Terkendala Biaya, Indonesia Sulit Gelar Piala Thomas dan Uber 2020

30 Mei 2018 15:31 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Semifinal Piala Thomas 2018: Marcus dan Kevin (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Semifinal Piala Thomas 2018: Marcus dan Kevin (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
ADVERTISEMENT
Perhelatan Piala Thomas dan Uber di Thailand baru saja usai. Indonesia harus kembali menelan kekecewaan setelah gagal meraih gelar juara. Tim Thomas terhenti di fase semifinal dari China, sementara tim Uber kandas di tangan tuan rumah Thailand di perempat final.
ADVERTISEMENT
Dan, gelaran akbar di dunia bulu tangkis ini akan kembali dihelat pada 2020 mendatang. Hingga saat ini, Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) belum menentukan tuan rumah Piala Thomas dan Uber tersebut.
Lantas, adakah peluang Indonesia untuk menjadi tuan rumah?
Pada 2008 silam, Indonesia pernah dipercaya sebagai tuan rumah Piala Thomas dan Uber. Seperti biasa, animo penonton pun sangat membeludak sampai sempat terjadi antrean panjang untuk membeli tiket pertandingan.
Terkait hal itu, Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) mengakui kans Indonesia untuk mengikuti proses bidding tuan rumah Piala Thomas dan Uber 2020 cukup berat. Meski kini Istora Gelora Bung Karno (GBK) telah bersolek, masih ada masalah fundamental lain yang mengadang.
ADVERTISEMENT
Kepada kumparanSport, Rabu (30/5/2018), Sekretaris Jenderal PBSI, Achmad Budiharto, menyadari tingginya antusiasme penggemar olahraga tepok bulu di Tanah Air. Akan tetapi, besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat pihaknya untuk saat ini menutup pilihan mengikuti bidding tuan rumah Piala Thomas dan Uber 2020.
Aksi Gregoria Mariska Tunjung. (Foto: Puspa Perwitasari/Antara)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Gregoria Mariska Tunjung. (Foto: Puspa Perwitasari/Antara)
"Ya, penonton banyak tapi Indonesia sendiri cukup berat kalau mau mengajukan diri. Alasannya biaya besar, pasti lebih mahal ketimbang waktu kejuaraan junior dulu di GOR Among Rogo, Yogyakarta," ungkap Budi--sapaan akrab Achmad.
"Untuk menggelar Piala Thomas dan Uber berbeda jauh dengan Kejuaraan Dunia Junior, bisa lebih dari Rp 20 miliar. Sementara, sponsor juga tidak bisa langsung. Kalau pun pemerintah mau bantu, biasanya hanya 20%," lanjutnya.
Menurutnya, hingga saat ini ia belum berani menyebut Indonesia siap menjadi tuan rumah Piala Thomas dan Uber 2020 meskipun venue Istora GBK kini sudah jauh lebih baik, dan terbukti sukses menggelar Indonesia Masters 2018 pada Januari lalu.
ADVERTISEMENT
Suasana pertandingan Piala Thomas 2018. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana pertandingan Piala Thomas 2018. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
"Ini (Piala Thomas dan Uber) tidak bisa asal. Biayanya besar, dan memang bagi kami cukup berat. Semoga saja pemerintah bisa bantu," kata Budi.
Indonesia sempat menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia Junior pada tahun lalu. Saat itu, GOR Among Rogo dipadati ribuan penonton, dan sekitar 4.000 orang memadati pertandingan final. Hal itu lantas mendapat apresiasi dari BWF yang menyebut kejuaraan tersebut sebagai perhelatan turnamen bulu tangkis dunia junior yang paling sukses.
Adapun, agenda terdekat bulu tangkis di Istora GBK adalah Indonesia Terbuka yang naik menjadi Super 1000 BWF. Turnamen berkonsep sportainment itu akan digelar pada 3-8 Juli 2018. Sementara, untuk Asian Games pada Agustus mendatang, Istora juga digunakan untuk venue bulu tangkis dan basket.
ADVERTISEMENT