news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bagaimana Menghadapi Jam Kerja yang Terlampau Panjang?

6 Desember 2017 20:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bekerja terlalu keras sebabkan penyakit jantung.  (Foto: dok. thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Bekerja terlalu keras sebabkan penyakit jantung. (Foto: dok. thinkstock)
ADVERTISEMENT
Apakah jam kerja yang lebih pendek membuat kinerja seseorang semakin produktif?
ADVERTISEMENT
Jawaban sementara adalah: mungkin.
Penelitian pada 2.000 pekerja di Inggris menunjukkan, pekerja yang punya jam kerja 8 jam per hari cuma bekerja secara produktif dalam waktu 2 jam 53 menit.
Sementara itu, menurut penelitian Melbourne Institute of Applied Economic and Social Research, Australia, bekerja selama 25 jam per minggu justru lebih optimal dalam mempertahankan kemampuan koginitif bagi pekerja di atas 40 tahun.
Eksperimen sosial yang diuji coba oleh pemerintah Swedia awal 2017 menunjukkan angka lain. Dengan menentukan jam kerja 6 jam per hari, pemerintah Swedia menemukan pegawai mereka memiliki mutu kesehatan dan produktivitas yang lebih baik ketimbang jam kerja yang lebih panjang.
Namun, pada intinya sama: pekerjaan dengan jam kerja yang panjang --lebih dari 8 jam-- justru mengurangi produktivitas dan memperburuk kesehatan para pegawai. (Ia juga mengkhianati usaha kaum buruh yang menuntut 8 jam kerja-8 jam rekreasi-8 istirahat sejak 1817 lalu).
ADVERTISEMENT
Namun, anggaplah kita bekerja di sebuah perusahaan, instansi, atau badan yang mewajibkan jam kerja lebih dari 8 jam. Sementara, anggap saja, kita tak punya pilihan pekerjaan lain yang lebih baik.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga kesehatan dan tetap mempertahankan produktivitas di tengah jam kerja yang tinggi?
Tidur sebentar saat kerja (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Tidur sebentar saat kerja (Foto: Thinkstock)
Short Stop
Sebelumnya, Draugiem Group telah meneliti bagaimana seorang pekerja memaksimalkan produktivitas dirinya meski harus bekerja dalam jam kerja yang panjang.
Mereka berangkat dari temuan bahwa pekerja yang religius dan secara rutin mengambil waktu istirahat singkat untuk beribadah, ternyata jauh lebih produktif ketimbang mereka yang bekerja dalam durasi lama secara terus-terusan.
Mereka juga menemukan bahwa metode selang-seling --yaitu dengan bekerja 52 menit dan istirahat selama 17 menit-- justru diklaim sebagai sistem ideal untuk mendapatkan produktivitas maksimal.
ADVERTISEMENT
Seperti dilansir Fast Company, waktu istirahat pendek tersebut berguna untuk menyegarkan otak manusia. Penyebabnya adalah, berdasar penelitian yang sama, bahwa otak manusia mengalami penurunan energi selama 15-20 menit setelah bekerja penuh selama 1 jam.
Jam kerja pendek justru lebih produktif? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jam kerja pendek justru lebih produktif? (Foto: Bagus Permadi/kumparan)
Istirahat Aktif
Cara lain untuk mengakali jam kerja yang terlampau panjang adalah dengan metode istirahat aktif.
Frasa “istirahat aktif” memang begitu paradoksikal dan ngoyoworo (mengada-ada) --bagaimana seseorang bisa tetap aktif namun juga beristirahat dalam waktu yang sama? Tapi ternyata tidak begitu, kok.
Istirahat aktif ini banyak berhubungan dengan default mode network (DMN), sebuah bagian otak yang ternyata tetap aktif ketika seseorang merasa “tidak melakukan apa-apa”.
Contoh “istirahat aktif” ini adalah ketika seseorang melamun dan ketika seseorang berkelana pikir (mind-wandering) --kegiatan yang, ketika kita ditanya “sedang apa?”, sering kita jawab dengan, “nggak ngapa-ngapain”.
ADVERTISEMENT
DMN justru aktif saat seseorang berada di dalam kegiatan-kegiatan ini. Selain itu, DMN juga aktif seseorang tengah memikirkan orang lain, memikirkan soal diri sendiri, mengingat-ingat masa lalu, dan tengah merencanakan masa depan.
DMN berperan ketika seseorang mendapatkan ide original, memberikan hubungan baru terhadap dua hal yang sama sekali tak terkait, dan momen-momen “Aha!” lainnya.
DMN ini pulalah yang berperan saat seseorang mendapat ide ketika ia tengah berendam di bath tub atau tengah duduk buang air besar. Kedua aktivitas tersebut punya satu garis merah yang nyata: kita tidak melakukan sesuatu kegiatan bertujuan khusus dan cenderung melamun. Persis seperti Archimedes berteriak eureka ribuan tahun lalu.
DMN ini baru tidak aktif ketika seseorang diberi tugas yang punya tujuan pasti, macam pekerjaan dengan pekerjaan terukur dan pengulangan --kegiatan yang punya kadar stres tinggi.
Ilustrasi diskusi (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi diskusi (Foto: Pixabay)
Monkey Mind
ADVERTISEMENT
Kadang, tidak melakukan apa-apa jauh lebih sulit dilakukan ketimbang melakukan sesuatu.
Penelitian yang dimuat dalam majalah Science edisi 6192 terbitan Juli 2014, menunjukkan bahwa orang-orang memilih melakukan apa saja --termasuk mendapatkan kejutan listrik kecil-- ketimbang dipaksa diam tak melakukan apa-apa. Padahal, waktu untuk diam tersebut tak lama, hanya enam sampai 15 menit.
Untungnya, ada cara lain yang lebih mudah untuk kita mendapatkan keuntungan yang sama. Monkey mind atau pikiran yang meloncat-loncat, bisa sama membantunya.
Ini terjadi saat seseorang mendiskusikan sebuah isu baru atau berpikir dan menelaah sebuah ide.
Pada intinya, kegiatan apapun yang membuat kita memvisualisasikan hipotesa sebuah hasil atau membayangkan sebuah skenario, akan membantu mengistirahatkan otak kita. Ini termasuk dengan mendiskusikan sebuah masalah dengan teman, atau membaca dan tenggelam dalam sebuah buku cerita yang bagus.
ADVERTISEMENT
Bahkan, bermain media sosial, dengan cara-cara tertentu, dapat juga mengaktifkan bagian DMN ini.
“Jika Anda melihat sebuah foto yang cantik, (DMN) ini justru menjadi tidak aktif. Namun, ketika Anda berhenti, memperhatikannya, dan mengizinkan pikiran Anda untuk mengira-kira cerita di balik orang di dalam foto tersebut, bagaimana perasaannya, jaringan DMN ini akan aktif,” ucap Helen Immordino-Yang, ilmuwan dan peneliti syaraf dari University of Southern California’s Brain and Creativity Institute, seperti dikutip dari BBC.
Ilustrasi Liburan (Foto: dok. Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Liburan (Foto: dok. Pixabay)
Liburan
Tentu saja.
Penelitian T.E. Strandberg di Helsinki, Finlandia, yang dilakukan dalam kurun waktu 26 tahun terhadap pebisnis dan eksekutif membuktikan hal tersebut. Pebisnis dan eksekutif dengan jumlah liburan lebih sedikit, akan meninggal dunia lebih cepat dan memiliki mutu kesehatan lebih buruk ketimbang mereka yang lebih sering liburan.
ADVERTISEMENT
Penelitian di Amerika Serikat kepada 5 ribu pekerjanya juga menunjukkan bahwa orang yang mengambil cuti kurang dari 10 hari per tahunnya hanya mendapatkan 30 persen kesempatan naik gaji sekali dalam tiga tahun. Sementara, mereka yang cuti lebih dari 10 hari justru punya kesempatan 60 persen untuk naik gaji di waktu yang sama.
Jadi? Mari melamun, mengobrol, dan mengambil cuti lebih banyak.
=============== Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!