Pria Ini Korban Salah Tangkap Pencurian Permen karena Bug AI Face Recognition

1 Januari 2021 8:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pencuri. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pencuri. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang pria di New Jersey, AS, menggugat departemen kepolisian kotanya setelah jadi korban salah tangkap pada tahun lalu. Pria tersebut, yang merupakan seorang kulit hitam, mengatakan bahwa dia menghabiskan 10 hari di penjara akibat kecacatan teknologi face recognition yang dipakai polisi untuk mencari pelaku pencurian.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan NJ Advance Media, kejadian ini bermula pada 26 Januari 2019. Kala itu, kepolisian kota mendapat panggilan untuk insiden pencurian permen dan makanan ringan di hotel Hampton Inn di Woodbridge, New Jersey.
Pelaku berhasil ditangkap oleh polisi dan kemudian memberikan sebuah kartu SIM bernama Jamal Owens. Ketika dicek di komputer yang ada di mobil patroli polisi, SIM tersebut ternyata palsu.
Tak cuma SIM palsu, polisi juga mengaku melihat kantung besar diduga ganja di kantong pelaku. Nah, ketika hendak diborgol, entah bagaimana pelaku berhasil kabur. Ia kemudian masuk ke sebuah mobil Dodge Challenger hitam yang dia rental dan tancap gas meski kendaraannya sempat ditembaki polisi serta menabrak mobil patroli.
ADVERTISEMENT
Bukti satu-satunya yang dimiliki polisi saat itu adalah kartu SIM palsu yang diberikan pelaku. Keesokan harinya, polisi kemudian mencari nama asli dari foto pria di SIM palsu tersebut. Alat face recognition yang dipakai kemudian menemukan kecocokan foto itu dengan seorang pria bernama Nijeer Parks.
Nijeer Parks (33) adalah seorang mantan narapidana kasus narkoba. Ia sempat dipenjara selama 6 tahun, keluar pada 2016 lalu, dan mulai menjalani kehidupan baru sebagai pegawai toko di supermarket PriceRite.
Polisi kemudian membandingkan KTP Nijeer Parks dengan SIM palsu, dan setuju bahwa keduanya adalah orang yang sama. Setelah seorang karyawan rental mobil mengkonfirmasi bahwa foto SIM adalah sang pencuri, polisi mengeluarkan surat perintah penangkapan Parks.
Ilustrasi Pencuri. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
“Saya enggak berpikir dia mirip dengan saya,” kata Parks kepada The New York Times. "Satu-satunya kesamaan yang kami miliki adalah jenggot."
ADVERTISEMENT
Parks sendiri tak memiliki mobil. Ia bahkan tak memiliki SIM mobil karena tidak bisa mengemudikannya.
Ketika surat penahanan dikirim kepada Parks, ia harus meminta sepupunya untuk mengantar naik mobil ke kantor polisi Woodbridge. Beberapa saat setelah dia tiba, kata Parks, dia diborgol dan kemudian dihadapkan oleh detektif yang mengatakan kepadanya berulang kali, "Kamu tahu apa yang kamu lakukan.”
“Saya enggak tahu ini tentang apa. Saya belum pernah ke daerah Woodbridge sebelumnya, bahkan tidak tahu pasti di mana itu," kata Parks kepada NJ Advance Media.
Parks kemudian mesti mendekam 10 hari di balik jeruji besi. Ketika keluar dari hotel prodeo, ia kemudian menghabiskan satu tahun terakhir untuk membersihkan namanya dan menuntut pejabat kota.
ADVERTISEMENT
Melalui pengacaranya, Daniel Sexton, Parks mengajukan gugatan terhadap administrasi kota, departemen kepolisian, dan pejabat publik, termasuk Wali kota Woodbridge, John McCormac. Adapun pengacaranya menuding penyelidik melanggar hak Parks dengan mengandalkan perangkat lunak pengenalan wajah yang cacat.
Seorang juru bicara wali kota mengatakan pihaknya belum melihat dokumen keluhan dari Parks dan oleh karena itu tidak dapat berkomentar, menurut laporan NJ Advance Media.
Berdasarkan klaim gugatan Parks, ia menyebut software face recognition yang membuatnya jadi salah ditangkap adalah perangkat lunak buatan Clearview AI. Namun, pengacaranya kemudian mengatakan kalau tampaknya bukan software buatan Clearview AI yang digunakan polisi ketika mengidentifikasi Parks.
Clearview AI sendiri adalah alat pengenalan wajah yang menggunakan miliaran foto yang diambil dari web publik, termasuk Facebook, LinkedIn, dan Instagram.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan The New York Times, pendiri Clearview AI, Hoan Ton-That, mengatakan bahwa petugas yang berafiliasi dengan lembaga negara tempat informasi dianalisis dalam kasus tersebut tidak menggunakan aplikasi perusahaannya pada saat itu.
Selain itu, menurut laporan polisi, foto SIM yang dipakai untuk mencocokan wajah saat itu berada di database pemerintah, yang tidak dapat diakses oleh Clearview AI. Adapun penegak hukum yang terlibat dalam pencocokan face recognition tidak menanggapi pertanyaan tentang sistem pengenalan wajah mana yang digunakan.
Teknologi face recognition untuk menangkap kasus kejahatan di AS memang tengah jadi perhatian, khususnya bagi kelompok kulit berwarna di sana. Sebab, teknologi itu sering kurang akurat mengenali wajah pelaku kriminal, khususnya bagi orang kulit hitam.
Sejumlah warga protes terhadap kematian pria Afrika-Amerika George Floyd, di Trafalgar Square, London, Inggris, (31/5). Foto: REUTERS/John Sibley
Pada 2019, misalnya, sebuah studi nasional di AS terhadap lebih dari 100 algoritma pengenalan wajah menemukan bahwa alat-alat itu tidak berfungsi dengan baik pada wajah orang kulit hitam dan Asia.
ADVERTISEMENT
Parks adalah orang ketiga yang diketahui jadi korban salah tangkap karena software face recognition yang buruk, menurut laporan The New York Times. Dalam ketiga kasus tersebut, semuanya adalah orang kulit hitam.
Dua pria kulit hitam lainnya adalah Robert Williams dan Michael Oliver. Keduanya tinggal di daerah Detroit dan ditangkap karena kejahatan yang tidak mereka lakukan berdasarkan kecocokan pengenalan wajah yang buruk.
Parks sendiri bukanlah orang pertama yang jengkel salah ditangkap dan menggugat sebuah kota. Sebelum dirinya, Michael Oliver sempat menjatuhkan komplain ke pengadilan dan menggugat kota Detroit senilai 12 juta dolar AS.