Mengenal Perang Tipat, Tradisi Unik Masyarakat Adat Kapal, Bali

2 Januari 2019 9:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perang Tipat di Desa Adat Kapal, Bali. (Foto: Youtube/@Cocet90)
zoom-in-whitePerbesar
Perang Tipat di Desa Adat Kapal, Bali. (Foto: Youtube/@Cocet90)
ADVERTISEMENT
Kamu pasti pernah mendengar larangan dari orang tua untuk tidak melempari makanan, karena dianggap tidak sopan. Tapi ada yang berbeda dengan penduduk Desa Adat Kapal di Badung, Bali.
ADVERTISEMENT
Mereka melempari satu sama lain dengan makanan, atau lebih tepatnya dengan ketupat. Ya, kamu tidak salah baca, ketupat atau yang dikenal masyarakat Desa Adat Kapal sebagai tipat, digunakan sebagai 'senjata perang' dalam tradisi Siat Tipat atau yang dikenal pula dengan Tabuh Rah Pengangon.
Dalam tradisi Siat Tipat, warga Desa Adat Kapal akan dibagi menjadi dua kelompok di bagian utara dan selatan. Kedua kelompok itu nantinya akan saling melempar ketupat dan kue bantal nasi satu sama lain, seperti sedang perang.
Karena itu juga Siat Tipat dijuluki sebagai Perang Ketupat atau Perang Tipat. Dilakukan di halaman pura, tradisi Perang Tipat kabarnya telah ada sejak 1970-an.
Meski terlihat riuh dan anarkis, Perang Tipat sebenarnya adalah tradisi turun-temurun untuk mewujudkan rasa syukur masyarakat Desa Adat Kapal kepada Tuhan. Selain melibatkan ketupat, Perang Tipat juga menggunakan kue bantal nasi (lepet) atau ketupat yang terbuat dari beras ketan.
ADVERTISEMENT
Penduduk Desa Adat Kapal meyakini bahwa kue bantal nasi merupakan simbol purusa atau laki-laki. Sedangkan tipat menyimbolkan unsur pradana atau perempuan.
Benturan yang terjadi di udara saat prosesi perang ketupat dipercaya penduduk setempat sebagai proses alam dari dua unsur berbeda yang menghasilkan kehidupan. Untuk mengikuti tradisi perang ketupat, setiap keluarga wajib membuat enam kue bantal dan enam tipat sebagai 'peralatan perang'.
Tidak ada aturan baku yang mesti diikuti untuk melakukan tradisi Perang Tipat. Seluruh peserta bebas melemparkan ketupat ke arah mana pun, dan pada siapa saja yang berada di kubu lawan. Namun, biasanya para peserta pria yang mengikuti Perang Tipat tidak akan menggunakan baju atasan, dan lebih memilih bertelanjang dada.
ADVERTISEMENT
Sebelum tradisi Perang Tipat dimulai, penduduk Desa Adat Kapal akan bersembahyang terlebih dahulu bersama keluarga di pura setempat. Ibadah tersebut akan dipandu oleh pemuka agama yang bertugas.
Setelah sembahyang bersama, pemuka agama akan memercikkan air suci pada warga. Sehingga nantinya Perang Tipat akan berlangsung dengan lancar tanpa hambatan.
Selama kurang lebih 30 menit, para warga akan mengekspresikan rasa syukur mereka dengan saling melempari satu sama lain dengan tipat dan kue bantalnya. Mereka percaya bahwa dengan melakuan Perang Tipat, kesejahteraan akan hadir menyertai mereka dan keluarga.
Nantinya setelah Perang Tipat berakhir, warga Desa Adat Kapal akan mengumpulkan ketupat yang tersisa untuk dimakan bersama dengan keluarga. Sehingga bisa memberikan keberuntungan di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Menarik, ya. Jika kamu beruntung, kamu bisa menikmati serunya tradisi Perang Tipat saat berada di Bali. Berminat?