Jokowi Mau Pilkada 2020 Lanjut, Netizen Ramai-ramai Boikot hingga Golput

23 September 2020 7:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga menunjukkan contoh surat suara saat simulasi pemungutan suara pemilihan serentak 2020 di Jakarta. Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Warga menunjukkan contoh surat suara saat simulasi pemungutan suara pemilihan serentak 2020 di Jakarta. Foto: Nova Wahyudi/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Keputusan pemerintah untuk terus melanjutkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 menuai kritik dari berbagai pihak. Namun, Presiden Jokowi tetap bergeming dan menolak untuk menunda Pilkada 2020 di tengah pandemi corona.
ADVERTISEMENT
Menurut Menkopolhukam Mahfud MD, salah satu keputusan untuk terus melanjutkan Pilkada pada 9 Desember 2020 tersebut didasari oleh hak konstitusional rakyat. Argumen Jokowi yang disampaikan Mahfud kurang lebih sama seperti yang disampaikan Jubir Presiden, Fadjroel Rachman, yang menyebut bahwa tak ada negara yang tahu kapan pandemi corona bakal selesai.
"Alasan-alasan yang disampaikan Bapak Presiden. Satu, untuk jamin hak konstitusional rakyat, untuk memilih dan dipilih sesuai dengan agenda yang diatur di dalam UU," kata Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Selasa (22/9).
"Jika Pilkada ditunda sampai bencana COVID-19 selesai, maka itu tidak memberi kepastian karena tidak ada satu pun orang atau lembaga yang bisa pastikan kapan COVID-19 selesai," sambungnya.
Mafud juga menambahkan tiga alasan lain terkait keputusan Pilkada serentak tetap dilakukan pada Desember 2020. Kamu bisa lihat alasannya melalui artikel berikut.
ADVERTISEMENT
Kendati hak konstitusional rakyat menjadi alasan utama pemerintah melanjutkan Pilkada 2020, ironisnya publik justru enggan setuju pelaksanaan pesta demokrasi itu dijalankan pada Desember mendatang. Hal ini bisa dilihat dari analisis percakapan di media sosial yang dibuat oleh firma analisis media sosial Drone Emprit.
Sejak Fadjroel mengumumkan bahwa Presiden Jokowi menolak Pilkada 2020 ditunda pada Senin (21/9), topik ini mulai diperbincangkan di media sosial Twitter, berdasarkan catatan Drone Emrpit. Beberapa dari mereka menilai bahwa Pilkada mestinya ditunda. Sebagian yang lain bahkan terang-terangan untuk menyatakan golput dan hendak memboikot Pilkada 2020, jika dilakukan pada Desember nanti.
Menurut founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, kelompok yang kontra dengan pelaksanaan Pilkada 2020 tak hanya berisi orang yang menjadi oposisi pemerintah saat ini. Kelompok kontra ini juga didominasi netizen, tokoh hingga ormas.
ADVERTISEMENT
"Jadi, di (data) SNA (Social Network Analysis) + hastag itu, kalau yang kontra itu dari kubu siapa saja. Itu orang macam-macam kan. Ada orang yang dari oposisi, ada dokter, ada media, terus kemudian ada dari organisasi, NU, Muhammadiyah, terus kemudian ada Azyumardi Azra, itu dia intelektual, akhirnya bersatu," kata Ismail kepada kumparanTECH, Selasa (22/9).
"Jadi, itu kalau dilihat bukan oposisi lagi, tapi sudah publik. Satu suara mereka. Publik satu suara," sambungnya.
Setidaknya, Drone Emprit menemukan tiga kelompok narasi yang berkembang di Twitter terkait isu Pilkada 2020 di tengah pandemi. Ketiga kelompok itu terdiri dari golongan kontra, netral, dan yang pro Pilkada 2020.
Di bagian kelompok yang kontra, Drone Emprit menemukan bahwa orang yang biasanya tak menjadi oposisi pemerintah, seperti dr. Tompi, masuk menjadi orang yang menolak Pilkada 2020 diselenggarakan pada Desember mendatang.
ADVERTISEMENT
Drone Emprit juga menemukan kalau kelompok ini berisi percakapan yang natural dan orisinil karena tak ada hastag yang mendominasi. Artinya, narasi kontra ini dibuat oleh orang sungguhan.
"Coba lihat most retweeted, ada yang pakai hastag gak? Enggak ada kan? Enggak ada hastag yang dimainkan. Enggak ada," kata Ismail.
"Kalau publik mah enggak pakai hastag bersama. Itu menunjukkan kalau mereka orisinil dengan pendapatnya masing-masing. Mereka enggak dikoordinir. Jadi lebih natural," sambungnya.
Di kelompok netral, Drone Emprit menemukan kalau kategori ini diisi oleh akun kepolisian. Kelompok ini, kata Ismail, netral karena hanya berisi edukasi mengenai protokol kesehatan, baik jika Pilkada 2020 bakal diselenggarakan sesuai jadwal atau tidak.
Percakapan yang terjadi di kelompok netral ini kurang berinteraksi dengan publik, kata Ismail. Namun, karena interaksi di kelompoknya sendiri cukup intens, posisi kelompok ini masuk ke dalam radar tren Twitter yang dianalisis Drone Emprit.
ADVERTISEMENT
Akun-akun Twitter ini punya hashtag tersendiri yang mencuat dengan tagar #TaatProkesSaatPilkada. Akun-akun ini lebih banyak mengirimkan pesan protokol kesehatan berupa infografik maupun meme.
"Kalau jaringan polisi kan tugasnya memang begitu. Makanya kalau aku lihat, dia sudah jalanin tugas, mau keputusan apapun, klaster polisi akan memberikan edukasi bagi masyarakat. Artinya, dia netral, tidak pro, tidak kontra. Makanya enggak bisa diberi statement, dia itu lebih banyak tentang (sosialisasi) peraturan," kata Ismail.
"Dia (kelompok netral) mengelompok di antara mereka sendiri. Dan itu ya akun-akun yang saling terkoordinir, akun-akun di antara mereka. Tapi, enggak berinteraksi dengan publik. Yang ditengah itu, nggak ada interaksi. Interaksi di antara mereka sendiri," sambungnya.
Warga melintas di depan mural bertema pemilihan umum di kawasan Pasar Anyar, Kota Tangerang, Banten. Foto: ANTARA FOTO/Fauzan
Kelompok terakhir yang ditemukan Drone Emprit, dan yang paling kecil pengaruhnya, adalah kelompok yang pro dengan penyelenggaraan Pilkada 2020. Kelompok ini terkoordinasi dengan hastag #PilkadaLanjutProtokolKetat.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan akun mengedukasi protokol kesehatan tadi, kategori yang terakhir ini punya posisi untuk mendukung terselenggaranya Pilkada. Berdasarkan pantauan kumparan hingga Selasa (22/9) petang, akun yang berkicau dengan hashtag #PilkadaLanjutProtokolKetat diisi oleh akun anonim dengan pesan yang seragam.

Aktivitas bot soal Pilkada 2020

Drone Emprit sendiri menemukan bahwa ada aktivitas bot di dalam isu Pilkada 2020 di Twitter. Setidaknya ada 3.500 posting-an dari akun terindikasi robot, dan 17.100 postingan terindikasi cyborg alias antara manusia dan bot yang terpantau oleh analisis Drone Emprit.
Di dalam analisisnya, Ismail tidak mengungkap kelompok mana yang menggunakan bot. Namun, kepada kumparanTECH dia mengatakan kalau orang bisa melihat kelompok mana yang menggunakan bot melalui data Social Network Analysis (SNA). Jika garis interaksinya padat dan terstruktur, kemungkinan besar kelompok itu berisi bot.
ADVERTISEMENT
"Jadi, di SNA itu, yang polanya terstruktur aja lihat. Garis-garisnya (interaksi) antara akun di dalamnya sangat padat. Dan mereka jauh dari real user. Real user kan yang di tengah, jadi mereka membuat klaster sendiri," kata Ismail.
Data SNA dan hastag terkait isu Pilkada 2020 yang dianalisis oleh Drone Emprit. Foto: Ismail Fahmi via Twitter.
Pilkada 2020 sendiri sebenarnya telah ditunda sekali. Seharusnya, pesta demokrasi ini hendak diselenggarakan pada September 2020, sebelum kemudian diundur jadi Desember 2020.
Dalam pengamatan Ismail, reaksi publik di media sosial terhadap isu Pilkada 2020 ini mulai muncul ketika mereka sadar dengan masalah penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia.
"Yang jadi keberatan orang-orang itu grafik (kasus corona) kita naik terus. Grafik itu naik terus, belum terkontrol," kata Ismail.
"Jadi, publik, kalau mereka yang paham, ini bisa jadi makin banyak yang sakit, tetapi enggak terkontrol. Enggak tahu siapa yang sakit. Bahkan nanti bisa jadi semakin parah, banyak orang yang meninggal," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sorotan publik juga didukung oleh ahli epidemiologi, Dicky Budiman dan Pandu Riono. Menurut kedua juru wabah tersebut, Pilkada 2020 lebih baik ditunda mengingat kondisi pandemi corona yang belum terkontrol di dalam negeri. Kamu bisa melihat kritik dan anjuran kedua epidemiolog tersebut terhadap pelaksanaan Pilkada 2020 lewat artikel berikut.