Anak-anak dengan Bobot Tubuh Terbesar di Indonesia

2 November 2017 11:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Tahun 2016, publik tanah air dihebohkan oleh berita tentang seorang anak laki-laki yang memiliki bobot tubuh luar biasa berat. Saking berat, anak itu dujuluki oleh beberapa media internasional sebagai “world’s fattest boy”.
ADVERTISEMENT
Anak berbobot tubuh di atas rata-rata itu berasal dari Karawang, Jawa Barat. Namanya Arya Permana. Anda masih mengingatnya?
Tahun lalu, usia Arya baru 10 tahun, tapi bobot tubuhnya mencapai 190 kilogram. Dengan segera, bocah yang saat itu seharusnya sekolah di bangku kelas 4 SD menjadi buah bibir banyak orang. Para dokter menyatakan ia mengalami obesitas --kegemukan berlebih.
Tak hanya jadi sorotan publik, obesitas yang Arya alami juga memengaruhi hidup dan mengancam masa depannya. Berat tubuhnya yang nyaris dua kuintal membuat dia sulit untuk bergerak.
Arya bahkan terpaksa putus sekolah lantaran sulit berjalan ke gedung sekolah yang cuma berjarak 50 meter dari rumahnya. Bocah bertinggi badan 147 sentimeter itu berhenti sekolah meski sejak TK sampai kelas 3 SD, sebagaimana diwartakan Kompas TV, selalu menjadi juara kelas.
Arya Permana (Foto: ANTARA/M. Ali Khumaini)
Tumbuh kembang Arya semula tergolong biasa seperti anak-anak pada umumnya. Namun semua berubah saat ia mulai gemar mengonsumsi minuman manis dalam kemasan menjelang usia lima tahun.
ADVERTISEMENT
Menurut keterangan ayahnya, Ade Somantri, dalam sehari Arya mampu menghabiskan 20 gelas minuman manis dalam kemasan. Jika tak diberi, Arya akan menangis hingga berguling-guling. Hal itulah yang membuat Ade dan Rokayah, selaku orang tua Arya, iba dan tetap membiarkan anak mereka melakukan kebiasaan itu.
Padahal, menurut dokter spesialis gizi klinis Eva Kurniawati, anak-anak harus dibatasi dalam mengonsumsi makanan dan minuman manis demi menghindarkan mereka dari obesitas.
“Gula perlu dibatasi karena merupakan sumber energi yang jika tidak dipakai akan cepat ditimbun sebagai lemak,” kata Eva saat dihubungi kumparan, Selasa (31/10).
Eva merinci, konsumsi gula yang tepat bagi anak-anak usia 1-3 tahun adalah 2-5 sendok teh. Untuk usia 4-6 tahun 2,5-6 sendok teh. Untuk usia 7-12 tahun 4-8 sendok teh. Sementara untuk 13 tahun ke atas adalah 5-9 sendok teh.
Arya Permana (Foto: Humas Pemkab Purwakarta)
Selain gemar mengonsumsi minuman manis dalam kemasan, Arya terbiasa mengonsumsi mi instan. Dalam sehari, ia biasa makan mi instan 6 kali. Sekali makan, ia menghabiskan dua bungkus mi instan sekaligus.
ADVERTISEMENT
Di luar konsumsi minuman manis dalam kemasan dan mi instan, Arya kerap mengonsumsi makanan berat dan camilan lain.
Menurut hasil penelitian para dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin, dalam sehari Arya bisa mengonsumsi total 6.000 kilokalori. Padahal menurut buku Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah yang disusun Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada 2012, jumlah kalori yang tepat untuk anak usia 10 tahun adalah sebesar 1.900 kilokalori.
Jadi, dalam sehari Arya kelebihan mengonsumsi 4.100 kilokalori makanan. Kalori dalam makanan sebenarnya dibutuhkan tubuh sebagai sumber energi untuk beraktivitas. Namun jika jumlahnya berlebihan tanpa mengalami pembakaran lewat aktivitas fisik, akan ada kalori ekstra yang disimpan tubuh dalam bentuk lemak. Itulah penyebab berat badan bertambah.
Arya Permana (Foto: ANTARA/Novrian Arbi)
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Lily Sriwahyuni Sulistyowati, menekankan pentingnya peran orang tua dalam mengatur jumlah kalori makanan per hari yang dikonsumsi anak, sesuai umur anak.
ADVERTISEMENT
“Intinya, dari (jumlah) kalori itu dibagi tiga (kali makan),” kata Lily, Senin (31/10).
Senada dengan Lily, ahli nutrisi Rita Ramayulis menegaskan pentingnya kontrol orang tua terhadap pola makan anak.
“Anak itu belum (bertindak) sebagai penentu dia harus melakukan apa. Jadi anak masih di bawah kontrol orang dewasa, sehingga peran orang dewasa sangat penting dalam menghadapi ini,” papar Rita, Rabu (1/11).
Arya Permana (Foto: ANTARA/Novrian Arbi)
Selain Arya, sosok Rizki Rahmat Ramadhan juga sempat menghebohkan publik Tanah Air. Bocah 10 tahun asal Palembang, Sumatera Selatan, itu juga memiliki masalah berat badan seperti Arya.
Meski bobot tubuhnya “cuma” 119 kilogram atau sekitar 70 kilogram lebih ringan dibanding Arya, Rizki dinyatakan mengalami masalah obesitas yang lebih parah. Sebab, akibat obesitasnya, bocah yang duduk di kelas 4 SD itu sempat koma dan sulit dibangunkan.
ADVERTISEMENT
Tim dokter yang menangani Rizki terpaksa menggunakan mesin ventilator untuk menyuplai oksigen ke dalam tubuhnya sehingga ia bisa sadar kembali.
Menurut dokter yang menanganinya, gangguan pernapasan yang dialami Rizki terkait dengan kondisi lemak pada tubuhnya yang tak hanya menumpuk ke luar, tapi juga ke dalam. Kondisi khusus ini tidak dialami oleh Arya.
Rizki Rahmat Ramadhan (Foto: Feny Selly/Antara)
Rita Ramayulis menjelaskan, ada dua jenis lemak dalam tubuh, yakni lemak subkutan yang terletak di bawah kulit, dan lemak visceral yang terletak lebih di dalam, misalnya dalam rongga perut, dan berdekatan dengan organ-organ dalam seperti jantung, paru-paru, hati, saluran pencernaan, dan lain-lain.
“(Lemak) visceral sebenarnya bisa dibakar tanpa harus disedot, yakni dengan meningkatkan otot di sekitar sana, karena yang berkontraksi untuk membakar lemak itu otot. Nah, bagaimana dia bisa meningkatkan otot di sana, kalau bergerak saja susah,” kata Rita.
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan, semakin banyak lemak dalam tubuh anak, semakin sulit lemak itu untuk dibakar. Sebab, “semakin sulit bagi dia melakukan gerakan yang bisa membakar lemak itu, karena sudah dipenuhi dengan sel-sel malas.”
“Sel-sel malas” yang disebut Rita itu tak lain adalah lemak yang menumpuk dalam tubuh.
Penimbunan Lemak (Foto: Thinkstock)
Akumulasi lemak dalam tubuh tidak terjadi secara instan, tapi bertahap. Terutama untuk kasus Arya, Rita menilai sangat tak wajar seorang anak dibiarkan untuk mengonsumsi minuman manis kemasan sebanyak 20 gelas setiap harinya.
“Artinya, ketika dulu dia mempunyai pola makan yang tidak terkontrol, ibunya tidak merespons cepat saat itu. Membiarkan saja anak mempunyai pola makan seperti itu,” kata Rita.
Adapun terkait bedah bariatrik (bariatric surgery) yang akhirnya dilakukan tim dokter terhadap Arya demi mengurangi berat badannya, Rita mengatakan itu sepenuhnya tanggung jawab dokter bedah untuk menentukan apakah hal tersebut layak dilakukan atau tidak.
ADVERTISEMENT
“Tapi memang pada penanganan seperti itu, bedah untuk mengambil lemak bisa dilakukan,” kata Rita.
Lily Sriwahyuni menyatakan, Arya adalah kasus khusus sehingga bedah bariatrik terpaksa dilakukan. Namun ia sangat tidak menyarankan bedah bariartik dilakukan terhadap anak-anak yang mengalami obesitas.
Konpers Bedah Bariatrik: Solusi untuk Obesitas. (Foto: Luthfa Nurridha/kumparan)
Arya dan Rizki hanyalah dua dari jutaan anak di dunia yang mengalami obesitas.
Menurut penelitian yang dilakukan para ilmuwan dari Imperial College London dan the World Health Organization (WHO), kasus obesitas pada anak dan remaja di dunia telah meningkat lebih dari 10 kali lipat dalam rentang waktu empat dekade.
Pada tahun 1975, hanya kurang dari 1 persen anak laki-laki yang mengalami obesitas. Namun pada 2016, hampir 6 persen anak perempuan mengalami obesitas dan hampir 8 persen anak laki-laki obesitas.
ADVERTISEMENT
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan 8 dari 100 anak di Indonesia mengalami obesitas. Menurut Riseksdas 2013, prevalensi obesitas pada kelompok anak usia 5-12 tahun sebanyak 8 persen. Prevalensi tertinggi obesitas pada anak kelompok usia itu ada di DKI Jakarta.
UNICEF juga sempat menerbitkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa pada tahun 2013 terdapat 12 persen anak-anak Indonesia di bawah usia lima tahun yang mengalami kegemukan dan obesitas. Persentase itu merupakan yang tertinggi dibanding negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Tingkat Obesitas di ASEAN (Foto: UNICEF)
Angka 12 persen dalam laporan UNICEF tersebut diambil dari data Riskesdas 2013 yang menyebutkan prevalensi balita gemuk pada usia 0-59 bulan di Indonesia adalah sebesar 11,9 persen.
ADVERTISEMENT
Angka itu masihlah tinggi. Sebab, pada 2010 WHO menyatakan suatu negara baru bisa dikatakan tak lagi memiliki masalah gizi bila indikator balita gemuk berada di bawah 5 persen.
Rita menekankan pentingnya kesadaran para orang tua terhadap kasus obesitas pada anak. Menurutnya, sebagian besar orang Indonesia masih tak menganggap obesitas sebagai sesuatu yang berbahaya.
Kegemukan masih dilihat sebagai sesuatu yang positif, bukan negatif. Para orang tua masih menganggap anak yang gemuk itu lucu, bukan justru khawatir terhadap kesehatan anak tersebut.
Ilustrasi anak obesitas. (Foto: Shutterstock)
Rita mengatakan, obesitas berbeda dengan kegemukan (overweight) yang hanya merupakan kondisi kelebihan lemak di dalam tubuh.
Obesitas pada tingkat tertentu adalah kondisi kelebihan lemak yang disertai kelainan-kelainan seperti kelainan metabolisme dan resistensi insulin --resistensi terhadap aksi seluler insulin berupa berkurangnya kemampuan insulin untuk menghambat pengeluaran glukosa dari hati dan mendukung pengambilan glukosa pada lemak dan otot.
ADVERTISEMENT
“Insulin resistence itu the mother of diseases, menyebabkan penyakit-penyakit lain. Maka sekarang ini dunia sudah mengumumkan bahwa obesitas pada batasan tertentu merupakan penyakit,” kata Rita.
Selain sebagai penyakit, obesitas dapat menyebabkan timbulnya komplikasi penyakit-penyakit lain. “Kedudukannya itu dia sebagai penyakit, juga sebagai faktor risiko untuk penyakit yang lain,” ujar Rita.
Senada dengan Rita, Lily Sriwahyuni juga menyatakan obesitas dapat menyebabkan hipertensi, stroke, kanker, diabetes, dan penyakit lain yang merupakan penyakit-penyakit silent killer --penyakit yang timbul hampir tanpa gejala awal, namun dapat menyebabkan kematian.
“Itu asosiasi dokter spesialis anak sudah teriak-teriak karena sekarang (kasus) diabetes pada anak banyak,” imbuh Lily.
Ilustrasi melawan obesitas pada anak (Foto: Muhammad Faisal Nu'man/kumparan)
Rita Ramayulis mengatakan, faktor banyaknya anak yang menderita obesitas antara lain kemajuan teknologi dan kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji.
ADVERTISEMENT
Kemajuan teknologi, menurutnya, membuat anak-anak tak lagi banyak beraktivitas fisik atau membuat gerakan yang berpindah-pindah. “Jadi lebih banyak diam di tempat karena dia menggunakan gadget, komputer, dan sebagainya.”
Oleh karena itu, Rita mengimbau orang tua untuk mengatur jam-jam khusus bagi anak-anak, “kapan nonton TV, kapan main gadget, kapan harus melakukan kegiatan bermain seperti bersepeda, kegiatan main petak umpet, dan lain sebagainya.”
Adapun terkait kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji, Rita mengatakan orang dewasa di sekitar anak-anak perlu mengatur sekaligus menjadi model makan bagi anak-anak.
“Orang tua harus menjadi role model. Guru juga harus menjadi role model makan yang baik itu seperti apa.”
Seperti kata orang bijak, lebih baik mencegah daripada mengobati.
Contoh kasus obesitas Arya Permana (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
ADVERTISEMENT