'Susi Susanti Love All': Tentang Bakti, tentang Prestasi

7 November 2019 21:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Susy Susanti saat ditemui di FX Sudirman, Jakarta, Kamis (7/11).  Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Susy Susanti saat ditemui di FX Sudirman, Jakarta, Kamis (7/11). Foto: Aditia Rizki Nugraha/kumparan
ADVERTISEMENT
Lewat biopik Susy Susanti, sutradara Sim F menjabarkan tentang perjalanan seorang atlet merintis karier, menjadi bintang olahraga yang dielu-elukan, dan bertarung batin sebagai minoritas ketika Indonesia berada di era orde baru (orba).
ADVERTISEMENT
Semua tertuang dalam film layar lebar yang diproduseri oleh Daniel Mananta dengan judul 'Susi Susanti: Love All'. Dengan Laura Basuki sebagai pemeran Susi, Daniel dan Sim F mengisahkan sosok Susy lebih dari sekadar legenda bulu tangkis.
Sebelum jauh membahas, mengapa film ini akhirnya menggunakan nama 'Susi' alih-alih 'Susy'--yang merupakan ejaan tepat untuk sosok yang kini menjabat sebagai Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI itu?
Daniel Mananta membenarkan pihaknya mengetahui bahwa nama yang benar adalah 'Susy', bukan 'Susi'. Namun, Daniel berdalih bahwa nama panggung sosok 45 tahun itu adalah 'Susi'. Susy pun mengaku tak mempermasalahkan namanya di dalam film menggunakan ejaan 'i'.
"Dari awal juga sama Daniel saya sudah complaint nama saya pakai 'y. Tapi, orang masih mempertanyakan 'i' atau 'y'. Ya, sudah 'i' saja lebih gampang untuk diucapkan di Indonesia," kata Susy.
ADVERTISEMENT
Lantas, seperti apa sebenarnya jalan cerita yang ada di film 'Susi Susanti: Love All' ini?
Menjadi pahlawan dalam sebuah film biopik adalah hal biasa. Pola standar untuk alur dalam film ini pun tak jauh berbeda dengan biopik tokoh-tokoh lain; bercerita soal awal mula Susy berjuang meraih kesuksesan, sampai kemudian mencapai titik sukses.
Film ini menjadi lebih menarik dengan terselipnya nilai-nilai nasionalisme yang ditunjukkan Susy. Bahkan, film ini dibuka dengan fragmen di mana Susy tengah bermain bulu tangkis pada perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) dengan mengenakan dress warna merah.
Karakter Susy diperlihatkan sebagai seseorang yang ambisius, percaya dri, dan berani mengambil risiko. Ia tinggal jauh dari orang tua dengan merantau ke Jakarta untuk bergabung dengan salah satu klub bulu tangkis Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, Susy Susanti kecil melakukan semua itu dengan displin untuk menjadi pebulutangkis andal dan legenda. Orang seperti Susy yang sangat percaya diri kerap jadi menyebalkan yang terlihat dengan keberaniannya protes kepada pelatih atau sistem latihan yang tak cocok dengannya.
Penonton kemudian dibawa pada satu fragmen euforia ketika Susy berhasil menyabet medali emas Olimpiade 1992 di Barcelona. Emas pertama buat Indonesia dalam keikutsertaan di multi-ajang terbesar dunia empat tahunan itu.
Namun, adegan kemenangan Susy di Barcelona terasa nanggung karena tidak digarap sedramatis peristiwa aslinya. Meski begitu, Sim F rupanya punya skenario lain untuk membuat penonton memahami maksud yang ingin ia tampilka di film ini.
Kehidupan personal Susy yang hadir dalam separuh film dan kesuksesan yang mulai dimunculkan tiba-tiba berubah menjadi politis. Ia menjadi sangat kecewa ketika prestasi yang ditorehkan tak cukup membuatnya menggenggam selembar kertas bernama Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).
ADVERTISEMENT
"Surat kewarganergaraan saya enggak keluar-keluar," ucap Susy ketika film menunjukkan sesi konferensi pers jelang Olimpiade 1996 di Atlanta, Amerika Serikat.
Mulai dari titik ini, film semakin menarik. Ada adegan di mana Susy dan kakaknya berdebat tentang nasionalisme. Susy tak sadar bahwa stereotip miring untuk keturunan Tionghoa sepertinya sudah kadung menempel pada rezim orba.
Anggapan bahwa prestasinya bisa menghapus stereotip miring itu seperti mendapatkan tamparan ketika SBKRI-nya tak kunjung turun.
Susy Susanti, Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI sekaligus Manajer Tim Indonesia di Piala Sudirman 2019, menyaksikan laga semifinal antara Indonesia dan Jepang. Foto: Dok. PBSI
Sim F sendiri cukup jeli menghadirkan ajang Piala Thomas-Uber 1998 di Hong Kong sebagai adegan yang membekas. Pelepasan tim Thomas-Uber oleh Presiden Soeharto, lalu disambut oleh Presiden Habibie adalah penegasan dari konflik yang tengah memanas di Indonesia.
Dalam gentingnya situasi pada Mei 1998 di Tanah Air, Susy Susanti sebagai keturunan Tionghoa, masih teguh menjunjung kecintaannya pada 'Merah-Putih'. Maka, seluruh isi babak terakhir adalah bagian paling pas untuk menunjukkan bahwa Susy bukan hanya legenda bulu tangkis, tapi juga ikon pemersatu bangsa.
ADVERTISEMENT