Menpar: Sumber Devisa Kini dari Pariwisata dan Nonpariwisata

17 Mei 2019 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
com-Menpar Arief Yahya Foto: Dok. Kementerian Pariwisata
zoom-in-whitePerbesar
com-Menpar Arief Yahya Foto: Dok. Kementerian Pariwisata
ADVERTISEMENT
Rencana pemerintah untuk memajukan dan menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber devisa nampaknya bukan lagi mimpi. Pasalnya, sedikit demi sedikit angan-angan itu menjadi kenyataan.
ADVERTISEMENT
Menurut keterangan resmi yang diterima kumparan, Menteri Pariwisata Arief Yahya, memproyeksikan devisa dari sektor pariwisata Indonesia akan menembus kisaran 17,6 hingga 18 miliar dolar Amerika. Hebatnya nominal ini jauh melampaui Crude Palm Oil (CPO) yang selama ini menjadi penghasil devisa terbesar.
Bila tahun 2019 diperkirakan melampaui CPO, untuk tahun lalu 2018 devisa pariwisata baru menyeimbangkan kelapa sawit atau mencapai 16,1 miliar dolar Amerika. Sedangkan pemasukkan devisa dari sektor batubara tetap stabil atau berada di posisi ketiga.
Pura Lempuyang Luhur di Bali yang menghadap Gunung Agung Foto: Shutter Stock
“Kalau dahulu di era 1980-an ketika migas berjaya, kita menyebut dua sumber terbesar devisa, yaitu migas dan nonmigas, sekarang kita ubah sumber devisa (itu) pariwisata dan nonpariwisata,” kata Arief Yahya.
Walau dari sisi devisa tembus, menteri asal Banyuwangi ini mengakui bahwa angka wisatawan macanegara (wisman) yang masuk tak mencapai target. Dari 20 juta wisman, Arief hanya berhasil mendatangkan 18 juta.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, selama hampir lima tahun dirinya menjabat, Arief berhasil menaikan wisman sebanyak dua kali lipat atau rata-rata di atas 20 persen per tahun.
“Ketika pertama kali saya menjabat menteri pariwisata pada 2015, kunjungan wisman ketika itu sebesar 9 juta, kemudian dalam perjalanan lima tahun melonjak hingga 18 juta atau tumbuh dua kali lipat,” kenang Arief Yahya.
Dan selama lima tahun menahkodai Kementerian Pariwisata, ia bersama pasukannya menjalankan empat program realistis untuk mencapai 18 juta kunjungan wisman, yakni border tourism, hot deal, tourism hub, dan LCC Terminal.
“Dari program border tourism kita proyeksikan akan mendapat 3,4 juta wisman. Bila tahun lalu sebesar 18 persen, diproyeksikan naik menjadi 20 persen dari target wisman tahun ini,” ungkapnya.
Turis asing yang berselancar sambil menggunakan kebaya Bali. Foto: Denita BR Matondang/kumparan
Ia memberikan perbandingan (bencmark) Malaysia yang mampu menjaring wisman dari border tourism sebesar 60 hingga 70 persen. Sedangkan Prancis dan Spanyol di atas 80 persen, karena secara natural wisman Eropa yang berkunjung ke negeri itu adalah wisatawan overland.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk program hot deal (diskon besar-besaran kunjungan wisman di saat low seasons), diharapkan tahun ini mampu menarik 2 juta hingga 2,5 juta wisman.
“Program hot deal tahun lalu mampu menjual 700 ribu pax. Terbesar dari Kepulauan Riau (Kepri) mencapai 20 persen,” ungkapnya.
Sedangkan untuk program tourism hub dilakukan melalui Singapura dan Kuala Lumpur Malaysia. “Program ini sebagai solusi terhadap ‘direct flight’ yang sulit dilakukan dan membutuhkan waktu relatif lama,” jelas menteri 58 tahun itu.
Suasana bandara Changi di Singapura. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Sebagai contoh, untuk menarik kunjungan wisman dari pasar India (tahun lalu memberikan kontribusi sekitar 600 ribu wisman) dengan 'direct flight' dari Mumbai, India, ke Bali hanya melayani 3 kali per minggu. Sedangkan penerbangan dari India ke Singapura atau Kuala Lumpur Malaysia sebanyak 70 kali per minggu.
ADVERTISEMENT
“Kita fokus menggarap program tourism hub dari Singapura dan Kuala Lumpur,” jelasnya.
Untuk mencapai target wisman tahun ini, Menpar Arief Yahya mengatakan bahwa program Low Cost Carrier Terminal (LCCT) yang akan menjadi penentu. Sebab, Kementerian Pariwisata mencatat kunjungan wisman tahun 2017 lebih dari 55 persen menggunakan Full Service Carrier (FSC) dan sisanya memakai Low Cost Carrier (LCC).
Namun, ternyata pertumbuhan FSC rata-rata hanya 12 persen di bawah LCC yang tumbuh rata-rata 21 persen. “Untuk mendorong kunjungan wisman LCC, kita harus memiliki terminal LCC dan program mulai terwujud. Per 1 Mei 2019, Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta resmi menjadi LCCT, jadi kita harapkan akan terjadi lonjakan 1 juta wisman,” pungkasnya.