PHRI Sebut Work From Bali Tidak Efektif Bantu Tingkatkan Nilai Okupansi Hotel

10 Juni 2021 13:50 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Keindahan Pura Ulun Danu, Bali  Foto: Shutter stock
zoom-in-whitePerbesar
Keindahan Pura Ulun Danu, Bali Foto: Shutter stock
ADVERTISEMENT
Ajakan bekerja dari Pulau Dewata atau Work From Bali (WFB) yang digaungkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, banyak menuai kontra. Skema pariwisata yang menyasar para ASN itu dinilai tidak optimal untuk membantu mendenyutkan kembali industri pariwisata Bali.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, menilai program Work From Bali tidak terlalu efektif membantu okupansi hotel di Pulau Dewata di tengah pandemi COVID-19.
Sebab, Work From Bali bagi para aparatur sipil negara (ASN) tidak cukup kuat untuk membantu keterisian kamar hotel, guna menopang pendapatan agar bisa tetap bertahan di masa pandemi.
Maulana menyebut biasanya keterisian kamar hotel di Bali pada waktu sebelum pandemi didominasi oleh wisatawan mancanegara hingga 70 persen, sementara wisatawan lokal 30 persen.
Ilustrasi kamar hotel mewah Foto: Shutter Stock
Jika dirata-rata keterisian hotel sebanyak 60 persen, berarti kontribusi okupansi hotel dari wisatawan lokal sebagaimana diharapkan dari program Work From Bali hanya mencapai 20 persen.
"Okupansi 20 persen ini bukan angka yang bisa membantu kekuatan, tidak terlalu efektif untuk membantu kekuatan daripada daya tahan. Hotel itu kalau bicara okupansi itu paling tidak sekitar 45 persen ke atas, kalau 20 persen masih terlalu jauh," kata Maulana.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi saat ini pemerintah juga akan menyelenggarakan program serupa dari destinasi wisata lain, seperti Work From Yogyakarta dan Work From Lombok yang dinilai akan membuat program tidak terfokus pada satu destinasi.
Secara otomatis, orang yang bekerja dari destinasi wisata tersebut akan semakin sedikit dan makin tidak efektif karena potensi pendapatan yang makin kecil.
Ilustrasi desa wisata di Bali Foto: Dok. Kemenparekraf
Maulana menegaskan, bahwa PHRI bukan mengkritik program pemerintah tersebut, namun hanya menyatakan kegiatan itu dinilai tidak terlalu efektif jika diperhitungkan secara sistematis berdasarkan data yang ada.
"Bukan tidak bagus, ya, tentu bagus programnya. Tapi kita kalau ditanya efektif atau tidak, tidak efektif kalau bandingkan dengan data," kata Maulana.
Alih-alih menyelenggarakan program bekerja dari destinasi wisata, Maulana menyarankan alangkah lebih baik apabila pemerintah melonggarkan kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Ia juga menilai bahwa matinya industri pariwisata di Indonesia, termasuk yang berdampak pada perhotelan, merupakan dampak dari kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat. Menurutnya, yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melonggarkan pergerakan masyarakat untuk bepergian ke destinasi wisata domestik.
(Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona).