Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Traveling ke kota atau negara lain menjadi hal yang menyenangkan. Selain dapat mengunjungi destinasi wisata menarik, kamu juga dapat menemukan ragam oleh-oleh , mulai dari makanan, magnet kulkas, gantungan kunci, hingga kerajinan tangan yang menjadi ciri khas tempat tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang kemudian membuat traveling ibarat sayur tanpa garam, kurang lengkap, jika belum membawa pulang oleh-oleh. Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Iman Soleh M.Sn berpendapat, sebagai seorang suami tentunya harus membawa oleh-oleh setelah bepergian dari suatu tempat untuk keluarganya.
“Kalau ingin ada gunanya sebagai seorang suami ya harus bawa oleh-oleh . Begitu pula misalnya kalau ke kawan, masa enggak bawa oleh-oleh. Supaya bergunalah untuk kawan supaya tidak hanya ngobrol tetapi ada yang dikunyah juga,” ujar Iman.
Namun, benarkah demikian? Dan pernahkah terlintas di benakmu dari mana sebenarnya tradisi membawa oleh-oleh ini bermula?
Tradisi membawa oleh-oleh ternyata memiliki sejarah panjang, Sejarawan sekaligus Founder Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali memperkirakan, hadirnya oleh-oleh berakar pada kebudayaan di masa lalu.
ADVERTISEMENT
"Oleh-oleh ini tidak terlepas dari proses migrasinya orang-orang atau kaum urban di masa lampau. Sebab, dahulu ketika seseorang bepergian ke suatu tempat, maka dia harus membawa sesuatu yang menjadi ciri khas atau ikon daerah tersebut," ungkap Asep, ketika berbincang dengan kumparan di kawasan Jagakarsa, Jakarta, Senin (13/5).
Sebagai contoh, ketika mendengar kata ‘dodol’, tanpa disadari di benakmu akan merujuk ke suatu daerah di Jawa Barat, yaitu Garut , yang terkenal dengan makanan khas ini. Atau lumpia dari Kota Semarang, Gudeg dari Yogyakarta, dan Batik milik Pekalongan.
Sejalan dengan Asep, Iman Soleh juga mengungkapkan bahwa tradisi oleh-oleh tak terlepas dari budaya berburu, tradisi nelayan, dan perang yang terjadi di masa lampau.
Zaman dahulu, ketika kembali setelah berburu atau melaut, penduduk akan membawa seluruh barang yang didapat ke kampungnya masing-masing. Sedangkan orang yang berperang, ketika menang, mereka akan membawa hasil rampasan perang. Barang-barang ini kemudian dijadikan sebagai oleh-oleh bagi sang pemenang. Benda-benda ini yang kemudian bergeser maknanya dan menjadi identitas dari sebuah kota.
ADVERTISEMENT
"Ketika seluruh sistem kemanusiaan, sistem kultur saling bertautan atau bertalian. Maka kemudian, oleh-oleh menjadi penanda sebuah kota," kata Iman, ketika berbincang dengan kumparan melalui sambungan telepon beberapa waktu lalu.
Evolusi Oleh-oleh
Oleh-oleh diperkirakan telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia berdiri. Menurut Iman, zaman dahulu kerajaan sering saling memberi upeti pada kerajaan lainnya. Dalam pengertiannya, upeti merupakan sebuah cara di mana raja dengan raja saling mengirim sesuatu. Upeti ini bisa berbentuk apa saja, mulai dari barang, binatang, bahkan perempuan.
“Di Indonesia sejak abad ke-7 pertukaran upeti antar-kerajaan sudah berlangsung. Salah satunya pada abad ke 14, ketika Kerajaan Pajajaran mengirimkan upeti ke Kerajaan Majapahit. Upeti tersebut bisa dibilang sebagai salah satu bentuk oleh-oleh pada masa itu. Itu sangat mungkin menjadi bagian awal dari oleh-oleh,” ujar Iman.
Sementara itu, menurut pandangan ahli sejarah kuno dan arkeologi Indonesia, Agus Aris Munandar, asal-usul oleh-oleh juga dapat ditelusuri melalui catatan-catatan sejarah pada abad ke 14 atau 15. Agus menjelaskan bahwa pengetahuan dari suatu budaya yang kita kunjungi bisa juga disebut sebagai sebuah oleh-oleh.
ADVERTISEMENT
“Dari catatan yang kita terima, orang Sunda (Jawa Barat) pergi ke Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali. Nah, dalam naskah-naskah Sunda itu disebut, jika orang yang mengaku pergi ke Jawa, lalu kembali ke Sunda dan tidak bisa bahasa Jawa, itu bohong. Jadi kalau dia pergi ke tempat lain, misalnya Lampung, dia harus mengerti bahasa Melayu. Pergi ke Jawa harus mengerti bahasa Jawa, dan pada masa itu tidak disebutkan oleh-oleh, tapi yang disebut sebagai oleh-oleh adalah pengetahuan budaya itu,” ujar Agus.
Sedangkan menurut Asep, oleh-oleh semakin populer pada akhir abad ke 19, setelah tradisi melancong menjadi tren saat Terusan Suez dibuka. Hal tersebut lantas membuat banyak orang berwisata keliling dunia menggunakan kapal uap.
ADVERTISEMENT
Bahkan, ribuan wisatawan berdatangan hanya untuk sekadar melihat dan berwisata ke Bali via Batavia. Asep juga menuturkan bahwa dahulu ada NI Tour and Travel yang menyediakan paket perjalanan Java Bali Overland.
"Tahun itu, orang-orang Bali dalam kondisi yang apa adanya. Jadi suvenir yang paling menarik dari Bali adalah foto, di mana orang Bali dulu bertelanjang dada," kata Asep.
Asep menambahkan, bahwa di masa lampau, oleh-oleh bisa hanya berbentuk kartu pos sebelum teknologi berkembang pesat seperti sekarang. Kartu pos kemudian makin berkembang, terutama sejak ada teknologi foto yang dimulai pada tahun 1850 dan setelah itu menjadi oleh-oleh yang dikenal secara umum oleh wisatawan.
Kemudian, setelah mulai ada teknologi gerabah yang lebih modern, masyarakat bisa membuat wujud tiga dimensi makin kuat serta mampu menampilkan warna colorful, bentuk oleh-oleh mulai berubah dan berkembang.
ADVERTISEMENT
"Awal abad ke-20, tapi masih kartu pos. Belakangan kalau saya lihat dari data buku-buku yang ada, terutama industri kreatif, dengan munculnya asbak dan lain sebagainya, setelah kita merdekalah baru mulai tren dijadikan oleh-oleh beneran," cerita Asep.
Jadi Citra Daerah
Tak hanya sekadar buah tangan, nyatanya oleh-oleh juga mewakili citra sebuah daerah. Jika oleh-oleh di daerah tersebut unik dan berbeda, maka daerah itu akan semakin lebih berbekas di hati juga ingatan wisatawan.
Inilah alasan mengapa akhirnya oleh-oleh menjadi sangat penting dan menjadi penanda sebuah kota. Saking pentingnya, bahkan ada negara yang bertengkar karena oleh-oleh.
Masalah ini pernah terjadi antara Turki dan Iran yang bertengkar karena memperebutkan masalah karpet. Kedua negara itu sama-sama mengklaim bahwa karpet adalah oleh-oleh khas negaranya.
ADVERTISEMENT
"Sebuah kota atau negara bahkan mungkin bisa bertengkar karena oleh-oleh. Karena oleh-oleh ini kan identik, ya," ujar Iman.
Bahkan menurut Iman, sebuah kota itu akan menjadi daerah yang 'kering' jika tidak ada sebuah oleh-oleh di dalamnya. "Kota tanpa oleh-oleh itu monstrosity namanya, atau kota yang kering. Peradabannya harus dengan oleh-oleh, bukannya kamu kalau pergi ke sebuah kota pasti mencari oleh-olehnya bukan?” ujar Iman.
Misalnya saja kalau kamu datang ke kota Bogor, kamu pasti tau bahwa kota hujan tersebut terkenal dengan talas Bogornya, meski kebunnya sudah enggak ada lagi. Lalu, Tauco pasti itu di Cianjur.
Atau di Rangkasbitung yang terkenal dengan gula aren atau brown sugar. Gula aren adalah citra keindonesiaan dan itu tidak ada di seluruh dunia karena pohon arennya hanya tumbuh didaerah panas di indonesia. Itu hebatnya indonesia, kita punya 17 ribu pulau, bukan hanya oleh-oleh kainnya yang khas, baju yang khas, makanannya yang khas, begitu juga sapaannya.
ADVERTISEMENT
Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa Jakarta seolah menjadi kota yang ‘kering’? “Kenapa Jakarta kering, karena tidak ada oleh-olehnya,” pungkas Iman.
Apa oleh-oleh khas daerahmu?
Story mengenai oleh-oleh bikin repot bisa disimak di konten spesial kumparan: Oleh-oleh bikin repot .