Ngejot Hingga Ngurek, 5 Tradisi Hari Raya Galungan di Bali

14 April 2021 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tradisi Jempana pada Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Tradisi Jempana pada Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Hari Raya Galungan dan Kuningan 2021 diperingati pada Rabu, 14 April dan Sabtu, 24 April. Hari Galungan adalah hari saat umat Hindu memperingati terciptanya alam semesta jagad raya beserta seluruh isinya.
ADVERTISEMENT
Hari Raya Galungan diadakan setiap 210 hari sekali yang berdasarkan wuku. Berdasarkan kalender Pakuwon, Galungan berlangsung selama 10 hari. Galungan merupakan hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Dalam memeriahkan Hari Raya Galungan, masyarakat Hindu di Bali melangsungkan berbagai tradisi unik sebagai rangkaian Galungan dan Kuningan.
Meski memiliki cara yang berbeda-beda di tiap daerahnya, tradisi Hari Raya Galungan dan Kuningan yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali memiliki tujuan yang kurang lebih sama, yaitu menolak bala, mengucap syukur, dan meminta berkat pada Sang Pencipta.
Tradisi ini juga dapat disaksikan oleh wisatawan. Berikut kumparan rangkum 5 tradisi unik Hari Raya Galungan di Bali.

1. Memasang Penjor

ilustrasi Penjor yang dibuat saar perayaan hari raya Galungan Foto: Shutter stock
Hari Raya Galungan biasanya ditandai dengan adanya penjor atau janur kuning yang dipasang di sepanjang jalan di daerah Bali. Di Bali, ketika Hari Raya Galungan dan Kuningan dirayakan, kamu akan dengan mudah menemukan penjor di setiap sisi jalan dan di depan rumah penduduk setempat.
ADVERTISEMENT
Penjor terbuat dari batang bambu yang dihiasi dengan daun kelapa, padi, dan kotak khusus untuk sesaji yang disebut canang. Sekilas, penjor terlihat seperti janur penanda di acara pernikahan, namun jika diperhatikan dengan seksama, penjor memiliki aksesoris berbeda.
Bagi masyarakat Hindu, penjor memiliki arti bahwa manusia hendaknya selalu melihat ke bawah dan menolong orang lain yang belum beruntung, sama seperti ujung penjor yang melengkung ke bawah.

2. Tradisi Ngejot

Sejumlah perempuan Bali mengusung sesajen dan hiasan janur dalam tradisi Mapeed yaitu rangkaian persembahyangan Hari Raya Galungan, Bali, Rabu (19/2). Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Ngejot merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat Bali dengan memberikan makanan kepada para tetangga sebagai rasa terima kasih. Kata "Ngejot" sendiri merupakan istilah dalam bahasa Bali yang memiliki arti "memberi." Jenis pemberiannya bisa berupa makanan, jajanan, atau buah-buahan.
Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang Galungan sampai pada saat Galungan berlangsung. Tradisi Ngejot dilakukan bertujuan untuk semakin mempererat persaudaraan antar umat Hindu.
ADVERTISEMENT

3. Perang Jempana

Jempana diarak di sepanjang pantai Foto: REUTERS/Agung Parameswara
Setiap perayaan Galungan, umat Hindu di Bali juga melakukan perang Jempana. Dikenal juga sebagai Dewa Masraman, Perang Jempana telah ada sejak tahun 1500.
Perang Jempana biasanya dilakukan setiap 210 hari, tepat pada hari Saniscara Kliwon Kuningan. Saat melakukan tradisi Perang Jempana, masyarakat setempat akan mengusung tandu (jempana) yang berisi sesajen dan simbol Dewata.
Puncak dari tradisi ini adalah Ngambeng Jempana, yaitu atraksi saling dorong antarwarga yang membawa jempana sambil diiringi suara tabuhan gong baleganjur.
Para warga yang terlibat biasanya sudah berada dalam kondisi tidak sadar. Begitu Ngambeng Jempana berakhir, pemangku agama akan memercikkan air suci.
Kemudian, para dewa yang dilambangkan dengan uang kepeng dan benang tridatu dikeluarkan dari jempana, serta kembali ditempatkan ke dalam Pura.
ADVERTISEMENT

4. Ngurek

Tradisi Ngurek saat Hari Raya Galungan dan Kuningan di Bali Foto: Dok. Wikimedia Commons
Mirip dengan atraksi debus, tradisi Ngurek juga menggunakan senjata tajam untuk melukai diri ketika partisipan berada dalam kondisi kerasukan. Dilaksanakan hampir di setiap daerah di Bali, tradisi Ngurek yang juga dikenal sebagai Ngunying dipercaya sebagai manifestasi pengabdian pada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa).
Berasal dari kata 'Urek', Ngurek dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai melubangi atau menusuk. Biasanya orang-orang yang melakukan tradisi Ngurek akan menusuk dirinya dengan senjata tajam, seperti keris, tombak, dan pisau.
Tapi uniknya, ia tidak akan merasa kesakitan, karena telah diberi kekuatan oleh roh-roh para leluhur. Jangankan berdarah, meski telah ditancapkan berulang-ulang dengan kuat, mereka yang kerasukan roh tersebut bahkan tidak akan tergores sedikit pun.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Ngurek tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Sebab, salah satu syaratnya tidak boleh ujub atau sombong.
Tidak ada yang tahu kapan Ngurek mulai dilaksanakan, tapi konon, tradisi ini hadir pada zaman kejayaan kerajaan. Saat raja ingin membuat pesta syukuran pada Sang Pencipta sekaligus menyenangkan hati para prajurit.

5. Ngelawang Barong

Ilustrasi Barong Foto: Wikimedia Commons
Memperingati Hari Raya Galungan dan Kuningan, anak-anak kecil yang berdomisili di Bali umumnya melakukan tradisi Ngelawang Barong. Masyarakat Hindu di Bali percaya melalui Ngelawang Barong dapat menolak bala, mengusir roh jahat, dan melindungi masyarakat dari wabah penyakit.
Berasal dari kata 'Lawang' yang berarti pintu, Ngelawang dilakukan dengan mengarak barong bangkung dari rumah ke rumah sambil diiringi suara gamelan. Dilansir dari berbagai sumber, kabarnya menurut kepercayaan Hindu, Barong adalah lambang perwujudan Sang Banas Pati Raja yang melindungi manusia dari bahaya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan tradisi Ngelawang Barong berasal dari mitologi Dewi Ulun Danu yang berubah jadi raksasa yang membantu penduduk desa mengalahkan roh jahat. Dahulu, karena dianggap sebagai ritual yang sakral, apabila bulu barong tercecer, maka warga akan memungutnya dan menjadikannya sebagai benda bertuah.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona).