12 Orang Ini Jadi Dalang Konspirasi Anti-Vaksin Online, Siapa Mereka?

20 Mei 2021 16:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menggunakan sosial media. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Mendorong program vaksinasi menjadi salah satu cara paling ampuh untuk menyelamatkan masyarakat dunia dari pandemi COVID-19. Di sisi lain, masih banyak orang-orang yang tidak ingin divaksin akibat teori konspirasi yang beredar di internet.
ADVERTISEMENT
Sebagai pengguna internet, kita tidak pernah benar-benar mengetahui sumber dari kabar-kabar yang meresahkan tersebut. Tetapi penelitian baru mengungkap bahwa mayoritas konspirasi anti-vaksin berasal dari orang-orang yang itu-itu saja.
Setidaknya ada 12 orang yang menjadi dalang penyebaran konspirasi anti-vaksin online di dunia. Mereka memiliki jumlah follower yang sangat banyak dan bertanggung jawab atas sekiranya 65 persen dari semua propaganda anti-vaksin.
Propaganda tersebut bekerja dengan sangat baik di platform media sosial seperti Twitter dan Facebook. Hal ini didasari dari analisis 812 ribu posting yang diambil dari Facebook dan Twitter antara 1 Februari dan 16 Maret 2021.
Investigasi ini dilakukan oleh lembaga non-profit Center for Countering Digital Hate (CCDH) dan Anti-Vax Watch, sebuah organisasi yang memantau industri anti-vaksin. CEO CCDH Imran Ahmed mengatakan bahwa mereka memanfaatkan kekuasaan untuk menyebar misinformasi terkait COVID-19.
Ilustrasi vaksin corona. Foto: Dado Ruvic/REUTERS
“Berdasarkan laporan terbaru kami, aktivis anti-vaksin di Facebook, YouTube, Instagram, dan Twitter mencapai lebih dari 59 juta pengikut, menjadikannya platform media sosial terbesar dan terpenting untuk anti-vaxxers," katanya, dilansir Science Alert.
ADVERTISEMENT
Lalu siapa 12 orang dalang anti-vaksin COVID-19 online di dunia? Mereka adalah Joseph Mercola, Robert F Kennedy Jr, Ty dan Charlene Bollinger, Sherri Tenpenny, Rizza Islam, Rashid Buttar, Erin Elizabeth, Sayer Ji, Kelly Brogan, Christiane Northrup, Ben Tapper, dan Kevin Jenkins.
Mereka dijuluki ‘Disinformation Dozen’ alias selusin orang yang sangat berpengaruh dan memiliki banyak pengikut serta menghasilkan volume anti-vaksin yang tinggi.
Meskipun begitu, orang-orang yang membagikan konten anti-vaksin belum tentu para pengguna internet yang mengikuti para Disinformation Dozen. Namun penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas unggahan anti-vaksin berasal dari kelompok itu.
Konspirasi tersebar di berbagai platform media sosial dan mempengaruhi para penggunanya secara berbeda-beda. Misalnya Twitter hanya menampilkan 17 persen cuitan anti-vaksin. Di sisi lain, Facebook menyarankan konten itu hingga 73 persen.
Ilustrasi kaum millenial bermain sosial media. Foto: Shutter Stock
Penelitian ini dirilis untuk mendesak pada petinggi di perusahaan media sosial untuk meredam suara-suara penyebar konspirasi anti-vaksin ini. Dalam beberapa minggu sejak itu, beberapa akun telah dilarang atau dibatasi, tetapi yang lain dibiarkan begitu saja.
ADVERTISEMENT
Ilmuwan berpendapat bahwa ini adalah kegagalan perusahaan teknologi yang berbahaya. Mereka gagal mengendalikan dan bertanggung jawab atas penyebaran kebohongan di platform media sosial.
"Disinformasi telah menjadi ancaman langsung bagi kesehatan masyarakat," kata Ahmed pada Maret.
"Media sosial memungkinkan para anti-vaksin merekrut jutaan orang Amerika dan mendoktrinasi mereka dengan ketakutan dan keraguan. Jika perusahaan teknologi besar tidak bertindak sekarang, pandemi akan berlangsung lebih lama, dan lebih banyak nyawa akan hilang."