Wawancara Khusus Hendrawan: Polemik Surat Bukti WNI hingga Dicap Tak Nasionalis

13 Oktober 2021 9:48 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tunggal putra Indonesia, Hendrawan, saat bertanding di Singapura Terbuka di Singapura, pada 21 Agustus 2002. Foto: Roslan RAHMAN / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Tunggal putra Indonesia, Hendrawan, saat bertanding di Singapura Terbuka di Singapura, pada 21 Agustus 2002. Foto: Roslan RAHMAN / AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hendrawan adalah legenda untuk bulu tangkis Indonesia dan dunia. Pada masa emasnya, ia menjadi salah satu tunggal putra terbaik yang pernah dimiliki 'Merah Putih'.
ADVERTISEMENT
Sederet prestasi ditorehkan Hendrawan dalam jejak kariernya di antaranya medali Perak Olimpiade Sydney 2000, Kejuaraan Dunia di Seville 2001, hingga medali emas Asian Games 1998 di Bangkok. Yang paling diingat, tentunya, hattrick Piala Thomas yang didapatkannya pada edisi 1998, 2000, dan 2002.
Kendati demikian, peluh serta air mata yang telah dikorbankan Hendrawan tak lantas mendapatkan balasan setimpal. Pria kelahiran 27 Juni 1972 pernah menghadapi kesulitan berkaitan dengan Surat Bukti Keterangan Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) manakala hendak membuat surat keterangan lahir putrinya.
Tak hanya itu, Hendrawan bahkan dicap tak nasionalis karena memilih menjadi pelatih di Malaysia. Banyak pihak sampai mencaci makinya karena pilihannya tersebut.
Lantas, bagaimana Hendrawan menyikapi segala polemik yang menghiasi perjalanan kariernya itu? Berikut wawancara kumparan dengan sang legenda di sela-sela kesibukannya mendampingi tim Malaysia di Thomas Cup 2020, Denmark.
ADVERTISEMENT

Ketika Anda memilih melatih Malaysia, apakah ada yang mempertanyakan nasionalisme Anda?

Banyak. Ya, soal nasionalisme itu kan kalau dijelaskan, orang tidak akan pernah bisa menerima. Ada beberapa penggemar yang memahami, ada juga yang tidak memahami.
Banyak juga yang memaki, memarahi, itu banyak. Akan tetapi, saya tahu kapasitas saya, maksudnya, kalau mereka mempertanyakan nasionalisme saya, berarti mereka tidak pernah tahu sejarahnya. Tetap, saya membela Indonesia.

Kabarnya banyak pula yang mencaci maki Anda karena memilih melatih Malaysia?

Betul, banyak yang mencaci saya, ada yang suruh pulang. Saya diamkan saja, saya tidak mau menjelaskan kembali, karena kalau dijelaskan beberapa kali sulit ada yang menerima. Karena ini masalah sensitif. Nasionalisme dan profesionalisme kan ujungnya tipis, susah membedakan.
Hendrawan, saat melatih tunggal putra Malaysia Lee Chong Wei. Foto: Instagram/@hendrawanbadminton

Lalu, bagaimana perasaan Anda saat melatih Malaysia dan bertemu Indonesia?

Sejak saya pindah sebagai pelatih di Malaysia, saya berpikir untuk bersikap profesional. Awalnya, bukan hal yang mudah dalam arti selama saya jadi pemain dan pelatih, saya selalu bela nama Indonesia.
ADVERTISEMENT
Awal-awal sebagai pelatih Malaysia ketemu Indonesia hampir semua mantan anak buah saya. Jadi memerlukan waktu, tetapi saya harus profesional karena sudah memilih melatih di Malaysia. Saya harus berusaha yang terbaik untuk Malaysia.
(Hendrawan ditunjuk sebagai pelatih di Federasi Bulu Tangkis Malaysia (BAM) pada 2009-RED)

Tak hanya perkara nasionalisme yang dipertanyakan, Anda sebelumnya juga pernah diuji ketika sulitnya mendapatkan SBKRI. Bagaimana kisahnya?

Tim Thomas Indonesia usai Juara di Tahun 2002. Foto: Dok. Pribadi
Jadi begini, kami orang keturunan chinese dulunya harus memiliki SBKRI, itu bukunya seperti paspor. Nah, pada waktu kelahiran putri saya yang pertama, saya ingin mengurus akte lahir, saya ditanya SBKRI-nya mana, punya SBKRI tidak.
Saya jawab, "Tidak punya, untuk apa?". Dijawab, untuk membuktikan sebagai warga Indonesia. Loh, saya punya KTP, punya paspor, dan saya sebagai atlet juga membela Indonesia, tetapi mereka bilang tetap harus punya SBKRI, kalau tidak anak saya akan ikut orang tua saya.
ADVERTISEMENT
(SBKRI adalah kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah WNI yang diperuntukan kepada WNI keturunan, terutama Tionghoa. Hal itu diatur melalui UU No 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Akan tetapi, pada 1999, melalui Instruksi Presiden No 4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No 56/1996 dinyatakan SBKRI tidak berlaku bagi etnis Tionghoa yang sudah menjadi WNI-RED).

Lalu, Apakah Anda akhirnya memiliki SBKRI? Bagaimana prosesnya?

Satu tahun saya tunggu, SBKRI saya enggak ada kabar, kemudian sebelum berangkat ke Thomas Cup 2002, waktu itu kan sebelum berangkat, ada pelepasan tim di Pelatnas, itu yang menghadiri Ibu Presiden Megawati.
Beberapa hari sebelumnya, saya minta tolong wartawan senior, bikin konferensi pers. Lalu dikumpulkan wartawan, saya cerita semuanya.
ADVERTISEMENT
Sebelum Ibu Megawati berangkat ke Pelatnas Cipayung untuk melepas kami, pernyataan saya akhirnya jadi headline. Saya masih ingat Ibu Megawati cerita pagi itu, sebelum ke Pelatnas dia sarapan dulu dan dia baca berita soal ini (SBKRI Hendrawan). Dia marah dan manggil menteri terkait (Menteri Kehakiman).
Tim Thomas Indonesia usai Juara di Tahun 2002. Foto: Dok. Pribadi
"Masalah ini bagaimana, kok, seperti ini, dia sudah membela nama negara, dan akan berangkat ke Thomas Cup untuk membela negara, masih saja ada masalah seperti ini. Ini tolong diselesaikan sebelum dia berangkat". Kira-kira begitu cerita Ibu Megawati.
Sebelum Ibu Megawati datang ke Pelatnas, saya sudah ditelepon kalau SBKRI sudah selesai. Waktu Ibu Megawati datang ke Pelatnas, dia manggil saya. Dia bilang, "Semua sudah beres, ya, Hendrawan, jadi kamu berangkat sudah tenang'.
ADVERTISEMENT

Memangnya sesulit apa menjadi atlet keturunan Tionghoa pada saat itu?

Sulit sih tidak, tetapi kalau mengurus masalah seperti SBKRI tidak gampang. Saya bersyukur SBKRI sudah tidak ada lagi dan sudah tidak dipertanyakan sekarang ini.

Kabarnya banyak negara yang ingin memberikan suaka politik kepada Anda ketika itu, apakah benar?

ADVERTISEMENT
Pada Thomas Cup 1998, banyak negara yang ingin memberikan suaka politik karena dianggap situasi di Indonesia bahaya. Negaranya ada Singapura, Hongkong, dan China.
Mereka menawarkan, tetapi saya bilang saya tidak mau karena saya lahir di Indonesia, keluarga saya juga di Indonesia.
(Pada tahun 1998 terjadi kerusuhan di Indonesia. Banyak toko dan perusahaan yang dihancurkan oleh massa terutama milik keturunan Tionghoa-RED)
***
ADVERTISEMENT
Ikuti survei kumparan Bola & Sport dan menangi e-voucher senilai total Rp 3 juta. Isi surveinya sekarang di kum.pr/surveibolasport.