigen ini digunakan dalam metabolisme oksidatif sebagai sumber energi otot. Tentu, serabut otot putih adalah kebalikannya.
Itulah mengapa serabut otot putih acap berkaitan dengan kecepatan dan serabut otot merah dengan daya tahan. Dan bagi Paulus, ini yang disebut dengan konstitusi tubuh.
ADVERTISEMENT
“Kalau menjadi sprinter, serabut otot putihnya mesti banyak. Serabut otot putih bicara soal kecepatan dan tidak bisa diubah karena sudah dari sananya (gifted, bakat). Misalnya, serabut otot putih saya 58%. Tapi, jangan lantas menyebut 42%-nya merah karena masih ada serabut otot merah muda. Mungkin 5% dari 42% itu serabut otot merah muda,” jelas Paulus.
Ilustrasi Fisik di Gym. Foto: Shutter Stock/kumparan
Serabut otot merah muda memiliki sifat yang unik karena dipengaruhi oleh rangsangan latihan. Jika latihannya menyasar pada peningkatan kecepatan, serabut otot merah muda akan bersifat sebagai serabut otot putih dan vice versa.
“Pelatih fisik yang baik itu harus tahu teori ini supaya bisa menentukan latihan apa yang diberikan. Buat saya serabut otot merah muda itu bukti bahwa Tuhan itu mahaadil, ya. Serabut otot merah muda ini ibarat kesempatan buat siapa pun yang mau berusaha,” jelas Paulus.
ADVERTISEMENT
“Kalau dulu, untuk mengetahui serabut otot mana yang lebih dominan, ototnya dulu (tes laboratorium. Tapi, pengukuran sekarang juga bisa dilakukan dengan tes-tes fisik. Misalnya, kalau mencari pelari, dia harus dites lari 60 meter, tapi tanpa aba-aba. Jadi, harus spontan. Tidak boleh ada peran skill di sana,” kata Paulus.
Tidak mengherankan jika pada akhirnya Paulus bisa menerapkan metode kepelatihan dengan perhitungan yang rinci dan jelas kepada atlet-atletnya. Ambil contoh, skema latihan kepada Hendrawan dan Yayuk yang diambil dari perhitungan rinci pertandingan.
Foto Paulus Pesurnay saat memegang trofy Piala Thomas Cup. Foto: Dok. Paulus Pesurnay
“Om Paulus paham kondisi atlet-atletnya. Dia tahu vo2max (volume maksimal oksigen) atlet. Jadi dia paham betul requirement seorang atlet.Tapi dia juga tidak menerapkan programnya dengan cara yang membosankan. Makanya kami dapat menikmati sesi latihan, menikmati kerja sama ini. Kami bisa melakukan tugas masing-masing dengan happy. Jadi, mau dikasih latihan seberat apa pun, I’m fine,” jelas Yayuk.
ADVERTISEMENT
Pengenalan mendalam akan olahraga dan atlet adalah alasan mengapa Paulus dapat mentransfer kebutuhan di pertandingan ke latihan. Alhasil, latihan yang diberikan bakal tepat sasaran. Komitmen kembali menjadi pertanyaan.
“Yang menjadi pertanyaannya kan begini: Para pelatih fisik mau tidak mengawasi atau ikut lari berpuluh-puluh kali dengan atletnya? Mau tidak menjelaskan apa tujuan program latihannya?” ujar Paulus.
“Ada banyak yang kita tidak tahu, Non,” kalimat itu berulang kali diucapkan Paulus dalam wawancaranya bersama kami. Kalimat itu memang tidak terdengar seperti adagium pada umumnya, yang disusun dengan kata-kata berbunga.
Tapi, jangan-jangan kalimat sederhana itu yang dipakainya sebagai fondasi ketika bekerja sebagai pelatih fisik. Mungkin tadinya Yayuk tidak tahu bahwa ia bisa berlaga di perempat final Wimbledon.
ADVERTISEMENT
Barangkali awalnya Hendrawan tidak pernah tahu bahwa ia bakal menjadi juara dunia dan ujung tombak kemenangan Indonesia di Piala Thomas, serta melatih legenda hidup seperti Lee Chong Wei.
Bukannya mustahil pula bila tadinya Taufik Hidayat tidak tahu bahwa ia bisa berdiri di Kota Athena yang agung itu dengan kalungan medali emas. Dan sebaliknya, Paulus mungkin awalnya tidak pernah tahu dengan pasti bahwa kepelatihannya sanggup mengantar atlet-atlet itu ke puncak gunung prestasi.
Namun, Paulus tidak berhenti mencari tahu. Kabar baiknya, ‘menemukan’ adalah ganjaran bagi mereka yang tak pernah berhenti mencari.
***
Anda juga dapat membaca tulisan lainnya tentang perjalanan Paulus di konten spesial kumparanSPORT 'Tangan Emas Paulus Mencetak para Genius.'
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten