Cerita Cinta Butet Manurung pada Rimba

3 Februari 2019 13:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Konten spesial cinta tertambat di Khatulistiwa. Foto: Dok.Sokola Rimba
zoom-in-whitePerbesar
Konten spesial cinta tertambat di Khatulistiwa. Foto: Dok.Sokola Rimba
ADVERTISEMENT
Kecintaan seseorang terhadap sesuatu bisa membawa kepada sebuah profesi dan jalan hidup yang menjanjikan. Bila ditekuni dengan baik, kecintaan pun akan membuahkan prestasi gemilang yang bisa membawa banyak manfaat bagi masyarakat. Hal ini jugalah yang dialami oleh Saur Marlina Manurung yang lebih dikenal sebagai Butet Manurung. Kecintaannya akan alam dan hobinya menjelajah hutan di Indonesia, membuatnya kini menjadi pelopor pendidikan lewat Sokola Rimba. Ya, Butet dikenal sebagai pelopor di balik berdirinya sekolah untuk anak-anak suku terasing di 16 titik pelosok Indonesia. Keberhasilan Butet mengenalkan anak-anak Suku Rimba pada kegiatan menulis, menghitung, dan membaca itu berawal dari mimpinya yang sederhana, yaitu menjauh dari tuntutan bekerja di balik meja kantor. Tak hanya itu, mimpinya ingin menjadi seorang petualang dan bekerja di hutan juga membuat dirinya akhirnya mengambil jurusan Antropologi di Universitas Padjajaran, Bandung. "Saya berharap bisa bekerja sesuai dengan hobi saya. Banyak orang yang bekerja kantoran tapi tidak ingin ada di kantor. Tetapi saya tidak mau seperti itu. Saya tidak mau bekerja yang tidak sesuai dengan hobi," terang Butet, ketika berbicara dengan kumparanTRAVEL melalui sambungan telepon, Selasa (22/1).
Butet Manurung (kedua dari kiri) bersama anak-anak Sokola Rimba. Foto: Dok.Sokola Rimba
ADVERTISEMENT
Hobi ini jugalah yang akhirnya membuat Butet ikut dalam kegiatan pecinta alam saat berada di bangku kuliah. Ia sering berpetualang ke gunung, arung jeram, hingga hutan-hutan di Indonesia agar terus bisa menyalurkan hobinya. Akhirnya, semesta mendukung hobi Butet yang dimiliki sejak kecil ini. Ketika lulus kuliah, perempuan 46 tahun itu mendapatkan pekerjaan yang berhubungan dengan alam, yaitu menjadi seorang pemandu wisata di sebuah taman nasional. Namun, dia hanya menjalani pekerjaan itu selama dua minggu. Ibu dua anak ini kemudian tanpa sengaja melihat lowongan iklan di koran yang mencari fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi.
Butet Manurung (kedua dari kanan) berfoto bersama anak-anak Sokola Rimba. Foto: Dok.Sokola Rimba
Jiwa alamnya yang kembali memanggil membuat Butet merasa tergerak untuk melamar pekerjaan ini. Lagi-lagi, hobi menjelajah dan berpetualang membawa Butet memulai kembali kontribusinya pada alam. "Saya merasa kalau di alam saja enggak cukup, saya harus melakukan sesuatu yang bernuansa petualangan, tapi ada perjuangannya, ada aktivitasnya. Saya baru menemukan jati diri lebih sempurna lagi di situ," cerita Butet. "Saya saat ini masih terbawa syndrom super hero yang dimiliki anak kecil, seperti saya harus bisa melakukan sesuatu untuk mereka. Saya juga pengin hutan, alam bebas tetap bagus dan terjaga, orang yang tinggal di sana tetap senang," lanjutnya.
Butet Manurung saat mengajar di Sokola Rimba Foto: IG: @butet_manurung
Keputusannya untuk melamar posisi itu membuat Butet menemukan surga dunianya. Meski demikian, Butet sempat kecewa saat awal mula datang ke hutan tempat Suku Anak Rimba berada. Hal ini karena hutan yang didatangi tidak sesuai dengan apa yang dibayangkan selama ini. "Ketika sampai di hutan sempat kecewa karena tidak sesuai dengan yang saya bayangkan. Kok, tidak ada hewan liarnya? Kok, banyak pohon tumbang dan banyak lalat?" tutur Butet. Tapi, kekecewaan itu hanya dirasakan Butet beberapa hari saja. Kemudian ia berpikir, jika hutannya baik-baik saja, orangnya baik-baik saja, maka untuk apa dirinya berada di sana. Justru ia merasa harus melakukan sesuatu untuk perubahan yang lebih baik. Langkah Awal yang Tak Selalu Mudah Usahanya untuk mendekati anak-anak Suku Rimba pun tak semudah yang ia bayangkan. Butuh beberapa bulan hingga akhirnya bisa diterima oleh anak-anak Suku Rimba. "Sebenarnya awalnya bukan saya yang mengajar, ada guru lain. Saat itu posisi saya sebagai fasilitator pendidikan, bukan guru. Jadi saya tidak harus mengajar, tapi bisa mendesain berdasarkan penelitianku, tentang kesiapan orang Rimba, tentang seperti apa yang cocok untuk mereka. Tapi aku menemukan kenyataan kalau masyarakat adat di pedalaman tidak mungkin dekat dengan orang yang tidak pernah ketemu. Mereka tidak mau diajar oleh orang yang tidak dikenalnya," papar Butet. Berangkat dari kenyataan ini, Butet pun mulai mengajarkan baca tulis kepada anak-anak Suku Rimba. Butuh waktu sekitar tujuh bulan sejak kedatangannya, hingga akhirnya anak-anak Suku Rimba mau belajar baca tulis.
Butet Manurung bersama anak-anak Sokola Rimba. Foto: Dok.Sokola Rimba
Selama mengajar anak-anak Suku Rimba, Butet tidak menggunakan metode pembelajaran seperti di sekolah pada umumnya. Ia sengaja memadukan konsep bermain sambil belajar, sehingga anak-anak Rimba tidak merasa seperti sedang bersekolah. "Cara sekolah Suku Rimba dan anak-anak perkotaan kan beda, jadi pendekatannya juga beda. Saya bawa buku, papan, lalu mengenalkan mereka pada abjad, angka, serta mengajarkan mereka berkomunikasi ke orang asing agar bisa mandiri," terang Butet. Jika orang-orang Suku Rimba bisa membaca dan menulis, maka harapannya saat mereka bertemu dengan orang yang ingin mengambil lahan, bisa mengeluarkan kitab hukum. Begitu pun saat ke pasar, mereka bisa menghitung berapa jumlah yang harus dibayar penjual ketika mereka menjual barang hasil taninya.
Butet Manurung mendapatkan penghargaan RMA dari Presiden Filipa. Foto: Dok. RMAF
Perjuangan-perjuangan itu yang akhirnya membuat Butet dan beberapa orang sahabatnya akhirnya mendirikan Sokola Rimba. Kini, Sokola Rimba yang didirikan oleh Butet Manurung telah menjangkau pelosok Indonesia lainnya, seperti Flores, Aceh, Yogyakarta, Halmahera, Bulukumba, Pulau Besar, Klaten, Sumba, Makassar, dan Gunung Egon. Bahkan, atas dasar perjuangannya meningkatkan pendidikan bagi masyarakat di pelosok Indonesia, Butet juga mendapat banyak penghargaan. Misalnya pada 2004 lalu, Majalah Time Asia menyebutnya sebagai salah satu Pahlawan Asia. Ia juga memperoleh penghargaan seperti Young Global Leader oleh Forum Ekonomi Dunia, Social Entrepreneur of the Year oleh Ernst and Young, dan Ramon Magsaysay Award. Kontribusi yang Tepat, Seperti Apa? Kini, setelah hampir 20 tahun Sokola Rimba berdiri, Butet berharap agar anak muda turut menyumbangkan kontribusi mereka untuk alam Indonesia. Namun, Butet juga berpesan agar anak muda sekarang tak hanya sekadar traveling dan menyumbangkan sesuatu yang sebenarnya tidak tepat bagi para Anak Rimba. "Saya paling tidak suka anak muda yang traveling tapi sok tahu. Maksudnya saat kita datang ke suatu tempat, kemudian di detik pertama kita langsung menerjemahkan pengalaman kasat mata dengan bergumam, 'kasihan', 'liar', 'miskin', 'bodoh', 'kotor', dan sebagainya, sebenarnya kita sedang melakukan kejahatan. Hal ini seolah kita 'lebih bahagia', 'beradab', 'kaya', 'pintar'. Berlaku juga ketika kita datang dengan niat membantu," tutur Butet.
Butet Manurung (kanan) bersama anak-anak rimba. Foto: Dok.Sokola Rimba
ADVERTISEMENT
Setulus apapun bantuan kita, tapi jika kita belum tahu betul situasinya sebenarnya di lapangan, maka akan kurang efektif. "Jika sebuah program atau bantuan didasarkan pada persepsi sepihak, yang terjadi adalah penaklukan karena kita memaksakan kepada mereka untuk memakai ukuran-ukuran kita," lanjutnya. Sebagai contoh, Butet bercerita bahwa di Jambi ia melihat bagaimana rumah-rumah bantuan untuk Orang Rimba ditinggalkan. Bahkan atapnya dijual dan dinding kayunya dijadikan kayu bakar. "Mengapa proyek-proyek itu sering gagal? Karena si pembawa program sudah gagal memahami sejak awal. Tragisnya, setelah gagal, yang sering disalahkan adalah komunitas. Mereka menganggap komunikas itu boros, malas, dan tidak bisa menabung. Jadi, jangan jadi traveler atau orang yang sok tahu terhadap suku pedalaman," pungkas Butet. Jadi, sudahkah kita memberi kontribusi pada alam Indonesia?
ADVERTISEMENT
Simak kisah menarik dan ulasan lengkap konten spesial kumparan dengan follow topik Cinta Tertambat di Khatulistiwa.