Rod Laver: Berbuat Onar, lalu Menjadi Legenda di Jagat Tenis

8 Januari 2019 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Legenda hidup tenis Australia, Rod Laver. (Foto: CENTRAL PRESS / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Legenda hidup tenis Australia, Rod Laver. (Foto: CENTRAL PRESS / AFP)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hidup di atas lapangan tenis berjalan terus, para petenis tergagap mengejar supaya dapat bertahan hidup. Di antara sekian banyak hal yang dapat dikejar di atas lapangan tenis, Rod Laver menjadi salah satu yang paling sulit buat dikejar.
ADVERTISEMENT
Bila nama Laver disebut, barangkali pikiran sebagian orang akan mengerucut pada tiga hal: Sapu bersih Grand Slam 1969, nama lapangan utama di Melbourne Park yang jadi venue Australia Terbuka, dan The Rockets.
Untuk hal yang disebut terakhir, itu adalah julukan yang disematkan kepada Laver yang pertama kali dicetuskan oleh kapten sekaligus pelatihnya, Harry Hopman. Tapi, salah besar jika Hopman memberikan julukan itu karena Laver tampil sebagai anak didiknya yang paling hebat.
"Saya pendek, kurus, dan lambat. Setelah beberapa hari tiba di kamp pelatihan, Hopman berkomentar begini: Kamu adalah Rockhampton Rocket, bukan? Ya, roket yang macet," kenang Laver dalam Player Voice Australia.
Jadi begitulah julukan itu bermula. Bocah asal Rockhampton, Australia, datang ke kamp pelatihan yang dijalankan oleh Hopman. Siapa yang menyangka pula bila bertahun-tahun setelahnya bocah ingusan itu bisa bergabung dalam Tim Australia untuk Piala Davis yang dikapteni dan dilatih oleh Hopman?
ADVERTISEMENT
"Saya memanggilnya Rocket bukan karena ia seperti roket, tapi karena ia tidak seperti roket. Rocket adalah salah satu anak paling lambat di kelas saya, tapi kecepatannya bertambah seiring dengan kedewasaannya di ranah tenis. Dan dengan cara seperti itulah ia melegenda," jelas mendiang Hopman, dikutip dari Tennis Fame.
Rod Laver dan trofi Wimbledon 1969. (Foto: STAFF / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Rod Laver dan trofi Wimbledon 1969. (Foto: STAFF / AFP)
9 September 1969, Laver berdiri di tempat tertinggi untuk keempat kalinya di tahun itu. Bicaranya tak banyak, kedua tangannya diangkat tinggi, menopang trofi perak yang menjadi penutup perjalanannya sebelum tahun berganti menjadi 1970. Ini hari bersejarah, kali pertama final AS Terbuka digelar di era terbuka. Tak ada lagi batasan antara amatir dan profesional. Semua berhak berlaga di atas lapangan tenis, menggantungkan hidup pada setiap ayunan raket.
ADVERTISEMENT
Di sebelahnya berdiri Tony Roche, sesama kawannya dari Australia. Yang diterima Roche adalah kekalahan empat set yang menyebalkan. Di set pertama, Roche sudah menang 9-7. Dilihat dari skornya pun, laga itu pasti berjalan sengit. Jadi, kalaupun Roche harus kalah di set kedua, seharusnya bukan kekalahan yang telak.
Tapi, terjebak di satu set sudah cukup bagi Laver. Ia tak mau menutup musim bersejarah sebagai yang nomor dua. Laver menolak untuk terlalu cepat tunduk di hadapan kekalahan. Maka yang terjadi setelahnya adalah kebangkitan spektakuler. Laver menang di tiga set beruntun, kemenangan yang besar pula: 6-1, 6-2, 6-2.
Laver membukukan namanya pada catatan sejarah. Tiga kompetisi Grand Slam sebelumnya--Australia Terbuka, Prancis Terbuka, dan Wimbledon--dituntaskan dengan gelar juara. Laver menjadi petenis pertama di era terbuka yang menyapu empat seri Grand Slam. Ia mengulang apa yang pernah ditorehkannya pada 1962, waktu Grand Slam masih menutup diri dari petenis profesional.
ADVERTISEMENT
Sebelum era terbuka pada 1968, para petenis bertungkus-lumus sendirian demi menyambung hidup dan membiayai perjalanan mereka untuk berlaga dari satu tur ke tur lainnya. Uang hadiah yang tak seberapa menjadi satu-satunya cara untuk bertahan. Tapi Laver tidak mau terjebak dalam cara hidup yang seperti itu.
Usai menutup musim 1962 dengan empat trofi Grand Slam, Laver menandatangani kontrak profesionalnya senilai 100.000 dolar AS. Itu keputusan berisiko setinggi langit, keputusan yang membuatnya tersisih dari ingar-bingar dan kemasyuhuran kompetisi Grand Slam. Apa lacur, ITLF sebagai otoritas tertinggi tenis kala itu melarang siapa pun yang berstatus sebagai petenis profesional untuk merebut gelar di semua kompetisi yang mereka helat, termasuk keempat seri Grand Slam dan Piala Davis.
ADVERTISEMENT
Dalam esainya yang berjudul "The Greatest? Don’t Forget Laver’s Lost Years" untuk The New York Times yang tayang pada 30 Agustus 2009, Dave Anderson berandai-andai apa yang akan terjadi jika Laver tidak mengambil keputusan untuk menjadi petenis profesional.
Rod Laver (kiri) dan Ken Rosewall (kanan) usai final Wimbledon 1968. (Foto: AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Rod Laver (kiri) dan Ken Rosewall (kanan) usai final Wimbledon 1968. (Foto: AFP)
Bila itu yang terjadi, bukannya tak mungkin Laver bisa bersaing ketat perkara mengoleksi Grand Slam--setidaknya di Australia Terbuka-- dengan kompatriotnya, Roy Emerson, yang menjadi juara pada 1963, 1964, 1965, 1966, dan 1967 setelah sebelumnya menjadi kampiun pada 1961. Dalam kurun waktu 1962 hingga 1967, Emerson sanggup mengamankan 10 trofi Grand Slam. Atau mungkin dengan petenis-petenis lain yang gelar juaranya tak sebanyak Emerson macam Manuel Santana, Fred Stolle, dan John Newcombe.
ADVERTISEMENT
Namun, Laver adalah keganjilan. Sebagai petenis ia membuktikan bahwa hidup bukan hanya soal kebaikan atau keburukan, tapi bagaimana bersikap kepada keduanya. Alih-alih mandek, Laver tetap bergegas. Benar bahwa ia dilarang untuk berkompetisi memperebutkan Grand Slam. Namun, ada lapangan lain yang memberinya ruang untuk menyabet gelar. Maka, berlagalah ia di AS Pro, Prancis Pro, dan Wembley Pro. Dari sana, lima tahun yang terhilang itu menjadi periode yang membidani kelahiran delapan gelar juara.
"Saya adalah pembuat onar. Saya bahkan berbuat onar saat berlaga, saat kedua kaki saya menginjak lapangan tenis," seperti itu Laver berkisah tentangnya sendiri kepada Player Voice Australia.
Tenis adalah olahraga yang memegang teguh tatanan. Semuanya harus dilakukan dengan tertib dan benar-benar saklek pada aturan. Lihat apa yang terjadi saat Serena Williams berlaga di Prancis Terbuka 2018 dengan catsuit-nya. Atau pemandangan paling umum saat penonton dilarang bersuara ketika petenis hendak melakoni servis.
ADVERTISEMENT
Wimbledon menjadi yang paling gigih mempertahankan tradisi dan aturan jika bicara perkara yang satu ini. Hanya di Wimbledon setiap petenis diharuskan untuk memakai kostum putih-putih dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kalau ada logo yang berwarna, ukuran dan sifat warnanya pun harus mengikuti peraturan. Tak cuma para petenis, para ball girl dan ball boy yang bertugas pun berkostum lengkap macam pegawai, begitu pula dengan jurnalis yang meliput. Jangan macam-macam kalau kau tak mau diusir dari turnamen.
Namun, Laver menolak untuk bersopan-sopan amat di Wimbledon yang agung itu. Wimbledon adalah impian terliar Laver. Maka saat Wimbledon menjadi kenyataan, ia ingin kenyataan itu berjalan dengan selera humor yang bagus dan keberanian untuk berbuat onar.
ADVERTISEMENT
"Saya ingat masa-masa saya masih bermain, melakukan ini dan itu. Ada beberapa bagian dari ingatan saya yang benar-benar utuh dan rangkaian kisah soal Wimbledon selalu masuk dalam bagian itu."
"Saat saya menjuarai Wimbledon pada 1962 dan 1963, saya hanya mendapat voucher senilai 10 poundsterling dan jabat tangan formal. Memangnya saya bisa makan apa dengan hadiah itu? Kemenangan itu tidak membantu saya secara finansial. Saya sempat berpikir begini: Kalau seperti itu caranya, haruskah saya pulang ke Australia dan melatih demi beberapa poundsterling per jamnya? Cara itu tidak akan berhasil," ucap Laver.
Rod Laver Arena di Melbourne Park. (Foto: Reuters/Issei Kato)
zoom-in-whitePerbesar
Rod Laver Arena di Melbourne Park. (Foto: Reuters/Issei Kato)
"Jadi, ya, sudah, saya menjadi pemain profesional pada 1963. Selama tahun-tahun itu (1963 hingga pertengahan 1968 -red), saya kehilangan (kesempatan untuk meraih) 21 gelar juara Grand Slam. Tapi, saya tidak pernah menyesal setiap kali saya menengok ke belakang. Toh, di sepanjang karier saya sudah 11 Grand Slam tunggal putra yang saya juarai," jelas legenda yang sekarang berusia 80 tahun ini.
ADVERTISEMENT
Keputusan jagat tenis untuk jalan di tempat dibuktikan oleh keberadaan Herman David, petinggi All England Club pada 1967. Dia mengggagas turnamen yang digelar dua minggu setelah Wimbledon 1967. Delapan pemain profesional terbaik boleh berlaga di turnamen yang bertajuk Wimbledon Pro itu. David juga memberikan penawaran tambahan, jika petenis-petenis profesional ini bisa membuat stadion penuh pada perhelatan tahun depannya, maka mereka boleh bermain di Wimbledon 1969.
"Jadi, seperti itulah cerita kelahiran tenis terbuka. Kelahirannya benar-benar dipaksakan. Prancis, Australia, dan Amerika Serikat harus menerimanya. Sebenarnya waktu itu kami juga tidak tahu bagaimana melakoninya, yang pasti kami hanya berlagak tegar dan berkata: Ya, sudah. Ayo kita buat era tenis terbuka."
Laver merasakan sendiri seperti apa perubahan dari era lama ke era terbuka. Pada 1968, ia menerima uang hadiah senilai 2.000 poundsterling, pada 1969 bertambah menjadi 3.000 poundsterling. Dan pada 2018, 50 tahun setelahnya, juara di nomor tunggal putra dan putri masing-masing menerima 2.250.000 poundsterling.
ADVERTISEMENT
"Di waktu-waktu itu kami merasa seperti penjahat, tapi kami harus melakukannya untuk diri sendiri. Kondisi sekarang tidak dapat saya percaya. Pada 1962 dulu, Anda tidak dapat membayangkan ini semua bisa terjadi. Wimbledon menjadi luar biasa karena berperan untuk menggiring tenis pada era terbuka. Dan saya bangga bisa ambil bagian dalamnya," jelas Laver.
Perjalanan Laver memang ganjil dan tak tertebak. Setelah era tenis terbuka yang begitu diperjuangkannya itu terwujud, raihan gelar Grand Slam justru tak berpihak kepadanya. Sejak 1970 hingga 1977, ia absen di 24 turnamen. Perjalanan terjauhnya hanya sampai di perempat final Wimbledon 1971.
Bahkan di Grand Slam terakhirnya, tepatnya di Wimbledon 1977, ia hanya mampu menjejak hingga babak kedua karena takluk dari petenis asal Amerika Serikat, Richard LaClede Stockton, dalam pertandingan empat set 6-3, 7-9, 4-6, 5-7. Apa boleh bikin, nomor tunggal putra di tahun-tahun itu memang menjadi periode emas bagi generasi selanjutnya macam Bjorn Boerg ataupun Jimmy Connors.
ADVERTISEMENT
Jadi, selesailah perburuan Grand Slam untuk Laver. Ia memberikan tempat pada adik-adiknya untuk berpacu dan beradu kuat menjadi yang terhebat. Namun, sekeras apa pun anak-anak muda tadi bertarung, rekor sapu bersih Grand Slam yang ditancapkannya tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Tiang pancang itu belum tergantikan walau 37 tahun setelahnya Roger Federer pernah datang mengancam.