news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Nyanyi Lagu Orang Lain Wajib Bayar Royalti, Apa Kabar Cover Lagu di YouTube?

6 April 2021 18:48 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi menonton Youtube. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menonton Youtube. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Presiden Jokowi baru saja menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Melalui regulasi tersebut, semua orang yang menggunakan lagu atau musik secara komersil dalam bentuk layanan publik kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak diwajibkan untuk membayar royalti.
ADVERTISEMENT
Ditetapkannya PP No. 56 Tahun 2021 menyisakan tanda tanya mengenai bagaimana dengan penggunaan lagu atau musik karya orang lain di platform digital seperti YouTube, Spotify, dan sejenisnya. Seperti yang diketahui, pengguna platform streaming video milik Google itu kerap mengunggah video mereka menyanyikan ulang lagu atau musik karya orang lain dalam bentuk ‘cover’.
Menanggapi pertanyaan ini, Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, mengatakan PP No. 56 Tahun 2021 belum menyentuh aturan hak cipta lagu dan musik di platform digital. Bahkan, kata dia, belum ada aturan hak cipta lagu dan musik di Indonesia yang menyentuh ranah tersebut.
“Di Indonesia memang yang baru dikenal aturan mengenai performing rights, ketika seorang musisi membawakan lagu karya orang lain, itu hanya yang offline saja. Kalaupun dia disiarkan, dia melalui media penyiaran konvensional seperti televisi dan radio,” kata Hafez ketika dihubungi kumparanTECH, Selasa (6/4).
ADVERTISEMENT
“Kalau kita lihat di Pasal 3 (PP No. 56 Tahun 2021), jelas ya, ruang lingkup pemberlakuannya hanya seperti itu. Tidak dijelaskan ketika lagunya dibawakan kembali di platform digital seperti YouTube. Itu memang menjadi kelemahan peraturan hak cipta di Indonesia.”
Ilustrasi menonton Youtube. Foto: Shutter Stock
Pasal 3 PP No. 56 Tahun 2021 tak memuat platform digital dalam ruang lingkup layanan publik yang bersifat komersial. Pasal tersebut hanya mencantumkan layanan publik yang sifatnya masih konvensional, seperti:
a. Seminar dan konferensi komersial;
b. Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;
c. Konser musik;
d. Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
e. Pameran dan bazar
f. Bioskop;
g. Nada tunggu telepon;
h. Bank dan kantor;
ADVERTISEMENT
i. Pertokoan;
j. Pusat rekreasi;
k. Lembaga penyiaran televisi;
l. Lembaga penyiaran radio;
m. Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel;
n. Usaha karaoke.

Logika hukum hak cipta di Indonesia masih konvensional

Hafez mengatakan, sebelum PP No. 56 Tahun 2021 ditetapkan, peraturan hak cipta menggunakan lagu dan musik karya orang lain diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang terbit pada 2016 lalu.
Peraturan tersebut, yang menjadi turunan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014, mengatur berbagai macam tarif penggunaan lagu karya orang lain di ruang publik, mulai dari kafe, restoran, hingga hotel. Namun, peraturan itu tak menjelaskan tarif penggunaan lagu atau musik di platform digital.
Ilustrasi Konser. Foto: Getty Images
Hafez sendiri mengatakan logika hukum hak cipta di Indonesia masih konvensional. “Undang-Undangnya sendiri (Hak Cipta) lahir di tahun 2014. Mungkin di masa itu layanan-layanan berbasis digital seperti Spotify, iTunes, YouTube, belum terlalu lumrah. Sehingga memang yang digunakan masih logika konvensional,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Dengan ketiadaan aturan hak cipta penggunaan lagu dan musik karya orang lain, aturan membawakan lagu karya orang lain di YouTube hanya diatur oleh peraturan YouTube itu sendiri. Dalam halaman situs web mereka, seorang pengguna tetap dapat memonetisasi cover lagu dengan cara berbagi hasil dan melengkapi persyaratan berikut.

YouTube bisa masuk aturan pengelolaan royalti musik dan lagu, tapi...

Meski sampai sejauh ini belum ada aturan yang menaungi urusan cover lagu dan penggunaan karya musik orang lain di platform digital, Hafez mengatakan bahwa PP No. 56 Tahun 2021 membuka peluang untuk hal itu.
“Kalau dibaca, di pasal 3 ini memang tidak disebut. Tapi, yang menarik adalah di pasal 3 ayat 3 itu dibuka kemungkinan bahwa akan ditambah ranah-ranah yang bisa ditagih,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Pasal 3 ayat 3 di PP No. 56 Tahun 2021 berbunyi: “Penambahan bentuk layanan publik yang bersifat komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.”
Melalui pasal tersebut, Hafez bilang bahwa Peraturan Menteri Hukum dan HAM dapat menambahkan platform digital sebagai layanan publik yang bersifat komersial. Namun, masalahnya, memaksa platform digital over-the-top seperti YouTube cukup sulit karena mereka punya “aturan main sendiri,” kata Hafez.
“Mungkin tantangannya di sini, seberapa besar posisi tawar sebuah negara, dalam hal ini Indonesia, dihadapkan pada penyedia layanan ini. Karena ketika kita berbicara Spotify dan YouTube, ini kan kita berbicara soal perusahaan multinational ya. Di mana mereka memiliki kekuatan dan pengaruh yang sangat besar,” kata dia.
ADVERTISEMENT
“Kalau satu negara, misalnya, mempersulit mereka dalam beroperasi, ini kan bisa punya efek negatif kepada musisi di negara tersebut. Misalnya, bisa dibayangkan ketika Indonesia memberlakukan peraturan yang keras kepada Spotify, bukan tidak mungkin Spotify akan memblok semua musisi Indonesia. Ini yang memang masih menjadi tarik ulur bagaimana peraturannya.”