Mengenal Mangngaro, Tradisi Unik Membungkus Ulang Jenazah Leluhur di Mamasa

18 September 2022 8:07 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kerabat berkumpul di dekat jenazah di tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
zoom-in-whitePerbesar
Kerabat berkumpul di dekat jenazah di tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
ADVERTISEMENT
Setiap daerah di Indonesia memiliki tradisi atau ritual pemakaman unik yang masih dilakukan hingga saat ini. Tradisi tersebut dijalani sebagai bentuk tanda kasih kepada mereka yang telah berpulang.
ADVERTISEMENT
Di Toraja misalnya, Rambu Solo bukanlah satu-satunya ritual pemakaman unik yang digelar untuk mereka yang sudah meninggal.
Kerabat menangis di atas jenazah yang dikumpulkan di tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
Traveler juga bisa tradisi unik yang tak kalah unik lainnya, yakni Mangngaro yang biasa digelar masyarakat Mamasa di Kecamatan Nosu, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.
Sama seperti Rambu Solo, Mangngaro juga digelar sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang sudah berpulang.
Bedanya, kalau Rambu Solo adalah upacara pemakaman yang mewajibkan keluarga almarhum membuat sebuah pesta sebagi tanda penghormatan terakhir, mangngaro adalah tradisi mengganti kain pembungkus yang telah usang pada orang yang telah lama meninggal.

Ritual Pemakaman untuk Hormati Leluhur

Warga mengeluarkan jenazah dari kuburan 'Liang' untuk ritual Mangngaro di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
Mangngaro berasal dari dua kata yaitu 'mang' yang berarti sesuatu tindakan atau pekerjaan, dan "aro" yang artinya keluar, yang berarti sedang mengeluarkan.
ADVERTISEMENT
Sekilas, ritual ini mirip dengan ma'nene di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang masih berbatasan dengan Mamasa.
Hanya saja, dalam tradisi mangngaro, pakaian jenazah tidak diganti. Namun, menambahkan balutan tambahan hingga membentuk buntalan menyerupai guling raksasa.
Sejumlah warga mengarak jenazah melewati pematang sawah menuju tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
Warga Kecamatan Nosu akan mengeluarkan jenazah leluhurnya dari liang yang berbentuk seperti lumbung (alang), mengaraknya menuju tenda (lattang) di hamparan tanah datar, membungkus ulang jenazah, dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam alang-alang atau lokko (goa tanah).
Dilansir dari jurnal ilmiah "Tradisi Mangngaro: Bentuk Kasih Kepada Orang Yang Sudah Meninggal di Kecamatan Nosu", tradisi pemakaman unik ini dilakukan dengan beberapa prosesi.

Prosesi Tradisi Mangngaro

Sebelum upacara dilakukan, maka terlebih dahulu diadakan pertemuan oleh seluruh anggota keluarga dan kerabat terdekat dari orang yang akan di-aro-kan.
ADVERTISEMENT
Pertemuan yang dilakukan secara musyawarah ini untuk membicarakan hal-hal mengenai upacara mangngaro, seperti waktu dan tempat pelaksanaan upacara.
Kerabat pengantar jenazah melewati pematang sawah menuju tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
Bukan hanya itu, acara mangngaro dapat dilaksanakan jika ada yang diatasnamakan (pambawa lattang), yaitu orang yang dipelima (orang yang pada saat mati disembelihkan 9 ekor kerbau) atau orang yang dipandan (disembelihkan 16-25 ekor kerbau).
Selain itu, para keluarga juga melakukan ziarah kubur (meollong) terlebih dahulu. Biasanya orang yang akan di Aro sudah meninggal selama dua tahun ke atas, bahkan ada yang sampai lima tahun ke atas dengan pertimbangan keluarga bungkusnya masih bagus.
Prosesinya dimulai dengan anggota keluarga dan kerabat almarhum berjalan beriringan menuju kuburan, di mana kaum perempuan menggunakan pakaian adat berwarna hitam.
Sejumlah warga mengarak jenazah melewati pematang sawah menuju tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
Setibanya di kuburan, jenazah leluhur lalu dikeluarkan dari liang dan diarak ke suatu tempat di mana para kerabat perempuan menunggu.
ADVERTISEMENT
Setelah jenazah leluhur terkumpul, para keluarga lalu melakukan arak-arakan melintasi pematang sawah menuju tenda atau lattang yang sudah disediakan sebagai tempat persemayaman. Arak-arakan menuju tenda persemayaman ini dikenal dengan ma'titting.
Sejumlah warga mengarak jenazah melewati pematang sawah menuju tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
Dalam prosesi ini, para perempuan berpakaian adat berwarna hitam berjalan paling depan sambil membentangkan kain merah, diikuti barisan anggota keluarga yang membawa buntalan-buntalan kain yang berisi jenazah.
Selanjutnya, jenazah para leluhur kemudian disemayamkan di bawah tenda yang sudah disiapkan di area persawahan (ratte) selama satu malam, untuk dilakukan proses pembungkusan ulang jenazah.
Kerabat menangis di atas jenazah yang dikumpulkan di tenda di Nosu, Mamasa, Sulawesi Barat. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Tado
Menariknya, warna bungkus luar orang meninggal tersebut tidak menggunakan asal warna. Warna yang digunakan disesuaikan dengan jumlah kerbau yang disembelih pada saat orang tersebut meninggal.
Salah satunya yaitu warna merah, yang hanya boleh digunakan oleh orang yang dipelima atau orang yang dipandan (dibaba).
ADVERTISEMENT
Di malam hari, sembari membungkus ulang jenazah, para laki-laki di luar tenda melakukan ritual ma'badong, sementara para perempuan di dalam tenda melakukan ritual ma'sailo.
Kemudian keesokan harinya, tradisi mangngaro dilanjutkan dengan penyembelihan hewan ternak, seperti kerbau ataupun babi.
Anggota keluarga melakukan persembahan kepada jenazah sebelum diarak kembali ke alang-alang atau lokko (liang tempat menyimpan jenazah). Setelah itu, acara tersebut pun dianggap telah selesai.
Mangngaro atau memperbaiki bungkus orang meninggal merupakan suatu tanda kasih atau mengasihi anggota keluarga yang sudah meninggal.
Tradisi ini juga sebagai tanda bahwa keluarga yang masih hidup tidak melupakan anggota keluarganya yang sudah meninggal.