Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
“Minta oleh-oleh melulu. Dasar, tuman!” Mungkin itulah kalimat yang ingin keluar dari mulutmu, tapi tertahan karena norma yang berlaku dalam masyarakat. Apalagi jika yang meminta oleh-oleh adalah orang yang lebih tua dari kamu atau yang memiliki jabatan lebih tinggi di atasmu.
ADVERTISEMENT
Oleh-oleh memang bisa jadi ‘jebakan’ tersendiri. Bagai buah simalakama, oleh-oleh bisa mendekatkan atau merenggangkan hubungan antara satu orang dengan yang lain hanya karena tidak dibawa.
Kadang bisa pula bikin bokek, apalagi kalau jumlah orang yang mesti diberi banyak atau lebih dari tiga. Bukannya jadi untung karena punya pengalaman traveling, kamu bisa saja jadi buntung karena biaya bagasi yang bertambah atau anggaran jajan yang berkurang karena digunakan untuk oleh-oleh.
Seakan tak peduli itinerary, kemampuan anggaran, atau waktu yang akan dihabiskan untuk perjalanan, tetap saja kalimat “Jangan lupa bawa oleh-oleh” kian menggema di telinga. Parahnya, terkadang ada yang bukan cuma sekadar bergurau, tapi meminta secara spesifik, lengkap dengan jumlahnya.
Beli bakpia merek A rasa gudeg di Jalan ABC, 3 kotak, dan bakpia rasa burger di Jalan DEF, 4 kotak, atau mau beli baju warna biru navy bercorak mangkok ayam, ayamnya mesti warna merah, ukurannya L tapi yang lingkar dadanya lebih sempit dan lengannya panjang.
ADVERTISEMENT
Permintaan ‘oleh-oleh’ macam ini bukan cuma menghabiskan uang yang dimiliki traveler karena jumlahnya yang banyak, tapi juga merepotkan. Membuat mereka kehabisan waktu, terutama jika barang yang kamu minta bukanlah produk umum yang mudah ditemukan di mana saja, ditambah lagi dengan ‘ketentuan-ketentuan’ khusus.
Sungguh terlalu. Mending kalau diberikan uang di muka atau diganti setelah barang sampai, gimana kalau uang tidak diganti karena dianggap hanyalah ‘oleh-oleh’? Tentu bikin murka dan miskin mendadak. Di luar itu semua, pernah enggak kamu berpikir mengapa orang Indonesia sangat senang minta oleh-oleh?
Menurut Prof. Dr. Agus Aris Munandar yang merupakan dosen Arkeologi di Universitas Indonesia, permintaan untuk membawa oleh-oleh biasanya terlontar secara tidak sadar. Walau sebenarnya tidak boleh menjadi kebiasaan, oleh-oleh memang kerap diasosiasikan dengan jalan-jalan. Kalau melakukan perjalanan berarti ada oleh-oleh, sehingga jadi tradisi.
ADVERTISEMENT
Sosiolog Triyono Lukmantoro yang juga bekerja sebagai pengajar di Universitas Diponegoro, Semarang, juga mengungkapkan hal yang sama. Karena sudah dilakukan secara terus-menerus, akhirnya meminta oleh-oleh menjadi suatu kebiasaan. Oleh-oleh yang awalnya diberikan secara sukarela kini malah sebaliknya.
Teman, kerabat, atau tetangga terkadang tidak segan untuk meminta oleh-oleh, karena mungkin saja memiliki pemahaman bahwa jika tidak meminta, maka tidak akan diberi.
Kebiasaan yang dijalankan secara terus menerus itu kemudian berkembang jadi sejenis ritual sosial, dan menjadikan aktivitas memberi oleh-oleh sebagai kewajiban, terutama bagi orang yang dianggap mampu secara finansial atau lebih tinggi dari segi status sosial. Tidak membawa oleh-oleh bisa dikenakan sanksi sosial seperti cemooh atau rasa sungkan yang muncul dari diri sendiri.
ADVERTISEMENT
“Ini adalah juga salah satu cara mengakrabkan diri, antara tetangga atau teman. Untuk menunjukkan kedekatan sosial. Kalau kita minta oleh-oleh pada orang lain, kita kan tidak sembarangan, baik dalam bentuk permintaan ataupun pemberian,” katanya saat dihubungi oleh kumparan pada Jumat, (10/5).
Kalau begitu, bagaimana cara terbaik menyikapi permintaan dibawakan oleh-oleh jika sedang traveling? Penulis Indonesia yang kini telah menetap di Arizona, Amerika Serikat, Uly Siregar mengungkapkan bahwa kamu tak perlu terlalu ambil pusing dengan permintaan orang lain. Sebab terkadang permintaan tersebut bisa saja hanya sekadar lontaran tanpa makna atau basa-basi belaka.
“Kalau ada lontaran kayak gitu, terus aku enggak kepengin atau enggak tergerak, ya aku cuekin saja hahaha. Hal yang begitu dianggap enteng sajalah, enggak perlu terlalu serius. Kadang kita orang Indonesia kan memang sekadar basa-basi, ya.”
ADVERTISEMENT
“It’s just the way they chit-chatting, gitu. They don’t really mean it. No, it’s just the way they talk, jadi buatku enggak masalah. Enggak perlu uring-uringan enggak keruan di media sosial. Dipahami aja, menurutku itu kultur yang sudah jadi bagian dari masyarakat. It doesn’t really mean they demand you to bring something,” ungkap ibu dari tiga orang putri ini.
Jadi, Bawa Oleh-oleh atau Enggak?
Membawa oleh-oleh atau tidak sepulang traveling sebenarnya merupakan keputusan pribadi. Apapun pilihanmu sebenarnya tidak menjadi masalah, asalkan kamu tahu dengan pasti risiko atau konsekuensinya. Para ahli yang menjadi rujukan kumparan pun memiliki pendapat yang berbeda. Ada yang merasa bahwa ketika traveling, kamu harus membawa oleh-oleh, namun ada pula yang sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Sejarawan Asep Kambali berada dalam aliran ‘harus membawa oleh-oleh’. Bagi pria yang akrab dipanggil Kang Asep, oleh-oleh bukan hanya jadi bukti perjalanan, tetapi juga bukti adanya perbedaan sejarah dan budaya, serta keunikan yang membedakan satu tempat dengan tempat lainnya.
“Harus. Gini, prinsip dasar terjadi pariwisata karena ada perbedaan sejarah dan budaya. Kalau saya menyebutnya kita dengan yang lain jadi punya karakter, jadi yang disebut karakter itu adalah pembeda. Apalagi sekarang sudah modern, yang namanya oleh-oleh itu bisa jadi enggak mengeluarkan uang sepeserpun.”
“Apa oleh-olehnya? Foto atau bikin video di depan landmark atau ikon tertentu itu sudah bisa disebut sebagai oleh-oleh untuk diri kita, bahkan itu bisa di-share untuk orang lain dalam bentuk postingan kita,” tutur Asep.
Sedangkan menurut Prof. Dr. Agus Aris Munandar, ia termasuk pada golongan orang-orang yang tidak suka meminta dibawakan oleh-oleh. Kalaupun sedang traveling, ia hanya akan membelikan oleh-oleh untuk keluarganya saja.
ADVERTISEMENT
“Jangan meminta oleh-oleh! Jangan suka ngomong, 'eh, beliin gue ya, gantungan kunci aja, kamu, kan mau ke A,' enggak boleh itu. Itu, kan, memberatkan. Walaupun dia ngomong, ‘Iya, Insha Allah, itu sudah memberatkan buat yang akan pergi. Ada juga tradisi menolak, enggak ah, ngerepotin,” ungkapnya.
Sementara Uly Siregar menyempatkan diri membeli oleh-oleh kecil berupa cokelat saat hendak mudik ke Indonesia, atau membawakan titipan teman-teman apabila permintaannya tidak terlalu sulit dan menyita waktu. Sebab ia biasanya akan mengumumkan kepulangannya pada teman atau sanak saudara di media sosial.
“Aku misalnya nyempetin ke Costco (nama toko) yang jual macam-macam cokelat itu, lho. Ada M&M, Twix, Milky Way, yang kecil-kecil gitu. Apalagi aku tinggal di luar negeri bukan cuma jalan-jalan, kan. Biasanya aku selalu sempetin bawa, jadi kalau pulang, 'eh ini ada cokelat' gitu. Lagian kalau memang bisa, kenapa engga? It will make people happy.”
ADVERTISEMENT
Jadi, kamu masuk kelompok yang mana? Bawa oleh-oleh atau tidak?
Story mengenai oleh-oleh bikin repot bisa disimak di konten spesial kumparan: Oleh-oleh bikin repot .