Retno Wahyu: Panggilan untuk Mengabdi Majukan Dunia Medis Indonesia

21 April 2018 10:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: L'Oreal)
zoom-in-whitePerbesar
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: L'Oreal)
ADVERTISEMENT
Tumbuh di keluarga yang mengedepankan pendidikan, membuat Retno Wahyu Nurhayati menjadi perempuan yang tak pernah lelah mengejar passion-nya.
ADVERTISEMENT
Merasa bahagia mempelajari hal-hal baru, membuat Retno selalu menjadi ‘bungsu’ di setiap kelas yang ia sambangi. Bagaimana tidak, perempuan berusia 30 tahun ini memasuki TK di usia tiga tahun, dan berlanjut hingga jenjang yang lebih tinggi.
Karena antusias dan rasa penasarannya dalam mengejar pendidikan, di usia 27 tahun, Retno berhasil menggandeng sederet gelar di belakang namanya menjadi Retno Wahyu Nurhayati STP, M. Eng., PhD. Eng., dengan menempuh pendidikan S2 dan S3 di Osaka University, Jepang. Tak sampai di situ, perempuan kelahiran Sragen Jawa Tengah ini juga menjadi perempuan termuda yang memenangkan ajang perlombaan L’Oreal Women in Science, sebuah penghargaan bergengsi yang diberikan perusahaan L’Oreal terhadap peneliti perempuan dari seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Kini, Retno tengah melakukan penelitian untuk mengembangkan selubung sel punca atau stem cell, agar sel punca dapat diterima baik oleh tubuh tanpa adanya penolakan. Tak hanya itu, lewat penelitiannya ini, ia berharap Indonesia memiliki bank stem cell seperti di Jepang.
Meski sibuk menjalani penelitian, Retno tak pernah lupa untuk bersenang-senang dengan menjalani aktivitas yang menjadi kegemarannya. Mulai dari traveling, olahraga, dan bersosialisasi. Menjadi perempuan hebat dan cerdas di usia muda, membuat ia menjadi sosok Kartini modern yang bisa menginspirasi perempuan Indonesia. Yuk, mengenal Retno lebih dekat lewat perbincangan hangat bersama kumparanSTYLE (kumparan.com).
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan)
Bagaimana kesibukan Anda sekarang?
Saya bekerja di kedokteran UI, research center IMERI (Indonesian Medical Education and Research Institute). Di situ, kami menjadi semacam platform untuk mempertemukan antara peneliti, masyarakat, dan dokter. Saya berperan sebagai pengisi antara teknologi yang kami kembangkan dengan yang akan dipakai nanti di kedokteran. Tugas saya menjadi pengembang teknologinya.
ADVERTISEMENT
Bisa dibilang, saya di sini sebagai jembatan informasi antara orang awam, penyambung hasil penelitian yang ada di kedokteran itu ke masyarakat. Jadi kami mengadakan seperti workshop, simposium, menjelaskan apa aja sih yang ada, teknologi apa aja sih yang ada di Indonesia. Nah, saya di bidang stem cell.
Mengapa Anda fokus di stem cell?
Banyak orang yang jika harus treatment stem cell, mereka pergi ke Singapura atau ke negara lainnya. Padahal di Indonesia sudah ada. Yang sudah melakukan stem cell dan mendapatkan legalisasi dari Kementerian Kesehatan, salah satunya dari 11 rumah sakit itu RSCM dan FKUI.
Nah, saya yang terlibat untuk membagikan informasi supaya lebih dipahami dan di bidang teknologinya.
Terdapat suatu paradigma bahwa sains belum diminati banyak oleh kaum perempuan, itu benar tidak?
ADVERTISEMENT
Saya saat ini jadi pembimbing juga untuk mahasiswa S3 dan mahasiswa tersebut adalah seorang perempuan. Jadi sebenarnya, menurut saya itu passion saja, sih. Kalau zaman dulu kan perempuan yang sekolah tinggi hingga jenjang S2 dan S3 itu sedikit. Jadi mungkin bayangan zaman dulu itu ilmuwan harus sekolah tinggi, dan perempuan yang bisa membagi waktu seperti itu masih jarang. Nah, kalau sekarang saya lihat perempuan yang berminat terjun di dunia riset, atau jadi scientist itu banyak sih.
Lalu bagaimana pengalaman Anda sendiri sebagai peneliti perempuan?
Menurut saya, zaman dulu itu sesuai informasi yang kita dapat, bayangan ilmuwan itu seperti Einstein ya. Ada imej seolah-olah mereka (ilmuwan) selalu di laboratorium, tidak bisa bersosialisasi, tidak bisa lakukan aktivitas lain. Tapi kalau sekarang kan lebih berkembang, kita tetap bisa beraktivitas seperti perempuan pada umumnya juga, sambil tetap bisa fokus pada pekerjaan. Jadi jangan takut-takutlah.
ADVERTISEMENT
Anda adalah pemenang termuda dalam sejarah L’Oreal Women in Science, dan di usia 27 tahun sudah memiliki gelar PhD. Apa rahasia sukses Anda dalam mencapai prestasi-prestasi ini?
Di keluarga saya, pendidikan adalah yang pertama. Saya ini bukan dari keluarga yang mampu, tapi kurang mampu. Nah, bapak ibu saya ini berpikir, ‘kami nggak bisa kasih apa-apa, kecuali pendidikan yang baik’.
Saya masuk TK pada usia 3 tahun, sehingga untuk jenjang pendidikan berikutnya saya selalu paling muda dari teman-teman saya. Waktu saya kuliah S1, saya magang dan penelitian tugas akhir di LIPI di mana saya (bertemu) banyak peneliti hebat di biotech LIPI. Mereka rata-rata sudah S2 dan S3 di luar (negeri), dari situ yang saya tadinya tidak kepikiran, karena terpapar oleh mereka, jadi termotivasi dan tahu bagaimana caranya bisa kuliah keluar dengan biaya gratis.
L'Oreal Women in Science (Foto: L'Oreal)
zoom-in-whitePerbesar
L'Oreal Women in Science (Foto: L'Oreal)
Lalu memutuskan untuk ambil S2 dan S3?
ADVERTISEMENT
Sebelum lulus S1, saya sudah daftar beasiswa. Jadi begitu lulus, saya langsung melanjutkan S2 di Osaka University, Jepang. Nah, program yang saya jalani itu lansung dari S2 ke S3. (Sistemnya) ada evaluasi di tengah-tengah. Karena menurut penilaian professor-professor di Osaka University, saya mampu untuk lanjut S3. Jadi saya lanjut.
Kuliah S3 di Jepang itu kita merasa terombang-ambing seperti naik roller coaster karena selalu berpikir, bisa lulus nggak ya? Kuliah di sana berat sekali, standar mereka di Osaka University itu sangat tinggi untuk kedokteran. Saya juga sebenarnya khawatir tuh, saya anak Indonesia yang gini-gini aja bisa lulus S3 di Jepang apa nggak.
Selesai kuliah Anda sempat kerja di Jepang, lalu apa yang memutuskan Anda untuk pulang dan memilih kerja di Indonesia?
ADVERTISEMENT
Karena keluarga juga. Sejujurnya di sana semua serba enak, ya. Kerja enak, teratur, kesejahteraan enak, fasilitas juga enak, tapi saya kan bukan warga negara Jepang. Kalau suatu saat saya menghasilkan sesuatu, nanti kan akan diakui milik Jepang.
Jadi saya pikir potensi dan manfaat saya akan lebih berkembang kalau di Indonesia. Idealisme saya sih seperti itu.
Bagaimana ceritanya bisa ikut ke ajang L’Oreal Women in Science?
Ajang seperti ini yang dikhususkan untuk peneliti perempuan, merupakan sesuatu yang mentereng dan prestigious ya, seperti pencapaian yang keren banget. Banyak senior-senior saya yang hebat dapat penghargaan ini. Tidak hanya dapat dana penelitian saja, tapi juga koneksi semakin tersebar luas. Ini kan sebenarnya membantu kami untuk spread apa sih yang sudah dan sedang kita kembangkan ke masyarakat. Jadi dengan adanya program yang difasilitasi oleh L’Oreal Women in Science, informasinya tidak hanya mengumpul di kami saja. Jika selama ini apa yang kami kembangkan cuma ada di sekitar saja, melalui ini pekerjaan kami dapat disebarkan ke masyarakat awam.
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: L'Oreal)
zoom-in-whitePerbesar
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: L'Oreal)
Kami dengar ada masyarakat yang pernah menghubungi Anda terkait penelitian?
ADVERTISEMENT
Ini cerita menarik, sih. Beberapa publikasi penelitan saya kan ada yang dimuat di suatu majalah, lalu ada pasien dari daerah Kendal yang anaknya terkena Cerebral Palsy (CP), suatu kelainan motorik dan kelainan otak. Orang tuanya mencari treatment apa yang bisa dilakukan untuk treat CP ini, salah satunya dengan stem cell.
Mereka bingung, stem cell di Indonesia dimana ya, karena itu kan penelitian luar negeri. Nah, mereka baca penelitian saya yang dimuat di salah satu media cetak itu, dan (mereka) kontak saya.
Dari situ, kami mengobrol dan saya bisa menghubungkan mereka ke RSCM. Untuk terapi CP itu sebenarnya di Indonesia belum ada, itulah mengapa ini menjadi studi klinis apakah treatment stem cell ini bisa improve CP itu.
ADVERTISEMENT
Adakah tantangan yang Anda hadapi sebagai peneliti perempuan?
Kalau di Jepang banyak. Di jurusan saya, jumlah mahasiwa perempuan dan laki-laki satu banding delapan. Jajaran profesor pun semua laki-laki, mahasiswa di S2 S3 yang perempuan satu kelas paling ya dua sampai tiga saja.
Nah, kalau saya sih dulu kan nggak bisa kerja 24 jam, kalau laki-laki kan mereka sering menginap saja di lab, kalau saya ya nggak mampu. Ya harus mandi dulu, harus tidur.
Kalau di Indonesia sih saya belum ada hambatan yang berarti. Tapi kalau di Jepang dengan mengikuti standar mereka, gaya kerja keras mereka yang tinggi, ya akhirnya penelitian laki-laki itu memang lebih berkembang dibandingkan perempuan. Karena keterbatasan fisik kita juga.
ADVERTISEMENT
Bagaimana rasanya memiliki teman-teman peneliti perempuan, terutama dengan adanya acara seperti L’Oreal Women in Science ini?
Pertama ya motivasi, kita mendapat encourage dari sesama peneliti perempuan. Kedua adalah koneksi, kita bisa mendapat banyak informasi, dan informasi itu mahal. Kalau kita hanya melihat dan baca dari internet kan belum tentu benar, sekarang bisa bertemu langsung, bertanya, diskusi, dan melihat apa yang sedang dikerjakan. Kemudian ya kolaborasi jadi terbuka lebar dan koneksi jadi banyak.
Menurut Anda, apa Indonesia masih memerlukan banyak peneliti perempuan lainnya?
Butuh sekali, karena permasalahan perempuan dan laki-laki itu berbeda, ya. Seperti kanker serviks misalkan, kan perempuan yang lebih tau. Lalu, so far approachment ke suatu masalah itu berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kalau laki-laki itu melihat secara global, dan perempuan melihat detail.
ADVERTISEMENT
Jadi kalau perempuan semua yang meneliti itu terkadang jadi heboh di detail, tapi masalahnya apa jadi tidak terfokus. Sedangkan laki-laki itu fokus di masalah, sementara detailnya loss. Terutama di kedokteran, sedetail apapun ya bisa berakibat fatal. Kalau menurut saya sih, dengan intuisi kita dan bakat yang kita punya sebagai perempuan bisa menyeimbangi perspektif yang beda dari suatu masalah. Jadi balance.
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: L'Oreal)
zoom-in-whitePerbesar
Retno Wahyu Nurhayati (Foto: L'Oreal)
Apa yang sudah Anda lakukan untuk mempromosikan dunia sains ke perempuan lainnya?
Saya lebih ke skala kecil, spreading informasinya ya bisa lewat wawancara dengan media. Kita pun di IMERI kan ada museum kedokteran dan menerima kunjungan. Jadi mereka juga berkunjung ke lab, tanya-tanya, dari kunjungan mereka, simposium dan workshop yang kita kerjakan memberikan mereka motivasi untuk jadi peneliti.
ADVERTISEMENT
Apa masih ada waktu untuk bersosialisasi dan kegiatan lainnya?
Wah saya sangat suka travelling, sih. Di Jepang pun ketika weekend saya sering jalan-jalan. Di sini Sabtu Minggu saya gunakan untuk sosialisasi. Jika kita full 100% untuk pekerjaan saja, ya nggak akan happy ya. Kalau waktu kerja ya fokus, tapi kalau nggak ya nikmati saja. Bersama keluarga, olahraga, ketemu teman.
Apa yang ingin Anda katakan pada perempuan Indonesia yang ingin menjadi scientist?
Jangan takut! Kalau menurut saya semua berdasarkan passion. Kalau kita punya passion, asalkan bertanggung jawab, rezeki dan lain itu akan mengumpul sendiri. Karena banyak orang takut mengambil yang sesuai passion dengan alasan berseberangan dengan keinginan orang tua. Kalau dari saya, ikut kemauan dan apa yang dicita-citakan.
ADVERTISEMENT
---
Simak cerita perempuan inspiratif lainnya hanya di topik sheinspiresme.