Tanpa Sascha Bajin, Osaka Berdiri Sendiri di Puncak Tenis

19 Februari 2019 17:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sascha Bajin dan Naomi Osaka di Brisbane International 2019. Foto: REUTERS/Patrick Hamilton/File Photo
zoom-in-whitePerbesar
Sascha Bajin dan Naomi Osaka di Brisbane International 2019. Foto: REUTERS/Patrick Hamilton/File Photo
ADVERTISEMENT
Aleksandar ‘Sascha’ Bajin melakukan ini pada setiap pertandingan Naomi Osaka. Ia mendatangi bench Osaka di waktu rehat yang durasinya tak seberapa bila dibandingkan dengan seluruh laga, mengambil posisi setengah berjongkok di hadapan anak didiknya itu, lalu bertanya sambil tersenyum: Hei, ada apa denganmu?
ADVERTISEMENT
Pemandangan macam tadi juga terlihat pada semifinal Indian Wells 2018. Jangan pikir laga ini partai semifinal biasa karena yang menjadi lawan adalah Simona Halep yang masih berstatus sebagai petenis nomor satu dunia.
Bajin datang ke bench Osaka jelang set kedua dimulai. Setengah berlari ia menghampiri Osaka, mengucapkan 'Kamu bertanding dengan hebat, Naomi,’ dan membenturkan tinjunya ke tangan si anak didik yang terlihat tak berselera menyambut gestur itu.
“Kenapa wajahmu seperti itu? Kamu baru memenangi set pertama melawan petenis nomor satu dunia, lho.”
Barangkali Osaka tak puas dengan penampilannya sendiri. Mungkin ia kesal walau sudah menang 6-3 di set pertama. Tapi, profesional tak boleh mengamuk, tak boleh pundung.
ADVERTISEMENT
Osaka menjawab pertanyaan tadi, mengutarakan bahwa ia tak senang dengan permainannya sendiri. Lantas, Bajin kembali bertanya, “Oke, apa yang bisa kita lakukan untuk menyelesaikan persoalan ini?”
Naomi Osaka menangi AS Terbuka 2018. Foto: TIMOTHY A. CLARY / AFP
Osaka percaya, pergerakan kaki--footwork--adalah kunci baginya untuk merengkuh kemenangan di set kedua dan melangkah ke final. Bajin yang duduk di kotak pelatih di sepanjang laga itu tak membantah.
Mungkin ia lebih tahu apa yang jadi kekurangan Osaka. Toh, ialah yang menjadi pelatih. Namun, tak ada orang lain yang mengenal Osaka selain Osaka sendiri. Pemikiran macam itu dipegang erat-erat di sepanjang petualangan keduanya di belantara tenis.
“Kalau begitu, bergeraklah dengan lebih dinamis, lebih fleksibel. Dan yang saya inginkan, fokus pada pertandinganmu. Tidak masalah kalau lawanmu atau kau sendiri melakukan kesalahan. Kau melakukan kesalahan, segera fokus lagi. Kalau dia yang melakukan kesalahan, manfaatkan itu. Ingat, kamu sudah bertanding dengan baik," ucap Bajin.
ADVERTISEMENT
Sascha Bajin (paling kiri) dan Naomi Osaka jelang Hong Kong Terbuka 2018. Foto: Anthony WALLACE / AFP
'Big Sascha', seperti itu orang-orang di kalangan tenis menjulukinya, mungkin punya kekuatan rahasia. Raut kekesalan itu lenyap dari wajah Osaka dalam seketika.
Bahkan, petenis berdarah Tahiti-Jepang ini sanggup melemparkan lelucon dan meminta tos kepada sang pelatih yang ternyata, tak dikabulkan. “Oh, tidak, tidak. Kita akan melakukan tos nanti, setelah pertandingan.”
Osaka tahu pelatihnya itu kawan yang menyenangkan untuk diajak bercanda sehingga ia meminta tos lagi. Entah apa yang jadi tujuannya. Mungkin memang ingin menjahili pelatihnya atau barangkali cuma mau meyakinkan bahwa ia baik-baik saja--tak peduli sesulit apa pun laga ini.
Osaka bangkit dari bench-nya sambil tertawa, Bajin meninggalkan tepi lapangan dan naik ke boksnya sambil tertawa. Seketika, laga semifinal menjadi pertandingan yang menyenangkan. Tenis tak lagi menjadi pertarungan yang memaksamu untuk menjadi soliter.
ADVERTISEMENT
Osaka melaju ke final. Halep dikalahkannya dengan skor 6-3, 6-0. Tak cuma sampai di situ. Laga pamungkas ditutupnya dengan gelar juara. Osaka bersiap untuk Grand Slam penutup musimnya.
***
Barangkali yang menjadi hal paling menyenangkan dari memiliki seorang rekan, pelatih, kawan, atau apa pun seperti Bajin adalah kau akan memiliki seseorang untuk mengatakan hal paling tak masuk akal sekalipun.
Kau bisa meracau seenak jidat. Ia akan mendengarkan, tak membantah, dan pada akhirnya meyakinkanmu bahwa kau akan baik-baik saja. Ia tak akan berlagak pintar atau berpura-pura tahu solusi apa yang kau butuhkan untuk mengubah keadaanmu.
Naomi Osaka dan Sascha Bajin di semifinal China Terbuka 2018. Foto: GREG BAKER / AFP
Ia akan tetap dalam posisi setengah berjongkok, menunjukkan wajah heran, dan berkata bahwa ia sendiri pun tak punya jalan keluar pasti. Namun, ia tak ke mana-mana saat kau mengomel tak jelas.
ADVERTISEMENT
Ia mendengarkan sampai tuntas, hingga kau percaya bahwa kawanmu yang satu ini tak akan menghilang bahkan saat gelar juara dan kehormatan itu hilang dari ayunan raketmu.
Osaka mengalami ini saat berlaga melawan Karolina Pliskova di final Toray Pan Pacific Open 2018. Saat rehat, Bajin mendatanginya seperti biasa. Belum lagi pelatihnya itu mengambil posisi tepat di depannya, Osaka sudah mengoceh, “Saya mengalami mid-life crisis."
Bayangkan, ini laga final--di negaramu sendiri. Dan kau masih sanggup mengeluhkan soal mid-life crisis padahal kau sadar usiamu baru 21 tahun.
Tapi, seabsurd apa pun omelan Osaka, Bajin selalu melakukan hal yang sama. Ia mendengarkan dengan wajah heran sampai tuntas, lalu memberikan jawaban yang sebenarnya menegaskan bahwa satu-satunya orang yang mampu untuk menyelesaikan persoalanmu di atas lapangan adalah kau sendiri.
ADVERTISEMENT
Naomi Osaka juara tunggal putri Australia Terbuka 2019. Foto: REUTERS/Adnan Abidi
"Sejak awal kami bertemu, saya sudah tahu bahwa ia seorang petenis dengan kekuatan pukulan yang hebat. Saya tidak perlu lagi melatihnya untuk memukul bola. Ya, paling-paling hanya sebatas memberi saran bahwa ketimbang ngotot untuk memukul terlalu keras, lebih baik memukul dengan efektif. Kami berlatih dengan berbagai angle," jelas Bajin.
"Ia tetap orang yang sama. That's the beauty about her. Setidaknya, dalam benak saya ia tidak pernah berubah. Mungkin sekarang ia lebih terbuka pada media dan penggemarnya. Ia mulai terbiasa dengan keramaian dan rangkaian pertanyaan. Ia juga lebih percaya diri di atas lapangan--yang mana memang perubahan yang bagus 'kan? Namun, pada dasarnya, ia tetap anak perempuan yang sama," ucap Bajin lagi.
ADVERTISEMENT
Sascha memang tak pernah menjadi petenis papan atas, tapi ia terbiasa menangani petenis-petenis papan atas. Namun, ketimbang dikenal sebagai pelatih, Bajin lebih masyhur sebagai hitting partner Viktoria Azarenka dan Serena Williams. Profesi ini memang aneh, tapi memang ada di ranah tenis.
Hitting partner bukan pelatih. Ia adalah lawan latihan tandingmu di setiap turnamen. Itulah sebabnya Bajin pernah menjelaskan bahwa ia menghabiskan 330 hari bersama Serena dalam setahun.
Di ranah tenis putra, hitting partner memang bukan profesi penuh waktu. Namun, tidak demikian dengan tenis putri. Jarang sekali dalam waktu-waktu latihan tanding seorang petenis putri akan bertanding melawan petenis putri.
Seringnya sesi ini dilakukan bersama petenis putra dengan peringkat rendah. Ketimbang repot mencari lawan tanding di sela-sela turnamen, sejumlah petenis putri memang lebih suka bekerja sama dengan seorang hitting partner seperti Bajin.
ADVERTISEMENT
Efektivitas kinerja Bajin ini salah satunya terlihat pada musim 2014. Usai kekalahan di babak ketiga Wimbledon, Serena diajaknya untuk tinggal dan berlatih di Kroasia selama dua minggu.
Entah metode apa yang diterapkan Bajin. Yang jelas, Serena kembali berkompetisi dan menjadi juara di turnamen pertamanya setelah Wimbledon, Bank of the West Classic, dengan mengalahkan Angelique Kerber di partai puncak. Serena pun menegaskan dalam pidato kemenangannya bahwa gelar juara itu dipersembahkannya untuk Bajin.
Serena Williams menghibur Naomi Osaka di panggung penyerahan trofi AS Terbuka. Foto: USA Today/Reuters/Robert Deutsch
Perjalanan tenis Bajin adalah langkah yang muram. Ia dikenal sebagai petenis junior berpotensi menjanjikan pada akhir 1990-an. Namun, saat ia berusia 15 tahun, ayahnya yang juga seorang pelatih tenis meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Bajin kehilangan motivasi dalam seketika.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, Bajin berhasil bangkit walau langkahnya tak tegap. Ia mencoba menjadi pelatih di Muenchen, Jerman. Tahun 2007 adalah pertama kali ia menerima tawaran untuk menjadi hitting partner Serena hingga 2016.
Lantas, ia berstatus sebagai hitting partner untuk Caroline Wozniacki sejak 2017 hingga 2018. Begitu kerja samanya dengan si petenis Denmark usai, dimulailah perjalanan baru Bajin.
Petualangan itu pada akhirnya berkisah tentang keberhasilannya membentuk petenis peringkat 72 dunia menjadi petenis peringkat satu dunia. Perjalanan itu ditandai dengan keberhasilan sang petenis menjadi ratu di AS Terbuka 2018 dan Australia Terbuka 2019--lantas dipermanis dengan keberhasilan Sascha menjadi Pelatih Terbaik 2018 versi WTA.
****
“Kami tidak berpisah karena hal yang buruk. Saya juga tidak akan berkata-kata yang buruk tentangnya karena pada kenyataannya, saya begitu bersyukur atas segala hal yang sudah ia berikan dan kerjakan."
ADVERTISEMENT
Osaka berulang kali menegaskan bahwa keputusannya untuk mengakhiri kerja sama dengan Sascha bukan karena uang. Menurut laporan The Guardian, keputusan ini diambil dua minggu setelah keberhasilan Osaka menjuarai nomor tunggal putri Australia Terbuka 2019.
“Anggapan bahwa keputusan ini berkaitan dengan uang merupakan salah satu hal paling menyakitkan yang pernah saya dengar. Saya bepergian dengan tim di sepanjang tahun. Saya bahkan lebih sering melihat mereka ketimbang keluarga saya sendiri. Saya tidak akan melakukan hal macam itu kepada mereka,” ucap Osaka.
“Alasan saya memutus kerja sama ini adalah, saya tidak mau meletakkan kesuksesan di atas kebahagiaan saya sendiri. Saya tidak akan mau mengorbankan kebahagiaan sendiri untuk mempertahankan satu orang agar tetap ada di dekat saya,” jelas Osaka, dilansir The Guardian.
ADVERTISEMENT
Ia memilih untuk menyalahkan kesuksesan. Segala penjelasan itu membuatnya tampak seperti seorang religius yang mengaku eksistensialis, yang acap menggugat nasib dan Tuhan bila tak ada lagi yang bisa disalahkan.
Pemberitaan media Jepang soal gelar Grand Slam Naomi Osaka. Foto: Kazuhiro NOGI / AFP
Rasanya sulit untuk memahami mengapa Osaka tetap mengeluhkan kebahagiaan saat Bajin begitu gigih membuat pertandingan demi pertandingan menjadi lebih menyenangkan. Rasanya tak masuk akal bila melihat tayangan video yang menggambarkan kesenangan Sascha untuk mengubah sesi latihan menjadi lebih riang.
Mencari alasan mengapa keduanya memutuskan untuk tak lagi ada dalam satu tim sama sia-sianya dengan mencari tahu mengapa hitung-hitungan skor dalam tenis begitu rumit. Apa pun alasannya, keputusan ini mengganjar Osaka dengan satu akibat: berdiri sendirian di atas puncak gunung tenis. Mungkin untuk pertama kalinya.
ADVERTISEMENT