Tontowi Ahmad dan Final di Brasil

18 Mei 2020 16:47 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tontowi Ahmad merayakan gelar juara Olimpiade 2016. Foto: Ben STANSALL / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Tontowi Ahmad merayakan gelar juara Olimpiade 2016. Foto: Ben STANSALL / AFP
Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir bertanding di atas panggung mulia yang kemeriahannya berakar dari semangat dewa-dewi Yunani. Lampu sorot, jepret dan rekam kamera, tepuk tangan, sorak-sorai, decak kagum, air mata, nyanyian penghormatan. Olimpiade.
Tarian Samba, kostum warna-warni, penggalan cerita muram di balik mural-mural lampau, ambisi lapangan hijau, bakat-bakat alami, lekuk tubuh yang liar, musim panas yang tak berkesudahan. Rio de Janeiro.
Tontowi/Liliyana menjejak ke final Olimpiade 2016. Mereka bertanding melawan ganda campuran Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying, di partai pemungkas.
I
Hampir di sepanjang laga Liliyana mengambil alih area depan net. Tontowi berjaga di sektor belakang. Ia menyusur baseline dan memberikan keleluasaan bagi Liliyana untuk menghantam lawan dengan dropshot tajam dari depan net.
Bukan Liliyana yang meminta Tontowi jatuh bangun di area tersebut. Tontowi yang menawarkan diri untuk menjaga area belakang. Liliyana paham tugas kawannya itu tak mudah.
The final. Foto: François-Xavier MARIT / AFP
Liliyana mengerti ada beban berat yang mesti dipanggul Tontowi sambil mengejar shuttlecock ke sana dan ke mari. Maka beberapa kali ketika kesalahan kecil muncul, Liliyana mengajak Tontowi tertawa kecil.
Tontowi memahami arti ajakan tersebut. Rekan sekaligus cici-nya itu tak mau mereka menderita karena kesalahan kecil.
Memang betul nila setitik dapat merusak susu sebelanga. Akan tetapi, merengkuh gelar juara tak sama dengan menjaga susu sebelanga.
Kalaupun kesalahan yang kau buat itu besar, selama kau sanggup membayarnya dengan lunas, lehermu layak mendapat kalungan medali emas.
II
Jika waktu itu kita menyempatkan diri untuk menikamkan mata lekat-lekat pada Liliyana, kita akan melihat mata yang memicing tajam. Raut wajah Liliyana yang serius itu mengingatkan kita pada omongan nyeleneh Tontowi, "Cik Butet galak."
Tontowi yang mengamankan area baseline mempersiapkan diri dengan melompat-lompat kecil. Tarikan napasnya mantap, tetapi matanya tetap riang.
"Owi itu slengekan, kadang ngeselin," suatu waktu Liliyana pernah berbicara demikian untuk menggambarkan seperti apa keseharian rekannya itu.
Walau untuk urusan mata saja berbeda, telapak tangan Tontowi dan Liliyana akan beradu setiap kali berhasil menambah angka.
Entah apa yang membuat mereka tak pernah lupa untuk melakukannya. Mungkin waktu itu gesture tersebut hanya kebiasaan yang dibuat Tontowi dan Liliyana selama enam tahun.
Namun, toss itu tidak bakal bisa berumur sampai enam tahun jika Tontowi dan Liliyana bertingkah serupa dengan mereka yang klemar-klemer meributkan perbedaan watak, gender, agama, ras, dan segala macam persoalan yang dibuat-buat.
III
Ketika Tontowi/Liliyana memimpin 19-12 di gim kedua, Soon melakukan kesalahan. Pukulannya seperti menyasar area kiri depan net. Arah itu masuk akal mengingat Liliyana mengambil posisi di kanan, sedangkan Tontowi berada di belakang dekat baseline.
Alih-alih membuahkan angka, pukulan tersebut justru memperlebar ketertinggalan Soon/Ying. Pengembalian Soon kurang tinggi sehingga shuttlecock membentur net.
Duel bulu tangkis final ganda campuran Olimpiade 2016. Foto: Ben STANSALL / AFP
Owi merespons kesalahan lawan dengan berteriak dan melompat-lompat sambil mengepalkan tangan. Liliyana tak banyak bereaksi. Dengan kepala tertunduk ia berjalan sebentar ke area baseline.
Napas perempuan berambut pixie itu tetap teratur. Setelah menepukkan telapak tangannya pada Tontowi yang masih melompat-lompat, ia berteriak, “Fokus! Enggak boleh sombong!”
“Ia adalah kapten. Ia adalah kapten di kapal itu,” demikian komentator berbicara tentang Liliyana.
Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir saat berlaga di final Olimpiade 2016. Foto: GOH Chai Hin / AFP
Tontowi mengangguk. Seketika ia menyadari bahwa di sepanjang laga Liliyana menggila dalam ketenangan yang ganjil. Merayakan kemenangan poin sah-sah saja, tetapi merayakan gelar juara belum waktunya. Selama laga belum selesai, Tontowi/Liliyana belum pantas mengeklaim kemenangan.
Keunggulan 20-12 sudah di tangan. Namun, bagaimana jika Soon/Ying menyamakan kedudukan menjadi 20-20, lalu merengkuh kemenangan 22-20? Tontowi mengatur napas, mengendalikan diri. Ia tak membiarkan emosi mengambil alih permainannya.
IV
20-12, Tontowi/Liliyana kembali beradu dengan Soon/Ying. Dalam satu tarikan napas, Liliyana melepas service. Tontowi berdiri tepat di belakangnya. Mereka mengambil posisi berbaris, berbeda dengan Soon/Ying yang mengambil posisi sejajar.
Soon menyambar pukulan Liliyana. Ia mengarahkan shuttlecok ke sudut kiri baseline. Tontowi merespons dan mengembalikan pukulan lawan dengan backhand.
Tontowi dan selebrasi yang akan selalu kita ingat. Foto: GOH Chai Hin / AFP
Soon tak mati langkah. Pukulan Tontowi dikembalikannya lewat jumping smash. Liliyana tak mengubah posisi. Ia tetap bersiaga di tengah tepat di depan net. Untuk kali ini ia tak mau wilayah kekuasaannya jatuh ke tangan lawan.
Tontowi maju hampir sejajar dengan Liliyana. Lewat forehand ia melepas pukulan menyilang yang disambar Ying. Keputusan Liliyana untuk tidak berpindah tepat. Pukulan Soon menyasar area tempat Liliyana bersiaga.
Dari area tengah, Soon membalas manuver Liliyana dengan backhand yang ternyata diarahkan ke ruang kosong di kanan belakang.
Untunglah Tontowi sudah bersiaga mengambil posisi tepat di belakang Liliyana. Dengan sekali lompatan ia menyambar shuttlecock dan mengembalikannya ke bidang permainan lawan.
Juara! Foto: Jim WATSON / AFP
Ying mengambil alih. Ia membalas pukulan Tontowi dengan smash tanggung.
Seketika Tontowi dan Liliyana berlutut sambil berteriak. Pukulan Ying kelewat tanggung. Laju shuttlecock terhenti akibat membentur net di bidang permainan sendiri.
Sekali lagi Liliyana mengacungkan tinju ke udara, sementara Tontowi mencium lapangan tempat ia merengkuh kemenangan. Tontowi dan Liliyana menjadi pebulu tangkis ganda campuran Indonesia pertama yang diganjar medali emas Olimpiade.
V
Dua puluh empat tahun sebelum laga ini, Indonesia Raya berkumandang di Olimpiade, di atas tanah Catalunya. Susy Susanti menancapkan tiang pancang sejarah dengan kemenangan 5-11, 11-5, dan 11-3 atas Bang Soo-hyun di final tunggal putri.
Susy berdiri di atas podium tertinggi Barcelona. Lehernya dikalungi medali emas Olimpiade 1992.
Tontowi dan emas Olimpiade 2016. Foto: Dean Mouhtaropoulos/Getty Images
Magi Rio de Janeiro tidak hilang walau Tontowi/Liliyana bukan pebulu tangkis Indonesia pertama yang membawa pulang medali emas Olimpiade.
Tontowi ingin pelatihnya, Richard Mainaky, melebur dalam keajaiban ala Amerika Selatan yang lahir beberapa menit jelang berakhirnya 17 Agustus 2016.
Dengan gerakan dan mimik jenaka, Tontowi mengajak pelatihnya, masuk ke lapangan. Richard masih terdiam di bangkunya.
Liliyana berlari ke bench untuk memeluk sang pelatih. Tak sampai semenit setelahnya, Tontowi mengejar dan menghambur ke pelukan Liliyana dan Richard.
Gigit emasnya! Foto: GOH Chai Hin / AFP
Jepret kamera menghantam Tontowi/Liliyana yang menggigit medali sambil tersenyum. Pose itu memiliki simbol historis. Menggigit emas adalah cara untuk menguji kemurnian emas.
Emas Olimpiade tidak murni. Di dalamnya ada bermacam-macam campuran. Namun, Tontowi dan Liliyana mempersetankan fakta itu.
Bagi mereka, membuat Indonesia Raya berkumandang lebih dari sekadar seremoni dan membungkam koar-koar soal perbedaan lewat medali emas di atas pentas semasyhur Olimpiade adalah kehormatan.
Tontowi dan Liliyana merayakan gelar juara di Olimpiade 2016. Foto: Jim WATSON / AFP
Senin, 18 Mei 2020, Tontowi menggantung raket. Ia pensiun dari bulu tangkis, meninggalkan lapangan yang bertahun-tahun menjadi rumahnya. Medali emas di Rio de Janeiro kini tinggal ingatan yang akan selalu diceritakan dalam bentuk lampau.
Meski demikian, Tontowi Ahmad tidak akan berubah. Setiap kali bercerita tentang bulu tangkis, setiap kali mengenang Olimpiade, ia akan menutup kisahnya dengan berkata: Ini sebuah kehormatan.**
Catatan editorial:
Kalimat terakhir, yang dibubuhi dua tanda bintang (Ini sebuah kehormatan**), mengutip kalimat Jimmy Breslin dalam esainya yang berjudul 'It's an Honor' yang tayang di New York Herald Tribune pada 26 November 1963.
====
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona. Yuk, bantu donasi atasi dampak corona!