Perang Media Australia Lawan Facebook soal Bagi-bagi Untung Konten Berita

3 September 2020 8:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Facebook. Foto: Reuters/Valentin Flauraud
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Facebook. Foto: Reuters/Valentin Flauraud
ADVERTISEMENT
Pengguna Facebook dan Instagram di Australia kemungkinan tak akan bisa sharing berita di kedua aplikasi media sosial itu dalam waktu dekat. Ancaman itu datang, setelah pemerintah Negeri Kanguru hendak meresmikan regulasi baru yang mengatur kesepakatan finansial antara perusahaan penerbit berita dengan platform media sosial.
ADVERTISEMENT
Langkah yang diambil pemerintah Australia itu merupakan salah satu upaya terbesar yang pernah diambil sebuah negara untuk mengendalikan kekuasaan media sosial terhadap industri media berita.
Seperti yang dilaporkan Associated Press pada akhir April lalu, pemerintah Australia bakal meminta perusahaan digital, seperti Facebook dan Google, untuk membayar konten berita yang ada di platform mereka. Ini adalah upaya mendapat kompensasi yang adil atas keuntungan konten jurnalistik yang disedot Facebook dan Google dari media berita lokal.
Facebook menilai aturan tersebut 'tidak dapat dipertahankan'. Menurut mereka, regulasi baru itu akan memaksa perusahaan media sosial untuk masuk ke dalam perjanjian pembagian pendapatan dengan penerbit berita, di mana persyaratan akhir akan diputuskan secara arbiter oleh pihak independen.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan Wired, regulasi baru dari pemerintah Australia itu akan menciptakan sebuah dewan khusus untuk menentukan harga yang perlu dibayar platform layanan digital kepada perusahaan berita. Nantinya, setiap pelanggaran peraturan yang dilakukan platform layanan digital terkait biaya konten akan dikenakan denda 10 persen dari total pendapatan tahunan mereka.
Patung-patung berdiri di depan logo jejaring sosial Facebook. Foto: JOEL SAGET / AFP
Facebook pun tidak memiliki jalan lain selain mundur dari kesepakatan.
"Kami mencoba membuat ini berhasil," kata Campbell Brown, selaku kepala kemitraan berita global Facebook, dikutip CNBC. "Kami mengusulkan versi kami tentang sesuatu yang bisa diterapkan. Sayangnya, ada begitu banyak hal dalam usulan undang-undang ini yang membuatnya tidak bisa dipertahankan."
Dalam sebuah posting Facebook pada Senin (31/8), Brown mengklaim pemerintah Australia telah memberikan Facebook dua pilihan.
ADVERTISEMENT
Pilihan pertama, Facebook harus menghapus berita sepenuhnya. Atau, pilihan yang kedua, mereka harus menerima sistem yang memungkinkan penerbit berita menagih Facebook untuk konten yang mereka inginkan dengan harga tanpa batasan jelas.
"Sayangnya, tidak ada bisnis yang dapat beroperasi seperti itu," kata Brown. “Dengan asumsi draf kode ini menjadi undang-undang, kami dengan enggan akan berhenti mengizinkan penerbit dan orang di Australia untuk membagikan berita lokal dan internasional di Facebook dan Instagram."
Ilustrasi berita online berbayar Foto: pixabay

Masalah lama bagi-bagi kue pendapatan

Bagi-bagi pendapatan dari konten perusahaan berita di Facebook memang telah lama jadi persoalan.
Menurut laporan CNBC, dalam beberapa tahun terakhir negara-negara Eropa telah mencoba untuk memberikan lebih banyak porsi pendapatan berita dari platform layanan digital kepada penerbit berita. Sebagian besar gagal dan justru membuat masalah jadi pelik.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, ketika Spanyol menandatangani undang-undang yang memaksa Google untuk membayar tajuk utama dan ringkasan berita di Google News pada 2014 silam. Regulasi itu membuat Google menghapus penerbit berita asal Spanyol dari platform mereka, yang kemudian pukulan telak bagi industri berita nasional Negeri Matador tersebut.
Refleksi logo Google. Foto: REUTERS/Mike Blake
Prancis dan Jerman juga telah mencoba untuk mengatur pembagian kue pendapatan ini, yang akhirnya juga gagal.
Kegagalan sejumlah negara itu tak membuat pemerintah Australia gentar untuk membuat platform digital tunduk. Optimisme ini disampaikan oleh Bendahara Komisi Persaingan dan Konsumen Australia, Josh Frydenberg, yang percaya diri negaranya mampu menjadi yang pertama menaklukan para raksasa teknologi asal Sillicon Valley.
"Kami tidak akan tunduk pada ancaman mereka," kata Frydenberg pada akhir April lalu, dikutip Associated Press. “Kami memahami tantangan yang kami hadapi. Ini adalah gunung besar untuk didaki. Ini adalah perusahaan besar yang kami hadapi, tetapi ada banyak hal yang dipertaruhkan, jadi kami siap untuk pertarungan ini."
ADVERTISEMENT
Industri berita di Australia sendiri saat ini sedang mengalami kontraksi finansial. Selain karena orang-orang lebih sering buka berita di Facebook ketimbang di situs penerbit berita, sehingga penerbit gagal membangun citra brand dan memonetisasi konten mereka, pendapatan iklan industri juga terpangkas karena pandemi corona.
Ilustrasi Berita Foto: Pixabay
Meski demikian, menurut Komisi Persaingan dan Konsumen Australia, duduk perkara gugatan mereka tak melulu soal cuan iklan. Facebook dan Google sendiri sebenarnya tak begitu banyak meraup iklan dari konten berita di platform mereka.
Duduk perkara utamanya, seperti yang dilaporkan Wired, adalah nilai intrinsik berita itu sendiri. Komisi Persaingan dan Konsumen Australia berargumen kalau setiap berita punya nilai intrinsik, sehingga platform layanan digital yang menyebarkan berita perlu dikenakan biaya.
ADVERTISEMENT
Jika dilihat secara lebih luas, penerbit berita dan platform layanan digital seperti Facebook dan Google punya hubungan mutualisme.
Di satu sisi, konten berita merupakan daya tarik pengguna platform layanan digital. Berdasarkan catatan Komisi Persaingan dan Konsumen Australia sendiri, sepertiga pengguna Facebook memakai aplikasi itu untuk baca berita.
Di sisi lain, kemudahan mesin pencari Google dan feed Facebook merupakan saluran yang baik bagi penerbit berita untuk menjangkau khalayak ramai.
Tampilan Facebook News. Foto: Dok. Facebook
Menurut profesor di Queensland University of Technology, Terry Flew, Komisi Persaingan dan Konsumen Australia juga mengakui bahwa kedua belah pihak saling bergantung sama lain. Duduk perkara masalah ini, kata dia, terletak pada kurangnya pendapatan penerbit berita meski konten mereka mendorong traffic atau lalu lintas pengguna di platform layanan digital.
ADVERTISEMENT
"Tentang sejauh mana konten (penerbit berita) mendorong lalu lintas, dan mereka tidak menerima pengembalian dari situ,” kata Flew, dalam sebuah wawancara dengan Wired.
Untuk mengatasi masalah ini, Flew menyebut kalau Australia telah "mengusulkan bahwa harus ada harga yang adil, jika Anda mau, untuk keuntungan finansial yang diperoleh oleh platform".

Masa depan berita di platform layanan digital

Upaya besar yang dilakukan pemerintah Australia bisa mendorong negara lain untuk melakukan regulasi serupa, menurut sejumlah pengamat. Meski demikian, keberhasilan upaya mereka masih jadi perdebatan.
Editorial Bloomberg, misalnya, mengungkap bahwa regulasi yang ketat justru akan menjadi bumerang dan kontraporduktif.
Ilustrasi baca berita. Foto: Thinkstock
"Dengan mendorong platform untuk menghapus cuplikan berita dan pratinjau sama sekali, hal itu kemungkinan besar akan mengurangi lalu lintas penerbit, menekan pendapatan iklan, mengikis persaingan, menghambat inovasi, dan menghilangkan konsumen dari layanan yang berharga," kata editorial Bloomberg dalam laman opini mereka.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, media semacam News Corp, perusahaan berita tertua di Australia yang keras melawan cengkeraman platform layanan digital, mencari alternatif lain dengan mendirikan agregator berita sendiri bernama Knewz.
Bagi Facebook sendiri, mereka tampak tidak begitu mempermasalahkan upaya regulasi dari Australia. Menurut Brown, "Australia adalah sampingan" bagi Facebook.
“Kami mendorong investasi berita kami di sini di AS dan di pasar baru di seluruh dunia,” kata Brown dalam wawancara dengan CNBC. “Kami telah menemukan hal-hal yang benar-benar berfungsi, dan kami tidak berniat untuk melambat. Kami akan mempercepat perluasan Facebook News kami ke pasar lain."
Adapun Google enggan berkomentar terkait regulasi tersebut.