Komika Suarakan Isu Kesetaraan Gender

3 Komika Suarakan Isu Kesetaraan Gender Lewat Stand Up Comedy

21 Januari 2022 10:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
3 Komika Suarakan Isu Kesetaraan Gender Lewat Stand Up Comedy. Foto: Dok. Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
3 Komika Suarakan Isu Kesetaraan Gender Lewat Stand Up Comedy. Foto: Dok. Pribadi
“Bagaimana kita bisa berkontribusi untuk menghapus diskriminasi, stereotip, prasangka, dan stigmatisasi. Pesan-pesan itu bisa disampaikan lewat stand-up comedy,” tandasnya.
Stand-up comedy merupakan salah satu bentuk komedi yang umumnya dibawakan oleh pemain solo yang berbicara langsung kepada penonton. Biasanya para komedian ini membawakan materi dengan gaya monolog.
Stand-up comedy kini semakin berkembang sebagai salah satu medium populer untuk menyuarakan pesan, gagasan, dan aspirasi. Banyak juga yang menggunakan medium ini untuk menyuarakan kesetaraan gender, menyampaikan isu sensitif, hingga mengubah stereotip yang melekat pada perempuan. Sakdiyah Ma’ruf misalnya, ia menggunakan medium stand-up comedy untuk mengangkat isu seputar konservatisme agama, islamofobia, hingga diskriminasi yang sering dialami oleh perempuan.
Sebagai bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia, Badan PBB untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women), dan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA) menggandeng Sakdiyah Ma'ruf dalam lokakarya stand-up comedy bertajuk ‘Comedy for Equality’.
Terbuka untuk peserta dari berbagai latar belakang, lokakarya ini bertujuan untuk membuka percakapan mengenai kesetaraan gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
“Kekerasan berbasis gender bisa menjadi topik yang tidak nyaman dan menyakitkan untuk didiskusikan. Tetapi untuk mengatasinya dengan efektif kita harus bisa membicarakannya dengan jujur,” kata Perwakilan PBB untuk Indonesia, Valerie Julliand. “Lewat Comedy for Equality ini, kami menantang tabu dan berusaha membuat percakapan tentang subjek yang serius ini menjadi tidak terlalu menakutkan,” tandasnya.
Dua puluh peserta yang terpilih mengikuti pelatihan stand-up comedy secara online dan gratis yang dimentori Sakdiyah Ma’ruf pada November-Desember 2021. Dua puluh peserta itu berasal dari berbagai latar belakang; mulai dari ibu rumah tangga, aktivis, mahasiswa, hingga Aparatur Sipil Negara (ASN).
Selama enam sesi, para peserta mendapatkan materi mengenai komedi untuk aktivisme dan gender, mempelajari penulisan komedi, dan melatih diri untuk melakukan stand-up comedy di depan publik.
Dari 20 peserta pelatihan, 10 peserta terpilih untuk tampil di Comedy for Equality Stand-Up Comedy Show pada 11 Desember 2021. 10 peserta itu tampil mengangkat tema yang cukup beragam, dari pengalaman sebagai minoritas dan ibu rumah tangga hingga norma sosial dan teknologi.
Tiga peserta berbagi cerita dan pengalaman mereka selama mengikuti Comedy for Equality, dan harapan mereka untuk kesetaraan gender.

1. Vevi Alfi Maghfiroh: Deg-degan tapi Berkesan

Vevi Alfi Maghfiroh, Peserta Workshop Comedy for Equality. Foto: Dok. Pribadi
Bagi Vevi Alfi Maghfiroh, Comedy for Equality adalah pengalaman pertamanya belajar dan mengenal stand-up comedy.
Bekerja di media Mubadalah.id, perempuan asal Indramayu ini kerap mencari ide-ide konten menarik untuk diunggah di media sosial, seperti Instagram, Twitter, dan TikTok.
“Sebagai media yang mengusung isu-isu gender, perdamaian, toleransi, kemanusiaan, dan lingkungan yang berperspektif gender Islam, konten-konten kita itu kadang diterima positif, kadang negatif. Dari sanalah saya terpikir kayaknya menarik kalau konten-konten kita ditulis dan disampaikan lewat komedi,” kata Vevi kepada kumparanWOMAN beberapa waktu lalu.
Tidak lama setelah itu, ia melihat pengumuman UN Women mengenai Comedy for Equality. Saat itu, ia langsung memutuskan untuk mendaftar.
Banyak yang Vevi pelajari selama mengikuti pelatihan ini. “Kita diperkenalkan dengan stand-up comedy dan manfaatnya. Selain itu, kita juga diajarkan membuat materi, menyusun set-up (pengantar yang menggiring asumsi penonton) dan punchline (bagian yang lucu dari sebuah lawakan yang tidak terduga), hingga teknik panggung dan penyampaian materi di atas panggung,” lanjut Vevi.
Terpilih menjadi salah satu dari 10 peserta yang tampil di Comedy for Equality Stand-Up Comedy Show pada 11 Desember 2021, Vevi menyoroti soal sulitnya jadi perempuan yang pakaian dan keputusan hidupnya masih sering diatur.
“Jadi perempuan itu berat, pakaiannya diatur karena tubuhnya selalu dianggap fitnah yang menggoda. Tubuhnya diintervensi oleh pandangan budaya, agama, bahkan negara,” ungkap Vevi saat tampil di Comedy for Equality Stand-Up Comedy Show.
Menurut Vevi, isu-isu yang ia angkat sangat relevan dengan kehidupan pribadinya dan kegelisahan orang-orang yang ada di sekitarnya.
“Ini adalah pertama kali saya menyusun dan men-deliver komedi. Jadi rasanya deg-degan, namun menarik dan juga berkesan. Apalagi saya masuk 10 peserta terpilih dari 20,” pungkas Vevi yang kabarnya akan lanjut menekuni bidang stand-up comedy.

2. Gloria Excelcise Muhamad: Laki-laki Berperan Penting dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender

Gloria Excelcise Muhamad, Peserta Workshop Comedy for Equality. Foto: Dok. Pribadi
Telah tertarik dengan stand-up comedy sejak SMA, Gloria Excelcise Muhamad mantap untuk mengikuti pelatihan Comedy for Equality.
Sejak pertama kali daftar, laki-laki asal Lamongan ini sudah berniat untuk menajamkan kembali teknik penulisan stand-up comedy yang ia pelajari sejak kuliah. Selain itu, ia juga ingin menularkan nilai-nilai kesetaraan gender, sesuai dengan apa yang diperjuangkan di tempat kerjanya.
Stand-up comedy adalah salah satu media yang sangat efektif untuk menyuarakan nilai-nilai kesetaraan. Karena lewat komedi, harapannya (nilai-nilai) itu bisa lebih mudah diterima masyarakat daripada sekadar menceramahi orang,” tutur staf Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Lamongan ini.
Excel mengaku banyak sekali yang ia pelajari selama pelatihan. “Kita diajak untuk menyelami sejarah stand-up comedy. Lalu, bagaimana komedi itu digunakan untuk memperjuangkan nasib minoritas, memperjuangkan kesetaraan, dan jadi alat untuk mengkritik,” lanjut Excel.
Yang tak kalah serunya, lewat pelatihan ini ia mendapat banyak teman baru dengan pemikiran yang beragam. “Saya jadi menambah wawasan tentang berbagai sudut pandang,” ungkap Excel. “Uniknya, setiap peserta itu tampil membawakan voice masing-masing. Ada yang dari sisi jurnalisme hingga minoritas gender. Kalau saya sendiri membawa sudut pandang seorang laki-laki ketika berbicara soal kesetaraan gender,” lanjutnya.
Sehari-hari Excel memang bersemangat berbicara tentang kesetaraan gender. Namun, menurutnya ketika berbicara soal kesetaraan gender, masih banyak laki-laki yang belum paham dengan isu tersebut.
Excel juga mengaku mau mendorong banyak laki-laki di Indonesia untuk lebih aware dengan isu kesetaraan gender. “Perjuangan untuk mewujudkan kesetaraan gender di Indonesia itu masih panjang. Dan laki-laki memegang peran yang sangat penting. Kesadaran dari laki-laki mungkin bisa mempermudah terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia,” tutupnya.

3. Chelsea Amanda Alim: Terharu Menemukan Ruang Aman

Chelsea Amanda Alim, Peserta Workshop Comedy for Equality. Foto: Dok. Pribadi
Berawal sebagai penikmat konten-konten komedi di televisi, Chelsea Amanda Alim akhirnya tertarik untuk mendalami stand-up comedy pada 2019. Sudah berbagai pelatihan ia ikuti sebelum bergabung dengan Comedy for Equality pada November 2021 lalu.
Bagi Chelsea, menjadi terbuka secara mental dan mindset untuk terjun ke dunia komedi adalah salah satu pelajaran berharga yang ia dapat.
“Saya belajar bahwa menjadi komika yang mempertunjukan karya yang baik itu butuh mindset yang kuat. Karena kalau tidak punya mindset yang kuat, saya rasa sulit bagi komika untuk dapat berkontribusi positif di dunia komedi,” terang perempuan asal Surabaya itu kepada kumparanWOMAN.
Chelsea juga mengaku mendapat tempat baru yang aman untuk bisa berekspresi dan mengutarakan pendapat.
Saat tampil di Comedy for Equality Stand-Up Comedy Show, Chelsea mengangkat sulitnya menjadi perempuan karena sering dituntut untuk tampil feminin dan sesuai norma masyarakat.
“Saya sudah merasa berbeda sejak SD, tapi baru sadar dan bisa berdamai di umur 28 tahun. Jadi perjalanannya cukup panjang untuk bisa menerima kalau saya itu berbeda. Meski begitu saya tidak menyesal, karena akhirnya saya bisa deliver itu menjadi konten komedi yang menarik,” tuturnya.
Chelsea berharap kesetaraan gender bisa terwujud dan Indonesia menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk semua individu.
“Memang tidak mudah dan butuh waktu. Tapi saya yakin Indonesia punya modal dan potensi karena negara kita menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika. Jadi, saya harap masyarakat atau individu juga bisa lebih berani untuk speak up,” pungkas Chelsea.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten