5 Tradisi Turun-temurun yang Dilakukan oleh Perempuan di Berbagai Negara

2 Juni 2020 7:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi menyayat perut di Afrika Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menyayat perut di Afrika Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berdasarkan suku dan adat istiadat yang dianut, terlahirlah sebuah tradisi yang semakin hari dilakukan akan dianggap wajar. Tradisi yang dianut ini pun memiliki keunikan, karena hanya dilakukan oleh perempuan di suku atau daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya untuk melestarikan budaya yang dilahirkan nenek moyang, beberapa tradisi ini dilakukan perempuan untuk melindungi diri dan kecantikan. Bahkan, berbagai tradisi tersebut dipandang menyakitkan bagi perempuan, karena melibatkan berbagai jenis siksaan fisik.
Berikut kumparan rangkum lima tradisi yang dilakukan khusus oleh perempuan di berbagai negara.

1. Tradisi Perempuan Suku Miao, China

Perempuan Miao. Foto: Getty Images
China memang menjadi negara yang memiliki tradisi unik yang telah dilakukan turun temurun. Salah satunya tradisi mengenakan konde kepala berbentuk tanduk yang dilakukan oleh perempuan Suku Miao, China.
Kelompok etnis ini memiliki tradisi memakai rambut nenek moyang mereka sebagai hiasan kepala. Gumpalan rambut nenek moyang berbentuk tanduk itu dikenakan sebagai hiasan kepala yang dipakai pada acara-acara khusus.
ADVERTISEMENT
Rambut tersebut merupakan kumpulan rambut milik kerabat atau leluhur yang sudah meninggal. Para perempuan Miao selalu menyimpan helaian rambut dari sanak keluarganya dan menenunnya menjadi hiasan kepala.
Wanita Suku Miao di China Foto: Wikimedia Commons
Menurut perempuan Miao, hiasan kepala dari nenek moyang itu dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka dan membuatnya terlihat cantik. Dilansir Global Times, hiasan kepala tradisional ini digabungkan dengan benang wol, linen, dan sedikit rambut leluhur.
Sebagian rambut nenek moyang yang tidak dibuat hiasan kepala disimpan dan digunakan untuk memperingati hari kematiannya. Para wanita itu juga menyimpan dan mengumpulkan helai demi helai rambut yang rontok saat menyisir.

2. Tradisi Chhaupadi, Nepal

Perempuan di Nepal harus tinggal di Chhaupadi saat mereka menstruasi. Foto: Prakash Mathema/ AFP
Chhaupadi merupakan salah satu tradisi yang memaksa perempuan di Nepal untuk melakukan berbagai hal yang seringkali menyakitkan. Tradisi yang sudah berakar di wilayah pedesaan Nepal ini mendorong perempuan yang sedang dalam periode menstruasi atau haid, untuk hidup terisolasi dan disiksa di dalam gubuk dengan alasan keagamaan dan adat.
ADVERTISEMENT
Menurut bahasa Nepal, Chhaupadi berarti memiliki kenajisan. Tradisi ini telah berlangsung secara turun-temurun selama ratusan tahun. Wanita yang sedang menstruasi atau dalam masa nifas akan tinggal di tempat yang terpisah berbentuk gubuk yang dikenal sebagai gubuk menstruasi.
Gubuk menstruasi yang dipakai untuk tradisi chhaupadi di Nepal Foto: Flickr/thisismysansar1
Konon, perempuan yang sedang mengalami menstruasi itu dikhawatirkan akan memberi bencana untuk keluarga. Menurut keyakinan masyarakat setempat, apabila wanita yang sedang menstruasi atau masa nifas dibiarkan tinggal dalam rumah dan tidak diasingkan ke gubuk khusus, maka akan ada kejadian buruk yang hadir meliputi keluarganya.
Beberapa di antaranya seperti harimau yang datang, rumah terbakar, atau kepala rumah tangga yang menderita sakit secara tiba-tiba. Maka dari itu, mereka diusir dari rumah dan diasingkan.
ADVERTISEMENT
Selama tradisi ini dilakukan, banyak perempuan yang meninggal saat menjalani Chhaupadi. Penyebabnya yaitu suhu yang amat panas, sesak napas akibat terlalu banyak menghirup asap api unggun, hingga digigit ular kobra. Mereka juga sering menjadi korban pemerkosaan.

3. Tradisi Suku Tiv, Nigeria

Ilustrasi menyayat perut perempuan di Afrika. Foto: Shutter Stock
Suku Tiv yang berada di Nigeria ini memiliki tradisi unik untuk menandakan kedewasaan seorang perempuan di wilayahnya. Untuk menandai kedewasaan, para gadis di suku ini harus menjalani ritual penyayatan perut.
Ritual ini dilakukan ketika seorang gadis mendapatkan haid pertamanya. Perut para gadis tersebut disayat dengan menggunakan benda tajam yang menyebabkan beberapa torehan luka berbentuk garis memanjang.
Ketika menjalani ritual tersebut, mereka tidak disertai dengan obat bius ataupun tindakan medis guna pencegahan infeksi. Gadis tersebut baru bisa disebut sebagai perempuan dewasa ketika sudah memiliki kurang lebih empat bekas sayatan di perutnya.
ADVERTISEMENT
Selain menandakan kedewasaan, sayatan-sayatan ini dipercaya dapat meningkatkan kesuburan si gadis. Konon, luka sayatan ini membantu mereka menjadi lebih menarik di mata para pria.
Ilustrasi menyayat perut perempuan di Afrika. Foto: Shutter Stock
Bagi orang-orang Suku Tiv, bagian tubuh yang terdapat bekas luka sayatan itu akan meningkatkan sensitivitas wanita saat disentuh, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Jadi luka tersebut dipercaya bisa memberikan sensasi erotis.
Karena itulah, luka sayatan perut ini dianggap menarik secara seksual oleh para pria Suku Tiv. Wanita dengan luka sayatan juga dianggap telah mampu menanggung rasa sakit sebagai seorang wanita.
Jadi, diyakini perempuan tersebut memiliki kemampuan seksual yang baik pula. Maka dari itu, mengapa ritual ini menjadi suatu kewajiban bagi para perempuan di sana.
ADVERTISEMENT

4. Tradisi Leblouh di Afrika Barat

ilustrasi perempuan Mauritania Foto: Shutter Stock
Banyak pria yang menilai bahwa wanita cantik itu memiliki kulit yang putih, hidung mancung, dan berbadan langsing. Namun, berbeda dengan para pria di negara Mauritania, Afrika Barat, yang menganggap perempuan bertubuh besar justru tampak lebih cantik dan menarik.
Para pria di negara ini sangat memuliakan perempuan yang memiliki tubuh gemuk. Hal itu mengacu oleh pepatah yang tertanam di sana yang menyebut, ''Kemuliaan seorang laki-laki diukur oleh kegemukan wanita,''.
Berbeda di negara lain yang mengagungkan wanita bertubuh kurus, wanita yang memiliki bobot besar di negara ini dianggap indah. Tradisi ini disebut dengan nama Leblouh atau penggemukkan secara paksa. Mereka akan dipaksa makan dan menggemukkan badan demi kecantikan.
ilustrasi perempuan Mauritania Foto: Shutter Stock
Di Mauritania, wanita dengan bobot badan yang besar merupakan tradisi yang harus dijalani. Normalnya, dalam sehari orang dewasa hanya membutuhkan sekitar 2.000-2.500 kalori, tetapi para gadis di Mauritania yang mengikuti tradisi ini dapat mengkonsumsi 16.000 kalori makanan.
ADVERTISEMENT
Sejak remaja, perempuan di negara ini dipaksa mengkonsumsi susu unta yang kaya lemak, dan ditambah dengan segelas lemak murni setiap hari agar berat badannya bertambah.
Apabila para gadis tidak sanggup menghabiskannya, mereka akan dihukum. Salah satu metode yang dilakukan adalah mengikatkan jari kaki mereka di sebuah tongkat dan ditekan dengan kuat yang membuat rasa sakit pada kaki mereka.

5. Tradisi perempuan Suku Apatani

Sumbat hidung wanita suku Apatani di lembah Ziro Foto: Flickr/Twisamish Ghosh
Jika beberapa tradisi dilakukan untuk membuat wanita terlihat cantik dan menawan, tradisi yang dilakukan oleh Suku Apatani di Ziro Valley, sebuah desa kecil di Arunachal Pradesh, India ini justru dilakukan agar perempuan terlihat jelek.
Perempuan Suku Apatani selalu dianggap memiliki paras yang indah di antara suku lainnya di Arunachal. Kecantikan mereka itu pun menjadi incaran orang-orang suku lain. Rasa ingin memiliki itu akhirnya menimbulkan berbagai masalah dan peperangan antar suku.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, demi melindungi diri dari mara bahaya, wanita Suku Apatani melubangi hidungnya dan menutupnya dengan kayu. Hal itu dilakukan agar mereka tidak lagi terlihat menarik bagi suku lain. Untuk melindungi diri, mereka diharuskan memakai aksesoris tersebut setiap hari.
Tradisi perempuan suku Apatani dari India dengan menyumbat hidung. Foto: Shutterstock
Supaya penampilannya terlihat jelek, wanita Apatani juga menato tubuh mereka secara vertikal dari dahi ke ujung hidung dan lima garis di dagu mereka. Tradisi ini dilakukan sejak awal kedewasaan, ketika mereka menstruasi untuk pertama kalinya.
Namun, tradisi tersebut tidak lagi dilakukan oleh wanita kelahiran 1970, sehingga tradisi ini dilupakan dan menghilang seiring berjalannya waktu. Penduduk Suku Apatani saat ini hanya tersisa 26 ribu jiwa. Jika kamu berkesempatan berkunjung ke wilayah Suku Apatani, masih banyak ditemui perempuan yang melakukan tradisi memakai Tippei.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona)
***
Yuk! bantu donasi atasi dampak corona.