3 Faktor yang Menghambat Perempuan untuk Menjadi Lady Boss

4 November 2019 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan karier. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan karier. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Di era modern saat ini, tak dapat dipungkiri bahwa perempuan masih sering dianggap kurang mampu daripada laki-laki.
ADVERTISEMENT
Padahal, pada dasarnya perempuan memiliki kemampuan dan ambisi yang sama dengan laki-laki. Hanya saja, ada banyak tantangan yang harus dihadapi para perempuan untuk bisa mencapai posisi strategis. Bahkan tantangan tersebut membuat mereka menahan diri sehingga tidak berani naik ke posisi-posisi top level.
McKinsey & Company dalam dua surveinya yang bertajuk McKinsey Women Matter dan Unleashing Women Leadership in Indonesia yang dirilis pada 2013 menyatakan bahwa ada faktor-faktor spesifik yang menyebabkan perempuan menahan diri. Beberapa diantaranya adalah infrastruktur dan lingkungan sosial.
Untuk tahu lebih lengkapnya, berikut kumparanWOMAN telah merangkumnya khusus untuk Anda.
Adanya rasa kurang percaya diri
Ilustrasi perempuan di tempat kerja. Foto: Shutter Stock
Kepercayaan diri memang sangat diperlukan dalam berbagai hal. Termasuk dalam mendapatkan karier yang terus meningkat. Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Sebastian Jammer, Associate Partner di McKinsey & Company, laki-laki tetap merasa percaya diri meskipun hanya menguasai kemampuan sebesar 60 persen. Namun berbeda dengan perempuan, jika mereka tidak mengantongi 100 persen kemampuan, perempuan cenderung tidak merasa percaya diri.
ADVERTISEMENT
“Biasanya, perempuan akan banyak mendapatkan pertanyaan yang berbeda dengan laki-laki. Dan hal itu membuat mereka tidak percaya diri. Saya rasa target yang harus kita pelajari adalah memahami bahwa kita akan melewatkan sesuatu jika hanya menilai buku dari sampulnya saja. Sebab perempuan juga memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. Jadi pesannya untuk perempuan-perempuan muda, cobalah untuk selalu percaya diri dan jangan takut untuk mengecewakan diri,” ungkap Sebastian Jammer dalam acara Gojek Xcelerate Batch 2 pada Jumat (1/11).
Perusahaan yang kurang mendukung pekerja perempuan
Ilustrasi wanita karier. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Selain kurangnya rasa percaya diri, faktor penghambat lainnya adalah kurangnya dukungan dari perusahaan atau atasan. Hasil survei dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa di Indonesia masih banyak perusahaan yang kurang mendukung pekerja perempuannya dan begitu juga sebaliknya, perempuan merasa kurang didukung oleh perusahaan atau atasan untuk bisa lebih berkembang.
ADVERTISEMENT
“Dalam survei kami di Indonesia, ada 59 persen perempuan merasa tidak didukung dan 32 persen merasa didukung oleh perusahaan atau atasan. Saya yakin perusahaan tidak ragu menerima perempuan sebagai karyawan, namun apakah selama ini kita benar-benar yakin sudah bisa mendukung mereka? Karena mempekerjakan mereka saja tidak cukup. Perusahaan juga harus bisa menyediakan berbagai akses dan fasilitas yang bisa membantu perempuan supaya lebih berkembang,” jelas Sebastian.
Dukungan terhadap perempuan itu sangat penting dalam suatu perusahaan sebab keberadaan mereka bisa membuat kondisi perusahaan menjadi lebih maju. Perempuan bisa memberikan inovasi yang lebih baik, kondisi keuangan yang lebih baik, hingga performa perusahaan yang juga jauh lebih baik.
Adanya ekspektasi bahwa perempuan harus menikah di usia-usia tertentu
Ilustrasi perempuan mempersiapkan pernikahan. Foto: Shutterstock
Tuntutan yang sudah membayangi sebagian perempuan Indonesia sejak lama adalah soal tuntutan sosial untuk menikah dan berkeluarga. Tak jarang hal itu membuat mereka merasa terbebani dan tak sedikit dari mereka dianggap gagal jika dalam kurun usia tertentu perempuan belum juga menikah atau memiliki anak.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian dari McKinsey, tuntutan tersebut masih banyak sekali terjadi di lingkungan pinggiran kota-kota besar dan daerah-daerah terpencil di Indonesia. Namun bukan berarti hal tersebut tidak dirasakan oleh perempuan di kota-kota modern.
Anggapan bahwa perempuan harus berada di rumah dan mengurus keluarga juga masih banyak ditujukan pada perempuan yang hidup di kota metropolitan seperti di Jakarta.
“Faktor ini muncul karena tidak semua lingkungan sosial memahami soal sudut pandang gender equality. Padahal sudut pandang tersebut bisa membawa banyak perubahan bagi kehidupan perempuan. Sebab ada sebuah korelasi antara gender equality di dunia kerja dan lingkungan sosial. Oleh karena itu,pertama-tama gender equality harus terlihat dalam dunia kerja, lalu setelah itu sudut pandang kesetaraan ini secara perlahan akan menyebar ke lingkungan sosial. Sehingga nantinya pemikiran setiap orang akan lebih terbuka dan lebih mendukung perempuan,” tutur Sebastian Jammer.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, tuntutan sosial dan ekspektasi terhadap perempuan soal pernikahan secara perlahan akan berkurang dan tidak lagi menghambat langkah mereka untuk maju dan menduduki posisi strategis dalam berbagai bidang.