Berhati-hati Memilih Metode Cantik Instan

8 Maret 2018 22:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Nila (bukan nama sebenarnya) ialah seorang sarjana ilmu keperawatan. Ia menawarkan jasa kecantikan suntik botoks dan filler. Orang tak perlu repot-repot mendatanginya, sebab ia yang datang langsung ke rumah konsumen.
ADVERTISEMENT
Ilmu suntik botoks dan filler hidung ia dapat lewat kursus di sebuah lembaga pelatihan yang dikelola seorang dokter di Jakarta tahun 2016. Di situ, Nila belajar beberapa metode seperti mesotherapy atau memasukkan vitamin ke sel kulit, dermal filler atau suntikan pembentuk struktur kulit, botoks, platelet rich plasma (PRP), dan stem cell.
Semua metode tersebut diterapkan melalui cara invasif atau menggunakan jarum. Dan Nila murid yang pandai. Ia berhasil memperoleh nilai A dalam pelatihan tersebut, dan mengantongi sertifikat untuk membuka praktik mandiri.
Meski begitu, Nila sadar sertifikat itu tak sebanding dengan titel seorang dokter sungguhan.
“Kan orang lebih percaya sama dokter dibanding sama profesi seperti aku ini,” kata Nila kepada kumparan, Rabu (7/3). Ia menyebut profesinya itu sebagai ‘perawat’.
ADVERTISEMENT
Itu tak berarti jasa kecantikan Nila tak laku. Ia bahkan memiliki puluhan rekan sejawat yang bisa menyuntik botoks meski bukan dokter. Mereka semua mendapat pelatihan di lembaga milik dokter umum, lalu menawarkan jasa lewat laman media sosial disertai unggahan sertifikat dan testimoni pelanggan.
Lembaga-lembaga pelatihan kecantikan kini memang cukup populer. Mereka menawarkan pelatihan mulai dari yang sederhana seperti facial dan creambath, hingga metode invasif seperti sulam alis, suntik botoks, dan filler.
Tempat-tempat kursus tersebut tak diatur oleh standar tertentu. Lembaga tempat Nila kursus misalnya membolehkan tenaga medis non-dokter untuk ikut serta dalam pelatihan metode invasif. Ada pula lembaga yang secara tegas hanya mengizinkan dokter umum ikut pelatihan metode invasifnya.
Derita Demi Paras Jelita (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Keterlibatan dokter umum dan tenaga non-medis yang biasa disebut beautician (ahli kecantikan) dalam tempat-tempat kursus kecantikan bisa dikatakan muncul karena desakan pasar perawatan tubuh yang bergerak begitu cepat.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan dokter spesialis kulit berbanding terbalik dengan gairah orang-orang untuk memperoleh layanan perawatan kecantikan.
Dokter Anggi Utami, Koordinator Pendidikan Lembaga Estetika Medik yang berkantor di Tebet, Jakarta Selatan, mengatakan pusat-pusat pelatihan kecantikan diperlukan agar tenaga penunjang seperti dokter spesialis, dokter umum, dan beautician bisa berjalan beriringan.
“Sekarang kan teknologi kecantikan banyak. Berkembang luas dan cepat karena alat masuk cepat banget. Kami menjembatani mana (jasa kecantikan yang bisa dilakukan) beautician, mana buat dokter umum, dan mana buat dokter spesialis,” kata Anggi, Selasa (6/3).
Perkembangan teknologi ditambah obesesi masif terhadap penampilan, membuat penyedia layanan kesehatan gagap, dan muncullah praktik-praktik yang dijalankan oleh tenaga non-medis.
Anggi mengingatkan, “Jangan sampai salon ini enggak well-educated lalu main injeksi sendiri tanpa dokter. Kalau (tenaga) non-medis ya jangan melakukan injeksi. Dokter umum pun enggak bisa seperti dokter bedah.”
ADVERTISEMENT
Mestinya metode penanganan dan peralatan diatur ketat agar tak sembarangan digunakan. Tapi nyatanya di lapangan, tenaga-tenaga non-medis seperti Nila dan rekan-rekannya tetap bisa melakukan praktik kecantikan dengan metode invasif lewat jarum suntik.
Pasien bahkan bisa memperoleh obat-obatan botoks tanpa resep dokter. “Aku enggak tahu pelanggan dapat alat dari mana. Awalnya aku ambil dari guruku. Lama-lama banyak marketing yang nawari,” kata Nila.
Ia bukannya tak paham bahwa profesi yang ia jalani seharusnya dilakukan oleh dokter, khususnya dokter spesialis. Tapi, ujar Nila, dia juga butuh uang untuk membayar cicilan dan makan sehari-hari.
dr. Gloria Novelita, dokter kulit dan kelamin. (Foto: Charles Brouwson​/kumparan)
Dokter Gloria Novelita, Sp.KK. yang berpraktik di Beyoutiful Aesthetic Clinic, Jakarta Selatan, menyatakan ada batasan-batasan soal metode kecantikan apa yang bisa dilakukan oleh dokter kulit dan tenaga non-medis.
ADVERTISEMENT
Metode seperti sulam alis, sulam bibir, dan ekstensi bulu mata masih bisa dilakukan di salon. Itu bisa dimasukkan tindakan non-medis karena bersifat sementara dan tidak mengganggu organ alami tubuh.
Yang perlu diperhatikan adalah metode yang melibatkan tindakan penyuntikan dan memasukkan cairan ke dalam tubuh. Titik itu, menurut Gloria, adalah batasnya.
“Itu sudah masuk ke tindakan medis. Jika ingin bibir lebih penuh, filler, itu sudah harus dilakukan oleh tenaga medis yang kompeten,” kata dia.
Sebagai dokter spesialis kulit, Gloria selama 12 tahun harus bolak-balik menjalani pelatihan di luar negeri. Ia juga harus menghafal struktur otot lewat irisan kadaver (mayat manusia yang diawetkan).
“Ada variasi otot antarindividu--otot yang bikin dahi berkerut, otot untuk mata berkerut, otot senyum. Ini mesti dihafalin. Ini otot ke mana gerak ke mana. Jadi belajar anatomi itu enggak gampang,” kata Gloria sambil menunjukkan struktur anatomi otot wajah manusia.
ADVERTISEMENT
Pengetahuan komprehensif itu diperlukan agar perawatan tubuh tak melulu demi penampilan cantik menarik, tapi juga kesehatan.
“Jadi jangan berpikir langsung harus operasi plastik atau harus melakukan filler botoks. Enggak selalu gitu. Ada tahapannya,” kata Gloria.
Ilustrasi Botox. (Foto: Thinkstock)
Regulasi pemerintah pada akhirnya diperlukan agar layanan kecantikan tidak menimbulkan masalah bagi penggunanya. Sejauh ini, Peraturan Dirjen Bina Gizi dan Kesehatan Ibu HK.01.01/BI.4/4051/2011 tentang Penyelenggaraan Salon Kecantikan mengatur fasilitas non-medis seperti panti pijat dan pusat kebugaran untuk tidak menyediakan layanan kesehatan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional Kemenkes, Dr. dr. Ina Rosalina Dadan, Sp.A(K), M.Kes, M.H.Kes, mengatakan lembaganya tengah mempersiapkan aturan baru lewat Peraturan Menteri Kesehatan.
“Saat ini sedang disusun Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur penyelenggaraan salon kecantikan dari sisi kesehatan sebagai upaya pembinaan dan pengawasan, serta untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi,” ujarnya kepada kumparan, Kamis (8/3).
ADVERTISEMENT
Permenkes tersebut nantinya akan mencantumkan larangan praktik invasif oleh tenaga non-medis dengan lebih jelas. Dengan demikian, ada kontrol lebih tegas untuk menghindari masalah akibat praktik medis liar.
“Kalau tidak, nanti semua membuka pelayanan (kecantikan) itu. Kan kalau ada masalah klien seperti alergi dan bengkak, toh larinya ke Kemenkes,” kata Ina.
Pasar Menjanjikan Industri Kecantikan (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
Industri kecantikan kini memang tengah berkembang pesat di Indonesia dan dunia. Data MarkPlus tahun 2015 menunjukkan, klinik kecantikan menjadi salah satu industri yang paling direkomendasikan konsumen.
Ia menempati peringkat ke-5 dengan skor 79, mengalahkan industri makanan cepat saji, operator seluler, dan gadget. Sementara Euro Monitoring mencatat, pertumbuhan produk kecantikan pada 2016 melaju 10,6 persen.
Sebanyak 27 persen konsumen menggunakan produk kecantikan untuk mengatasi permasalahan kulit, sedangkan 73 persen lainnya untuk meningkatkan pengakuan sosial.
ADVERTISEMENT
Pada kelompok mana pun Anda berada, ingatlah untuk cerdas memilih layanan kecantikan.
Tanam benang di wajah. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Pasar Kosmetik di Indonesia (Foto: Lidwina Win Hadi/kumparan)
------------------------
Ikuti isu mendalam lain dengan mengikuti topik Ekspose di kumparan.