Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Ribuan pasang kaki berjalan beriring. Di antara mereka ada yang mengenakan pakaian putih-putih, mulai dari ikat kepala hingga kaki. Sementara yang lainnya tampak mengenakan ikat kepala berwarna biru dengan pakaian hitam.
ADVERTISEMENT
Tanpa mengeluh mereka berjalan begitu jauhnya. Wajah mereka merona. Bukan karena malu, tapi karena panasnya sinar mentari di kota membuat wajah mereka yang biasa berdiam di gunung ikut memerah.
Tanpa alas kaki, para pria yang dikenal sebagai Urang Kanekes atau masyarakat Baduy itu berjalan bersama-sama. Mereka tak butuh bantuan kendaraan bermotor roda dua apalagi empat.
Di tengah arus modernisasi yang menuntut orang-orang untuk serba cepat, mengandalkan sesuatu yang instan, orang Baduy justru tetap setia bertahan dengan nilai-nilai adat dan tradisinya. Salah satu tradisi Baduy yang menarik perhatian luas wisman dan masyarakat adalah Seba Baduy.
Sebuah tradisi tahunan yang telah bertahan selama ratusan tahun. Dalam bahasa Baduy, “Seba” berarti seserahan. Karenanya, dalam Seba Baduy, Urang Kanekes akan membawa hasil buminya, turun dari gunung untuk diserahkan pada pemerintah setempat atau yang dijuluki sebagai Penggede.
ADVERTISEMENT
Menurut sejarawan Asep Kambali, tradisi Seba merupakan tradisi untuk melindungi kehidupan Urang Kanekes. Karena Urang Kanekes percaya bahwa Seba merupakan ucapan rasa syukur dalam bentuk membagi-bagikan hasil bumi.
“Tradisi-tradisi itu jauh lebih kuat di Baduy Dalam. Tapi, untuk Seba ini, kepercayaan sebagai rasa syukur ini dilakukan oleh Baduy Luar dan Baduy Dalam. Mereka percaya bahwa dengan melakukan Seba, lingkungan mereka akan aman,” kata pria yang akrab disapa Kang Asep, kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Penyerahan hasil bumi pada Penggede, baik Ibu Gede maupun Bapak Gede dilakukan secara langsung oleh Urang Kanekes sambil dipimpin oleh ketua adat atau yang disebut sebagai Puun. Penyerahan dilakukan pada Bupati Lebak yang kemudian dilanjutkan ke Gubernur Banten di Pandeglang.
Lebih dari itu, menurut Plt Kadispar Lebak, Imam, tradisi Seba punya artian yang lebih penting lagi. Selain merupakan warisan leluhur yang wajib dilaksanakan setiap tahun, tradisi Seba memiliki arti bahwa Urang Kanekes mengaku sebagai bagian dari Republik Indonesia.
Penyerahan seserahan ini juga menjadi cara mereka mewujudkan rasa hormat terhadap pimpinan-pimpinan di daerah sekaligus bersilaturahmi. Seserahan yang dibawa pada umumnya adalah hasil pertanian seperti pisang, padi, gula aren, atau palawija.
ADVERTISEMENT
“Kalau musim buah-buahan seperti durian, durian dibawa. Lalu ada pisang, padi, dan lain sebagainya. Tapi yang terpenting dan menjadi inti dari Seba itu selain menyerahkan hasil pertanian, juga biasanya menyampaikan wasiat,” kata Imam.
Seba Baduy Sebagai Festival Pariwisata
Seba Baduy di masa kini tak sekadar jadi tradisi belaka, tapi dijadikan sebagai festival dan atraksi wisata. Ritual wajib yang menjadi tradisi turun-temurun dari nenek moyang Urang Kanekes itu sekarang bertransformasi jadi acara tradisional untuk menarik wisatawan.
Lantas, apakah Orang Baduy sendiri merasa nyaman dengan hal itu? Apalagi mengingat bahwa ada Baduy Dalam yang tak suka didokumentasikan, tidak ingin bersentuhan dengan teknologi atau dunia luar terlalu jauh.
Dalam pembicaraan bersama kumparan, Imam mengakui bahwa masyarakat Baduy sendiri tidak ingin menjadikan tradisi mereka sebagai festival. Namun, pemerintah setempat melihat ada peluang menarik dengan memanfaatkan kearifan lokal, salah satunya tradisi ini sebagai event pariwisata.
ADVERTISEMENT
“Sebetulnya mereka (Baduy) enggak mau dibuat jadi festival, tapi kita yang dari luar, dalam rangka melestarikan adat dan budaya, kita jadikan festival. Kalau mereka tetap ritualnya Seba, Seba Baduy. Dalam artian Seba itu mengirimkan hasil pertanian mereka ke pimpinan, enggak lebih,” ujar Imam.
Imam juga menambahkan bahwa sejak dahulu, Baduy memang dikenal karena kearifan lokalnya. Masyarakat tak pernah mau ‘diperjualbelikan’ atau mematok harga tertentu. Untuk mendapatkan izin agar Seba Baduy bisa dijadikan festival, Bupati Lebak mesti melakukan pendekatan dengan Puun (tokoh adat).
Ketika melakukan pendekatan, Pemda menjelaskan bahwa Seba akan diperkenalkan sebagai tradisi adat budaya tradisional yang masih bertahan di tengah era globalisasi. Bahkan masih ada masyarakat yang mau melestarikan alam dan bahkan memilih menghindari modernisasi.
ADVERTISEMENT
“Kalau kita jelaskan ke Puunnya, misal ke olot-olot (orang-orang yang dituakan), (tradisi Seba) dikemas dan dijual, nanti banyak wisatawan, itu mereka enggak akan mau sebetulnya, gitu. Makanya sampai sekarang mengapa wisatawan mancanegara cuma sampai Baduy Luar, enggak sampai Baduy Dalam, karena itu tidak diperbolehkan, menurut aturan adat,” tambahnya menjelaskan.
Karena Seba Baduy merupakan sebuah tradisi turun-temurun yang tak bisa diganggu gugat, maka mau tidak mau, pemerintah daerah pun mesti ikut dengan ‘aturan mainnya’. Pemerintah setempat tidak bisa menjadwalkan tanggal pasti untuk tradisi Seba sebelum Puun Baduy mendapat wangsit dari para olot.
Hal inilah yang diakui Imam kadang-kadang menimbulkan masalah tersendiri, terutama untuk melakukan promosi. Terlebih karena tradisi Seba Baduy sudah masuk dalam 100 Calendar of Event Kementerian Pariwisata.
ADVERTISEMENT
Sehingga, walaupun pemerintah daerah sudah siap dengan rangkaian aktivitas acaraya, mereka harus menunggu tanggal pasti dari Urang Kanekes. Sebab, Urang Kanekes memiliki metode penanggalan tersendiri yang berbeda dengan kalender Gregorian yang digunakan sehari-hari.
“Nah, Baduy uniknya di situ. Jadi kita, pemerintah, tidak bisa menekan, harus tanggal sekian, bulan ini. Kita justru menunggu wangsit atau menunggu petuah dari Puun, menyampaikan ke pemerintah biasanya berbentuk surat,” ujarnya Imam.
Tahun ini tradisi Seba Baduy diperkirakan akan berlangsung setelah Lebaran. Tradisi tersebut merupakan acara penutup setelah ritual Ngawalu (berpuasa selama tiga bulan) dan Ngaraksa (berbagi hasil bumi pada saudara dan tetangga).
Kamu tertarik melihat langsung tradisi ini?