Asa Andre Surya Bangun Sekolah Animasi, Ciptakan Animator Kelas Global

17 Agustus 2021 13:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Andre Surya, Digital artist dan founder Enspire Studio dan ESDA (Enspire School of Digital Art). Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Andre Surya, Digital artist dan founder Enspire Studio dan ESDA (Enspire School of Digital Art). Foto: Dok. Pribadi
ADVERTISEMENT
Indonesia punya banyak digital artist yang mendunia dan pernah terlibat dalam garapan film-film Hollywood? Salah satunya adalah Andre Surya, yang kini fokus menjalankan bisnis studio animasi dan mengembangkan sekolah animasi untuk mencetak talenta animator Indonesia kelas global.
ADVERTISEMENT
Andre Surya pernah menjadi salah satu animator yang terlibat dalam pembuatan film box office Hollywood, mulai dari Iron Man, Iron Man 2, Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers Revenge of the Fallen, Surrogates, Rango, dan The Last Airbender.
Proses Andre untuk menapaki karier di luar negeri dan mendapatkan tempat di credit title film-film tersebut, harus melewati jalan panjang. Pria kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1984, itu sempat putus kuliah dan memilih jalan yang berbeda dengan keinginan orang tuanya.
"Karena saya sudah menemukan jalan hidup saya. Jadi saya enggak terlalu konsen dengan pendidikan tradisional. Lalu, waktu kuliah, saya bilang ke orang tua, saya ini enggak mungkin lulus kuliah karena saya sudah ketemu jalan saya," kata Andre dalam perbincangannya bersama kumparan dalam Karnaval Kemerdekaan 2021.
ADVERTISEMENT
Dunia animasi sudah bukan hal yang baru dikenal Andre. Ia mulai tertarik dengan hal-hal yang berbau animasi tiga dimensi (3D) saat duduk di bangku SMP kelas 3. Kecanduannya bermain game membuat Andre tertarik menekuni bidang digital artist. Kecanduan game baginya tidak berdampak negatif.
Hebatnya, di usia terbilang muda pada saat itu, Andre sudah cukup mahir mengoperasikan software Autodesk 3Ds Max untuk belajar animasi 3D secara otodidak. Ia banyak menelurkan karya-karya animasi dengan berbagai tema dan genre.
Pada saat SMA, akhirnya lahir karya masterpiece-nya yang berjudul "Somewhere In The Sky" yang tampil di konferensi computer graphic terbesar di Asia, CGOVERDRIVE. Gambar itu meraih "Excellence Award" di buku Elemental 2 terbitan Ballistic Publishing, serta Best Artwork Awards di IndoCG Showoff Book, sebuah buku kumpulan CG art Indonesia.
Karya animasi buatan Andre Surya berjudul "Somewhere In The Sky" yang menang banyak penghargaan. Foto: Dok. Pribadi

Menapaki karier di luar negeri, lalu pulang demi bangun sekolah animasi

Berbekal prestasi yang didapat dan keinginannya untuk memilih karier sebagai digital artist, Andre hanya kuliah Desain Komunikasi Visual (DKV) di Universitas Tarumanegara (Untar) selama satu tahun. Tak merasa puas belajar, ia bekerja di sebuah perusahaan advertising Polaris 3D dengan gaji dua kali UMR Jakarta pada saat itu.
ADVERTISEMENT
"Mengapa saya keluar kuliah? Saya resign dari kuliah cuma setahun, karena waktu itu ditawari gaji dua kali UMR. Saya pikir, kalau orang yang lulus kuliah saja susah dapat kerja, lah ini saya dikasih dua kali UMR. Saya suka kerjaannya, enggak pikir panjang, ya sudah, ambil saja dulu," kenangnya.
Pria berusia 36 tahun itu hanya bertahan dua tahun di Polaris 3D. Ia akhirnya 'tobat' dengan melanjutkan studi di Kanada, serta mengambil diploma di bidang Film and Special Effect di Vancouver Institute of Media Arts (VanArts).
Studio animasi Enspire Studio yang didirikan oleh Andre Surya. Foto: Dok. Pribadi
Lulus kuliah 1,5 tahun, Andre melamar kerja di Lucasfilm yang kini sudah dibeli Walt Disney. Awalnya, ia sempat melakukan wawancara di Ottawa, Kanada. Kemudian, dilanjutkan via telepon, baru kemudian diterima kerja di Lucasfilm Singapura. Dari sinilah sentuhan tangan Andre ada di sejumlah film-film Hollywood.
ADVERTISEMENT
Pada 2012, dia kembali ke Indonesia untuk mendirikan perusahaan studio animasi yang diberi nama Enspire Studio. Perusahaan ini sekarang memiliki 105 karyawan. Dia kemudian juga mendirikan sekolah animasi di Indonesia yang diberi nama ESDA (Enspire School of Digital Art).
"Setelah lima tahun saya kerja di Lucasfilm, lalu saya balik ke Indonesia. Itu sudah lama, ya, tahun 2012. Hampir 10 tahun yang lalu saya buka studio namanya Enspire Studio, sekarang sudah ada 105 orang, dan ESDA, sekarang itu kita sudah ada di 49 lokasi di seluruh Indonesia," tutur Andre.
Keputusan Andre untuk membangun sekolah animasi ESDA berlandaskan keinginannya untuk melihat anak-anak muda di Indonesia bisa belajar 3D sejak dini. Menurutnya, ada banyak potensi bakat-bakat muda yang tertarik dengan digital artist, tapi tidak punya tempat untuk mengolah dan menyalurkannya.
ADVERTISEMENT
Sebagai benchmark, Andre mulai mengenal dunia animasi 3D sejak usia 14 tahun. Lalu, bekerja di Lucasfilm dan terlibat dalam pembuatan film Iron Man di usia 21 tahun yang tergolong cukup muda. Maka, dia memproyeksikan agar animator Indonesia yang berusia muda, setidaknya 17 tahun, sudah mulai menggarap proyek semacam yang ia pernah tangani.
Sekolah animasi ESDA (Enspire School of Digital Art) yang didirikan oleh Andre Surya. Foto: Dok. Pribadi
Sekolah animasi ESDA memulai pembelajaran untuk usia minimal 7 tahun. Metode pembelajaran menggunakan kurikulum e-learning khusus yang dibuat Andre sendiri. Keterlibatan calon animator sejak usia dini bagi Andre jadi pertanda masa depan yang cerah.
Untuk menjadi animator profesional, menurut Andre, bisa ditempuh dengan waktu empat bulan saja. Saat ini, sudah ada 250 orang lulusan ESDA yang sudah mengembangkan karier sebagai digital artist profesional.
ADVERTISEMENT

Cerita siswa ESDA yang dapat proyek kartun Korea dan serial Netflix

Siswa ESDA juga diberi kesempatan membuat animasi sendiri dan terlibat dalam pembuatan serial kartun Korea Selatan yang populer. Andre menceritakan anak-anak lulusan ESDA bikin proyek secara mandiri dengan melahirkan Intellectual Property (IP) mereka sendiri.
"ESDA sendiri sudah membuat film animasi. Intellectual Property (IP) kita sendiri. Namanya Nom Nom Lagu Anak Bahagia yang ada di YouTube. Itu murid yang sudah lulus pada bikin sendiri untuk konten anak balita Indonesia, seperti Balonku, Potong Bebek Angsa, Burung Kakak Tua," ungkapnya.
Selain itu, anak didik Andre Surya yang lulus dari ESDA juga dilibatkan dalam pembuatan serial kartun Korea Selatan, di antaranya Pororo the Little Penguin, Tayo the Little Bus, dan Tobot. Kemudian ada proyek lain yang akan tayang di Netflix.
ADVERTISEMENT
Ada satu kendala yang dialaminya, yaitu kekurangan sumber daya manusia untuk mengerjakan animasi-animasi tersebut. Menurutnya, penggarapan proyek ini menjadi kesempatan anak Indonesia untuk mengasah kemampuan dan menunjukkan karyanya di lihat dunia.
"Kita lagi mengerjakan proyek Korea lain yang bakal rilis di Netflix. Cuma masih confidential (rahasia), maksudnya kita masih in production. Kita enggak bisa kasih tahu karena belum rilis. Banyak sih (proyek) kita. Proyek itu ada sekitar empat title lagi, makanya 100 orang saja kurang gitu," tuturnya.
Menurut Andre, problematika kekurangan SDM juga yang membuat dunia digital artist di Indonesia tidak berjalan baik. Padahal banyak peluang proyek-proyek animasi yang datang dari luar negeri.
Ia bahkan pernah menolak beberapa proyek tersebut karena memang mengalami kekurangan animator yang bekerja di studio miliknya, Enspire Studio.
ADVERTISEMENT
"Makanya Academy ESDA ini digenjot untuk dapat pekerjaan. Kalau enggak dapat kerjaan, kita kembalikan duitnya. Animator ini di dunia sangat sedikit, tapi sangat dibutuhkan. Yang gajinya Rp 30 juta atau Rp 40 juta, itu hal yang tidak aneh di sini," imbuh Andre.
Harapan Andre, anak didiknya di ESDA bisa meraih mimpi menjadi digital artist terkenal di luar negeri dengan usaha yang berproses, tidak hanya ingin cepat. Ia punya angan-angan: Ada salah satu lulusan sekolah animasinya meraih penghargaan Oscar di kategori Best Animation.
Bersama dengan talenta-talenta muda penerusnya, Andre berkeinginan Indonesia memiliki karakter animasi yang terkenal dan khas, seperti layaknya Spiderman, Superman, dan Iron Man yang dimiliki oleh perusahaan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
"Jadi jangan sampai kita membangga-banggakan produk luar. Jadi mimpi saya produk Indonesia ini, misalnya Gatotkaca, bisa seperti Spiderman. Karena tokoh Gatotkaca itu justru yang penting banget. Jadi itu yang membuat bukan hanya merangsang industri animasi, tetapi itu akan merangsang semua industri," ucapnya, semangat.