Ojek Sepeda

Sejarah Ojek Sebelum Gojek

16 Desember 2022 15:33 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jauh sebelum teknologi berkembang, berjalan kaki dan menunggang kuda menjadi satu-satunya cara manusia untuk bermigrasi dari satu kota ke kota lain, menempuh jarak ratusan kilometer, memakan waktu berhari-hari, dan tentu saja melelahkan.
Seiring berjalannya waktu, manusia terus berinovasi, berpikir bagaimana caranya membuat hidup lebih mudah. Mereka lantas mulai menciptakan alat transportasi yang jauh lebih baik, mengesampingkan hewan, dan mencoba memanfaatkan mesin penggerak.
Perubahan besar-besaran ini dimulai pada tahun 1800-an, ketika alat transportasi massal kereta api ditemukan oleh Richard Trevithick, seorang insinyur asal Inggris. Seperti gayung bersambut, alat transportasi lain juga mulai dikembangkan termasuk sepeda motor dan mobil.
Tatkala motor dan mobil tercipta, kehidupan orang-orang di perkotaan mulai berubah. Sementara mereka yang hidup di negara nun jauh di sana, termasuk Indonesia, masih menggunakan alat transportasi tradisional setidaknya hingga beberapa tahun setelah alat-alat itu ditemukan.
Menurut Asep Kambali, seorang sejarawan sekaligus Ketua Komunitas Historia Indonesia, sepeda motor sendiri baru masuk ke Indonesia pada 1900-1910-an, sekitar 10-20 tahun setelah motor ditemukan. Orang-orang dulu menyebut sepeda motor sebagai sepeda setan karena bisa jalan sendiri, tidak dikayuh seperti sepeda pada umumnya.

Ngobjek

Istilah ojek atau ojeg berasal dari bahasa Sunda, asal kata dari “ngobyek” atau “ngobjek”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mengobjek punya makna; mengerjakan usaha sambilan secara tidak tetap untuk menambah penghasilan.
Ojek awalnya sering mangkal di perempatan atau pertigaan dan dinilai sebagai alat transportasi yang bisa menjangkau ke pedalaman, ke tempat-tempat jauh, dan jalan sempit. Profesi ojek sudah ada sebelum sepeda motor masuk ke Indonesia.
Ilustrasi ojek pangkalan. Foto: Ryan Wijaya Tan/Shutterstock
Cikal bakalnya bermula di pedesaan pada 1969. Kala itu, kondisi jalan desa yang rusak parah membuat jalan tak bisa dilalui mobil sebagai alat transportasi umum. Orang-orang yang akan pergi ke kota harus berjalan kaki, menempuh jarak yang lumayan jauh. Dari sini, tercetus ide segelintir orang yang menawarkan ojek sepeda ke penduduk desa.
Ternyata, ojek sepeda memang sangat membantu sehingga membuat orang mulai meliriknya sebagai alat transportasi baru. Di Jakarta, ojek sepeda muncul pada 1970-an di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kala itu, alat transportasi seperti bemo, becak, dan mobil dilarang masuk ke Pelabuhan Priok. Ini menyebabkan orang-orang yang punya sepeda mendapatkan kesempatan untuk menawarkan jasa-jasanya.
Ojek sepeda kemudian menyebar ke Kota Tua, Ancol, hingga Harmoni, dan mendapat eksistensinya menjadi alat transportasi murah jarak dekat nan praktis. Saat ojek sepeda berkembang pesat di perkotaan. Orang-orang desa di Jawa Timur mulai berinovasi dengan beralih menawarkan jasa ojek sepeda motor, meski jumlahnya masih sangat terbatas.
Sebab, sekitar tahun 1970-1980-an, sepeda motor masih menjadi barang mewah nan langka sehingga tidak semua orang memilikinya. Lantaran kebutuhan masyarakat semakin mendesak, penggunaan ojek sepeda motor pun semakin merebak, terus menjamur seiring berjalannya waktu.
Penghasilan yang cukup menggiurkan ini membuat profesi ojek motor mulai dilirik oleh para petani di Jawa Timur sebagai kerja sampingan. Setelah mendapat hati di penduduk desa, ojek sepeda motor pada 1974-an mulai muncul di Jakarta. Ojek menjadi alat transportasi baru dan peminatnya pun cukup banyak. Mereka bisa mangkal di mana saja, di pemberhentian bus, di pertigaan, atau perempatan jalan.
Di Jakarta, penumpang bisa sekalian tamasya keliling Ancol dengan ojek motor. Asep mengatakan ketika ojek sepeda motor mulai menjamur, tak ada satupun organisasi yang mengatur profesi ini sehingga tarif yang dikenakan bersifat negotiable. Artinya, tarif akan tergantung dari jarak tempuh dan kesepakatan antara pengguna dan penyedia jasa.
Beberapa pengguna jasa ojek memandang tarif yang dikenakan terlalu mahal. Padahal, para pengguna bisa melakukan tawar-menawar terlebih dahulu sebelum menggunakan jasa ojek ini.
“Kadang kita suka enggak mengerti, main iya saja. Makanya banyak ongkos ojek itu yang kemudian kemahalan. Karena kita enggak berani tawar. Jadi mereka sebenarnya memberi harga kepada kita itu harus kita tawar. Kalau enggak, ya kemahalan,” kata Asep kepada kumparan.
Ilustrasi GoJek. Foto: Jan von Uxkull-Gyllenband/Shutterstock
Kehadiran ojek pangkalan ini terus berlanjut hingga tahun 2000-an. Mereka menjadi alternatif sarana transportasi warga yang mampu menembus kemacetan, terutama di jalanan kota-kota besar Indonesia yang perekonomiannya mulai pulih pasca-krisis moneter 1998.
Aktivitas ojek semakin luas. Luas dalam arti ia tidak hanya diandalkan untuk mengantarkan penumpang dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga kebutuhan lain.
Penumpang yang sering menggunakan jasa ojek tak jarang mempercayakan ojek langganannya untuk menjadi kurir dadakan mengirim barang yang ketinggalan di rumah, entah PR sekolah atau tugas kuliah, dokumen kantor, dan lain sebagainya. Bahkan, mereka bisa diminta bantu membelikan galon air dari warung langganan.

Gojek dan istilah ojol

Kemudian muncul Gojek di Indonesia pada 2010. Ia datang membawa pembaharuan dalam lanskap ojek untuk memaksimalkan dan mewadahi nilai tambahnya. Gojek dimulai dari basis layanan call center pada tahun 2010 yang menghubungkan supply (driver) dan demand (penumpang) melalui customer service.
Kemudian tahun 2015, didorong digitalisasi dan teknologi yang berkembang di Indonesia, aplikasi Gojek pertama kali muncul sekaligus menjadi tonggak sejarah dan dasar perubahan lanskap per-ojekan di Indonesia. Saat itu, muncul istilah baru bagi tukang ojek, mereka disebut ojol alias ojek online. Ini tak terlepas dari bagaimana mereka bisa diakses melalui jejaring internet.
Melalui genggaman tangan inilah orang bisa memesan ojek dengan sangat mudah. Diam di rumah dan menunggu, ojol tiba, dan mengantar penumpang ke tujuan yang tercantum di aplikasi. Super cepat dan sangat praktis.
Logo baru perusahaan Gojek terpampang di atribut helm dan jaket mitra pengemudi Go-Ride. Foto: Dok. Gojek
Tak butuh waktu lama, ojek online dengan cepat menyebar di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain di Indonesia. Pertumbuhan Gojek melesat mencapai 36 juta pengguna aktif bulanan pada 2020, tepat satu dekade perusahaan decacorn tersebut berdiri.
Bagaimanapun, Asep menilai, kehadiran Gojek di Indonesia telah menambah warna baru di dunia ojek. Adanya perusahaan yang menaungi para pengendara ojek membuat nilai tambah untuk profesi mereka. Di antaranya membuka peluang kepada penghasilan tambahan, karena bukan hanya mengantarkan penumpang, tetapi juga barang dan makanan, akses terhadap layanan finansial, hingga menciptakan solidaritas karena banyaknya komunitas driver yang cenderung memiliki kegiatan positif untuk masyarakat luas.
“Kalau melihat awal berdirinya Gojek, perusahaannya Nadiem Makarim, ini menarik. Barangkali nanti Nadiem Makarim bisa dianggap sebagai Bapak Ojek karena beliau yang me-organize dengan baik dan meningkatkan taraf pekerjaan mereka, makin ramai, dan membuka lapangan pekerjaan,” tambah Asep.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten