Mengerikan, Dulu Orang Eropa Makan Sisa Tubuh Mayat Manusia untuk Pengobatan

20 Mei 2022 7:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi obat-obatan yang harus dibawa ketika traveling. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi obat-obatan yang harus dibawa ketika traveling. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Seorang dosen bahasa Inggris di University of New England, Australia, Noble, membuat penemuan yang mungkin bisa mengejutkan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Dirinya menemukan dalam buku "Love's Alchemy" karya Donne, "Othello" karya Shakespeare, dan Edmund Spenser "The Faerie Queene", bahwa mayat manusia diawetkan dan menjadi bahan untuk pengobatan.
Dilansir Smithsonian Magazine, Noble memiliki buku yang berjudul Medicinal Cannibalism in Early Modern English Literature and Culture, dan satunya lagi ia tulis bersama Richard Sugg dari Universitas Durham Inggris, berjudul Mummies, Cannibals and Vampires: The History of Corpse Medicine from the Renaissance to the Victorians.
Dalam buku tersebut, mengungkapkan bahwa pada abad ke-16 dan ke-17 banyak orang Eropa, termasuk bangsawan, pendeta, dan ilmuwan mengkonsumsi obat yang mengandung tulang, darah, dan lemak manusia. Hal ini dilakukan sebagai pengobatan untuk penyakit sakit kepala hingga epilepsi.
Ilustrasi mumi. Foto: National University of San Marcos
Pada awalnya mumi Mesir dihancurkan untuk menjadi tingtur demi menahan pendarahan internal. Tengkorak biasanya menjadi salah satu bahan umum yang diambil dalam bentuk bubuk, untuk menyembuhkan sakit kepala.
ADVERTISEMENT
Thomas Willis, pionir ilmu otak abad ke-17, menyeduh minuman untuk apoplexy atau pendarahan, yang dicampur bubuk tengkorak manusia dan cokelat.
Bukan hanya itu, Raja Charles II dari Inggris menyesap "The King's Drops," tingtur pribadinya, yang mengandung tengkorak manusia dalam alkohol. Bahkan rambut palsu lumut yang tumbuh di atas tengkorak yang terkubur, disebut Usnea, menjadi aditif yang berharga. Bubuknya dipercaya dapat menyembuhkan mimisan dan kemungkinan epilepsi.
Lemak manusia digunakan untuk merawat bagian luar tubuh. Dokter Jerman, misalnya, meresepkan perban yang direndam di dalamnya untuk luka, dan mengoleskan lemak ke kulit dianggap sebagai obat asam urat.
Ilustrasi darah. Foto: Shutterstock
Sementara itu, darah segar manusia dikonsumsi, karena dianggap bisa membangkitkan vitalitas tubuh. Tabib Jerman-Swiss abad ke-16 Paracelsus, percaya bahwa darah baik untuk diminum, dan salah satu pengikutnya bahkan menyarankan untuk mengambil darah dari tubuh yang hidup.
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk orang miskin yang tidak selalu mampu membeli senyawa olahan yang dijual di apotek, dapat memperoleh manfaat dari pengobatan kanibal dengan menunggu saat eksekusi dan membayar dengan murah untuk secangkir kopi yang dicampur darah.
“Itu muncul dari ide-ide homeopati, ini seperti menyembuhkan diri sendiri. Jadi, Anda makan tengkorak yang digiling untuk sakit kepala atau minum darah untuk penyakit darah," kata Noble.
Alasan lainnya adalah karena sisa tubuh manusia dianggap kuat, karena mengandung roh yang menghubungkan tubuh dan jiwa. Darah segar dari pria muda dan wanita perawan dianggap yang paling kuat.
Sebuah lukisan menggambarkan dua orang gladiator yang tengah bertarung ditemukan di Pompeii. Foto: Archaeological Park of Pompeii
Orang Roma dulu juga meminum darah gladiator yang terbunuh untuk menyerap vitalitas pria muda yang kuat. Filsuf abad ke-15, Marsilio Ficino, menyarankan minum darah dari lengan anak muda untuk alasan yang sama.
ADVERTISEMENT
Beth A. Conklin, antropolog budaya dan medis di Universitas Vanderbilt, yang telah mempelajari dan menulis tentang kanibalisme di Amerika, mengatakan orang-orang pada zaman itu tahu bahwa obat mayat dibuat dari sisa-sisa manusia.
Conklin juga menemukan perbedaan mencolok antara obat mayat Eropa dan kanibalisme dunia baru yang telah dipelajarinya. Dalam proses Eropa, ini sebagian besar terhapus dan dibuat tidak relevan. Manusia direduksi menjadi materi biologis sederhana yang setara dengan jenis obat komoditas lainnya.
Namun, seiring kemajuan ilmu pengetahuan, pengobatan kanibal pun punah. Praktik ini mulai punah pada abad ke-18, di waktu yang sama saat orang Eropa mulai makan menggunakan garpu dan sabun untuk mandi.