Benarkah Liburan Memberikan Kebahagiaan?

27 Desember 2017 15:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Travel Burnout (Foto: SplitShire/PIXABAY)
zoom-in-whitePerbesar
Travel Burnout (Foto: SplitShire/PIXABAY)
ADVERTISEMENT
Menjelajahi dunia, siapa yang tidak mau? Menapaki setiap inci keindahan, mencicipi beragam kuliner penggoyang lidah, hingga bertemu dengan persilangan budaya menjadikan aktivitas liburan selalu ditunggu banyak orang.
ADVERTISEMENT
Namun, apakah liburan selalu membuat bahagia?
Sebuah Penelitian di Belanda mengemukakan dampak yang ditimbulkan dari aktivitas liburan dan berapa lama kebahagiaan liburan itu dapat bertahan. Mereka melakukan penelitian terhadap 1.530 orang usia dewasa dengan 974 orang mengambil liburan untuk liburan selama 32 minggu dalam masa percobaan.
Hasil penelitian itu dipublikasikan dalam Journal Applied Research in Quality of Life, yang menunjukkan pendongkrak terbesar kebahagiaan hanya muncul pada masa perencanaan liburan. Dalam studi tersebut, kebahagiaan dalam merencanakan liburan mampu bertahan selama delapan minggu.
Sementara itu, perasaan bahagia setelah liburan dapat cepat turun, jatuh ke tingkat dasar bagi mayoritas responden.
Teman travel (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Teman travel (Foto: Pixabay)
Fakta menarik lainnya, tingkat stres maupun relaksasi yang dirasakan selama berlibur berpengaruh besar terhadap perasaan bahagia selepas liburan. Bagi mereka yang merasa liburannya biasa saja atau penuh tekanan, tidak ditemukan perasaan bahagia yang muncul setelah liburan usai.
ADVERTISEMENT
Anehnya, bahkan mereka yang menggambarkan liburan sebagai aktivitas santai pun tidak menunjukkan adanya lompatan kebahagiaan tambahan setelah liburan.  
"Mereka tidak lebih bahagia daripada orang-orang yang belum berlibur," kata Jeroen Nawijn, Dosen Riset Pariwisata di Breda University of Applied Sciences di Belanda.
Satu-satunya yang mengalami peningkatan kebahagiaan setelah liburan adalah mereka yang mengatakan merasa "sangat santai". Di antara orang-orang itu, efek kebahagiaan liburan berlangsung hanya dalam dua minggu setelah liburan sebelum akhirnya perasaan bahagia itu kembali ke tingkat dasar.
"Liburan memang membuat orang senang," kata Nawijn.
"Tapi kami menemukan orang-orang yang mengantisipasi perjalanan liburan menunjukkan tanda-tanda kebahagiaan meningkat, dan setelah itu hampir tidak ada efeknya," imbuhnya.
com-Online Travel Agent (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Online Travel Agent (Foto: Thinkstock)
Penelitian itu seolah menarik benang merah, salah satu faktor terbesar mengapa liburan sering kali tidak membuat perasaan bahagia adalah kecemasan serta stres saat memikirkan aktivitas kerja setelah liburan. Maka, mereka cenderung tidak menikmati liburannya.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, studi terkait tidak melihat adanya hubungan antara durasi liburan dengan tingkat kebahagiaan yang didapat.
Alih-alih bahagia, kerap kali liburan yang terlalu panjang--dan dalam intensitas yang tinggi--memicu sebuah perasaan yang disebut travel burnout.
com-Travel Vlog (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
com-Travel Vlog (Foto: Thinkstock)
Istilah “burnout” pertama kali dicetuskan pada 1970 oleh psikolog Amerika Serikat, Herbert Freudenberger.
Freudenberger menggunakan terma tersebut untuk menggambarkan tingkat stres berat dan obsesi tinggi dalam profesi pelayanan. Seperti dokter dan perawat yang mengorbankan diri mereka untuk orang lain, sehingga seringkali berdampak kelelahan yang seolah “membakar habis” tenaga, waktu, dan pikiran mereka.
Meski sebetulnya hingga kini belum ada definisi pasti pada istilah “burnout” serta bagaimana mendiagnosisnya, kelelahan itu kemudian berkembang sebagai fenomena gaya hidup yang penuh tekanan sampai membuat kelelahan --fisik dan mental-- bagi yang mengalaminya. Termasuk dalam liburan.
ADVERTISEMENT
Maka, istilah travel burnout muncul sebagai indikasi kelelahan ketika melakukan liburan. Menurut Travel and Leisure, ada banyak penyebab dari travel burnout, seperti liburan dalam kurun waktu lama, mobilitas liburan yang tinggi sehingga sukar menikmati keindahan tempat tujuan, hingga memaksa liburan meski tidak benar-benar menginginkan atau dalam kondisi emosi yang baik.
Sebagai contoh, Chloe Gunning, seorang travel blogger ternama UK, menceritakan travel burnout yang dialaminya melalui “The Dark Side of A Life of Travel” yang dilansir Huffington Post.
Chloe menjadi travel blogger secara full-time sejak tahun 2014. Hingga kini, blog Wanderlust Chloe yang membagikan kisah perjalanan, makanan, gaya hidup, dan berbagai kejadian tak terlupakan itu telah diikuti lebih dari 40.000 di media sosial Instagram danTwitter, serta telah dilihat lebih dari 65.000 kali di Youtube.
ADVERTISEMENT
Menyasar segmen usia 25-34 tahun, Chloe sukses menjadikan blognya masuk dalam jajaran travel blogger dunia dengan sentuhan “kemewahan” perjalanan.
Namun, Chloe mengaku tak semua sisi orang-orang tau tentang menjadi seorang travel blogger yang harus menghabiskan seluruh waktunya untuk memenuhi target liburan non-stop, memenuhi jadwal pertemuan dengan sponsor liburan, dan ketika sampai penginapan ia harus menulis blog hingga mengedit video.
Maka, sebetulnya ia tidak benar-benar ada waktu untuk menikmati liburannya yang dilakukan non-stop selama 2 tahun ini.
Chloe harus menghadapi travel burnout-nya ketika ia melakukan 36 kali penerbangan untuk mengunjungi 15 negara dalam waktu 9 bulan. Satu bulan di Amerika Selatan, dua minggu di Karibia, perjalanan panjang menyusuri California, Swedia, Finlandia, Jerman, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
“Di sela-sela itu, saya harus menjalani rapat online, pertemuan kerja, rencana kampanye, membalas email, menulis blog, sosial media, dan sebagainya,” kata Chloe.
Chloe tidak sendiri, Hey Nadine, seorang travel vlogger juga angkat bicara soal travel burnout yang dialaminya.
“Ini adalah kelelahan yang tidak bisa kamu jelaskan. Rasanya, segala hal di tempat tujuan tidak lagi menarik dan bersosialisasi sepanjang waktu tidak banyak artinya lagi,” kata Nadine.
Berbagai sumber memang menyebutkan, tanda seseorang  mengalami travel burnout adalah ketika sudah tidak lagi bergairah dengan perjalanan yang ia lakukan. Hal yang semula menarik menjadi hambar karena kelelahan yang dirasakan.
Nah, bagaimana mengatasinya?
Huffington Post merangkum beberapa solusi menghadapi burnout saat liburan sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Utamakan kualitas liburan
Travel Blogger (Foto: Roman Bader/PIXABAY)
zoom-in-whitePerbesar
Travel Blogger (Foto: Roman Bader/PIXABAY)
Alih-alih mengejar target tempat kunjungan liburan, utamakan mengunjungi tempat yang kita bisa benar-benar menikmatinya. Lebih baik membatasi tempat tujuan liburan, namun bisa menjelajah lebih dalam.
Lepaskan semua kecemasan dan nikmatilah liburan.
Berbaur dengan lokal
Pelancong Berbaur dengan Masyarakat Lokal (Foto: PIXABAY)
zoom-in-whitePerbesar
Pelancong Berbaur dengan Masyarakat Lokal (Foto: PIXABAY)
Hilangkan identitas sebagai turis. Sebaliknya, jadilah seperti lokal yang menikmati liburanmu tanpa merasa asing. Bisa juga mencoba beragam aktivitas yang biasa dilakukan lokal dan mengenal budaya mereka.
Bergabung komunitas
Travelling Dunia (Foto: Pamjpat/PIXABAY)
zoom-in-whitePerbesar
Travelling Dunia (Foto: Pamjpat/PIXABAY)
Perasaaan lelah dan tertekan seringkali akan berkurang ketika kita membagikannya kepada orang lain. Apalagi jika sesama komunitas yang merasakan hal sama. Bisa dilakukan secara online atau offline untuk saling bercerita, memberi masukan dan semangat.
Istirahat  
Travel Influencer, Harival Zakuya (Foto: Instagram @harivalzayuka)
zoom-in-whitePerbesar
Travel Influencer, Harival Zakuya (Foto: Instagram @harivalzayuka)
Tubuh, pikiran, dan mental kita tetap perlu istirahat sejenak. Kita bisa kembali menjadi “orang normal” lainnya dengan bersantai di rumah, bercengkerama dengan keluarga, bermain dengan kucing atau aktivitas pribadi lainnya.
ADVERTISEMENT
Maka, benar pepatah, segala sesuatu yang berlebihan tidak selalu baik.
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!