5 Fakta Shireen Abu Akleh, Jurnalis Al Jazeera yang Tewas di Tangan Israel

12 Mei 2022 16:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Shireen Abu Akleh, wartawan Al Jazeera yang tewas akibat ditembak di kepala saat meliput serangan Israel di Tepi Barat. Foto: Al Jazeera/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Shireen Abu Akleh, wartawan Al Jazeera yang tewas akibat ditembak di kepala saat meliput serangan Israel di Tepi Barat. Foto: Al Jazeera/AFP
ADVERTISEMENT
Seorang jurnalis senior dari media Al-Jazeera, Shireen Abu Akleh, tewas akibat tembakan yang dilepaskan oleh militer Israel (Israeli Defense Forces, IDF) pada Rabu (11/5). Peristiwa mencekam itu terjadi di Kota Jenin, Tepi Barat (West Bank), wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel.
ADVERTISEMENT
Saat penembakan terjadi, Shireen tengah meliput serangan pasukan Palestina yang terjadi di kota sebelah utara Tepi Barat tersebut. Dilansir Al Jazeera, Shireen tertembak di bagian kepala dan langsung dilarikan ke rumah sakit Kota Jenin. Namun nahas, pada pukul 07.15 pagi waktu setempat, Shireen tewas akibat luka fatal tersebut.
Kepergian Shireen ini juga memicu kemarahan dunia, mengingat ketika peristiwa itu terjadi, Shireen tengah mengenakan rompi dengan tulisan “PRESS”. Di setiap situasi perang, jurnalis merupakan salah satu pihak yang harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan target.
Semasa hidupnya, Shireen Abu Akleh dikenal sebagai salah satu jurnalis top di wilayah Arab. Berikut ini sejumlah fakta mengenai mendiang jurnalis perempuan tangguh ini seperti kumparanWOMAN rangkum dari berbagai sumber.
ADVERTISEMENT

1. Seorang jurnalis veteran yang pemberani

Orang-orang bereaksi di sebelah peti jenazah reporter Al Jazeera Shireen Abu Akleh, yang terbunuh oleh tembakan tentara Israel selama serangan Israel, di Jenin di Tepi Barat yang diduduki Israel, Rabu (11/5/2022). Foto: Mohamad Torokman/REUTERS
Perempuan kelahiran 3 Januari 1971 ini dikenal sebagai salah satu jurnalis top di wilayah Arab. Telah bergabung dengan Al Jazeera sejak 1997, Shireen menjadi koresponden alias wartawan lapangan pertama untuk media tersebut. Berbagai media dan kantor berita pun menyebut Shireen sebagai seorang jurnalis veteran yang sangat prominen.
Jurnalis yang lulus dari Yarmouk University di Yordania ini sudah tidak asing dengan peliputan konflik antara Israel dan Palestina. Dikutip dari Al Jazeera, Shireen meliput perang Gaza tahun 2008, 2009, 2012, 2014, dan 2021. Ia juga pernah meliput perang Lebanon pada 2006 silam.
Nama perempuan yang meninggal di usia 51 tahun ini mencuat berkat liputan Intifada Palestina Kedua di tahun 2000. Sebagai informasi, Intifada Palestina adalah protes besar-besaran rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel.
ADVERTISEMENT

2. Memiliki tujuan mulia dalam berprofesi sebagai jurnalis

Shireen Abu Akleh, wartawan Al Jazeera yang tewas akibat ditembak di kepala saat meliput serangan Israel di Tepi Barat. Foto: Twitter/@PalestinePDP
Ketika di usia 20-an, Shireen awalnya menuntut pendidikan di dunia arsitektur. Namun, dikutip dari Al Jazeera, ia memutuskan untuk mengubah jalan hidupnya dan mendalami jurnalistik di Yarmouk University Yordania. Setelah lulus, ia pun kembali ke Palestina.
Alasannya memilih jurnalis sebagai profesi pernah diungkapkan dalam sebuah video tribute Al Jazeera. Berbicara dalam bahasa Arab, Shireen mengungkapkan bahwa tujuannya mendalami jurnalisme adalah agar bisa sedekat mungkin dengan masyarakat.
“Saya memilih jurnalisme agar bisa dekat dengan masyarakat. Mungkin tidak mudah untuk bisa mengubah kenyataan, tetapi setidaknya, saya dapat membawa suara mereka [suara masyarakat] ke penjuru dunia,” ucap Shireen, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.

3. Sempat belajar bahasa Ibrani demi profesi

Shireen Abu Akleh, reporter Al Jazeera yang terbunuh. Foto: Twitter
Kecintaannya terhadap dunia jurnalistik dan profesi jurnalis membawanya untuk terus belajar. Bahkan, hingga kepergiannya yang nahas itu, Shireen diketahui tengah mempelajari bahasa Ibrani, bahasa nasional Israel. Tujuannya? Untuk bisa memahami narasi-narasi media Israel.
ADVERTISEMENT
“Dia [Shireen] bukan hanya seseorang yang merupakan veteran, yang sudah ada di sini dan meliput kisah ini bertahun-tahun. Namun, ia juga merupakan seseorang yang memiliki tekad untuk terus belajar dan melaporkan berita dengan menggunakan berbagai cara baru,” ungkap Nida Ibrahim, rekan jurnalis Shireen, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.

4. Seorang jurnalis yang menginspirasi

Para pelayat bereaksi di samping mayat reporter Al Jazeera Shireen Abu Akleh, yang terbunuh oleh tembakan tentara Israel selama serangan Israel, di Jenin di Tepi Barat yang diduduki Israel, Rabu (11/5/2022). Foto: Mohamad Torokman/REUTERS
Kabar tewasnya Shireen secara nahas dan brutal itu sontak meninggalkan luka mendalam. Tak hanya bagi rekan sejawat jurnalis, tetapi juga para pendengar setia suaranya. Bagi para rekannya, Shireen merupakan sumber inspirasi terbesar.
“Shireen merupakan seorang pelopor, sebuah inspirasi bagi kita semua. Kehadirannya sudah bersinonim dengan Al Jazeera,” ungkap seorang jurnalis Al Jazeera, Dalia Hatuqa, yang juga merupakan teman dekat Shireen.
ADVERTISEMENT
Sementara, bagi seorang jurnalis lainnya bernama Tamer Al-Meshal, Shireen adalah panutan bagi para jurnalis Palestina dan dunia Arab. Diketahui, ketika penembakan terhadap Shireen terjadi, Tamer tengah bekerja bersamanya di lokasi.
“Hingga detik-detik terakhir, ia tetap profesional dan gigih dalam bekerja. Pesan terakhir yang dikirimkan oleh Shireen Abu Akleh ke Al Jazeera adalah via email, pada pukul 06.13 pagi. Di dalamnya, ia menulis, ‘Pasukan penjajah [Israel] menyerbu Jenin dan mengepung sebuah rumah di area Jabriyat. Saya sedang perjalanan menuju ke sana, saya akan melaporkan begitu peristiwanya sudah jelas.’ Kami dan para penonton tidak menyangka bahwa berita yang ia bawa adalah berita kepergiannya,” ungkap Tamer.

5. Pribadi yang tangguh dan penuh kebahagiaan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Seorang teman Shireen, Hatuqa, melihat Shireen sebagai lebih dari ikon Al Jazeera. Ia memandang Shireen sebagai teman baik yang tak hanya tangguh, tetapi juga penuh kebahagiaan.
“Ia memiliki suara tawa yang menular. Ia senang traveling, menikmati indahnya dunia, berbelanja, berpesta. Shireen kehilangan ibu dan ayahnya ketika masih muda, dan ia sudah menyaksikan banyak kekejaman di dunia—terutama di Palestina. Namun, hal tersebut tidak pernah menghentikan Shireen untuk mengapresiasi dan menikmati hidup,” ungkap Hatuqa, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.
“Suara Shireen sangatlah merdu, bahkan ketika ia menyampaikan berita yang penuh kesedihan,” tutupnya.