PHRI Jakarta Ungkap Okupansi Hotel di 2021: Lumayan, tapi Tidak Ada Peningkatan

19 Januari 2022 18:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cek suhu sebelum memasuki area hotel. Foto: Kemenparekraf
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cek suhu sebelum memasuki area hotel. Foto: Kemenparekraf
ADVERTISEMENT
Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono, mengungkap okupansi (tingkat keterisian) hotel di Indonesia. Menurutnya, okupansi hotel di tahun 2021 sudah lebih baik jika dibandingkan periode-periode sebelumnya, khususnya di awal pandemi.
ADVERTISEMENT
"Kalau bicara target, ya, enggaklah. Target (okupansi) enggak. Kalau hotel-hotel yang dipakai repatriasi mungkin okupansinya lumayan. Tetapi yang tidak (repatriasi) itu masih jauh. Hotel-hotel non-bintang atau bintang 1 masih jauh atau tidak ada (okupansinya). Sebelumnya tidak ada peningkatan signifikan, tapi dibanding sebelum (pandemi), ya, sudah lumayan," ungkap Sutrisno, saat konferensi pers virtual Rakerda II Tahun 2022 BPD PHRI DKI Jakarta, Rabu (19/1).
Ilustrasi kamar hotel mewah. Foto: Shutterstock
Sutrisno pun mencontohkan, jelang pergantian tahun 2021 lalu misalnya. Hotel-hotel hanya penuh saat itu saja, dan sebelumnya masih stagnan alias tidak berubah.
Jika dirata-rata, tingkat okupansi hotel bintang sebelum pandemi sekitar 56 persen, sedangkan non-bintang adalah 35 persen.
"Sekarang non-bintang itu 20 persen. Bintang jangan lihat yang model kelas bintang 5 atau 4, itu rata-rata masih sekitar 40 persen walaupun ada hotel-hotel yang jauh di atas itu. Tapi kalau kita bicara rata-rata sekitar 40 persen lah," tutur Sutrisno.
Ilustrasi tamu hotel di Fairmont Jakarta. Foto: Fairmont Hotel
Oleh karena itu, Sutrisno pun berharap bahwa pandemi bisa segera berakhir dan varian Omicron tidak meluas, serta bisa segera terkendali.
ADVERTISEMENT
"Nah, tahun 2022 ini kita harapkan kondisinya normal. Hotel itu, kan, dari mobilitas penduduk, kalau mobilitas tinggi, itu hotel dan restoran mendapatkan tamu. Tapi kalau dikekang akan kesulitan," ungkapnya.

Okupansi Hotel Tidak Bisa Dijadikan Acuan

Ilustrasi menginap di hotel mewah. Foto: Shutterstock
Di sisi lain, Wakil Ketua Bidang Usaha, Data, dan Teknologi Informasi BPD PHRI DKI Jakarta, Priyanto, mengatakan bahwa tingkat okupansi tidak bisa dijadikan acuan untuk menentukan pulihnya keterisian tamu sebuah hotel. Menurutnya, tingkat hunian itu diikuti dengan average daily date (ADR) atau tingkat kunjungan rata-rata tamu per hari.
"Karena tingkat hunian itu tidak diikuti dengan average daily rate, dan di kita itu sudah drop. Kalaupun okupansi kita naik menjadi 40 persen, dibandingkan rata-rata tahun lalu 30 persen. Kenaikan okupansi itu tidak selaras dengan average daily rate. Bahkan masih jauh. Average daily rate dikatakan 1,1 juta, sekarang itu 50 persen tidak sampai," ujar Priyanto.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita mengunakan tingkat hunian sebagai acuan, kita bisa salah kalkulasi nanti. Karena secara revenue tidak cukup meski tingkat huniannya naik," lanjutnya.
Priyanto pun memberi gambaran secara mudahnya dengan membandingkan jumlah wisatawan yang masuk ke DKI Jakarta sepanjang tahun 2021, lewat pintu Bandara Soekarno Hatta.
"Berdasarkan data yang saya kutip dari BPS, jumlah wisman yang datang itu hanya 102 ribu. Turun dibandingkan 2020, itu masih 400 ribuan, tahun 2019 itu 2 juta sekian. Sehingga bisa dibayangkan jomplangnya pasar perhotelan yang tadinya begitu banyak, kalau dibandingkan dengan 2019 drop-nya hampir 95 persen," tutur Priyanto.
Meski demikian, kondisi pasar perhotelan Indonesia dinilai masih lebih baik dibandingkan negara tetangga lainnya di ASEAN.
"Di satu sisi baiknya, saya mengutip pernyataan pak Ketua Umum (PHRI), Indonesia dianggap baik di tahun ini karena pasar domestiknya mampu menopang, walau average daily-nya lumayan. Kalau dibandingkan negara ASEAN, Indonesia masih baik pasar domestiknya mampu menopang," pungkasnya.
ADVERTISEMENT