Anak Sekolah di Rumah selama Pandemi, Pengawasan Pendidikan jadi Beban Siapa?

23 November 2020 13:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi perempuan stres selama pandemi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan stres selama pandemi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Sebuah laporan terbaru tentang dampak gender dari pandemi COVID-19 belum lama ini dirilis oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, UN Women. Laporan ini dibuat berdasarkan hasil survei dampak sosio-ekonomi dari pandemi COVID-19 pada perempuan dan laki-laki melalui pesan SMS yang disebar melalui jaringan Indosat Ooredoo selama bulan April dan Juli 2020 secara acak.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penuturan UN Women Representative for Indonesia and Liaison to ASEAN, Jamshed Kazi, laporan yang bertajuk 'Menilai Dampak COVID-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia' ini memperlihatkan dengan jelas bahwa perempuan terdampak secara tidak proporsional oleh pandemi. Salah satunya adalah dari sisi pengawasan pendidikan terhadap anak yang melakukan sekolah secara online.
Ilustrasi perempuan bekerja sambil menemani anak sekolah di rumah. Foto: Shutter Stock
Laporan yang didukung oleh inisiatif “Women Count” dari UN Women dan The United Nations (UN) COVID-19 Multi-Partner Trust Fund bekerjasama dengan UNICEF, WFP, dan UNDP tersebut, mengungkapkan bahwa 39 persen perempuan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengajar anak di rumah.
Memang, sejak wabah COVID-19 muncul di Indonesia pada Maret lalu, banyak sekolah yang memutuskan untuk melakukan belajar jarak jauh melalui kelas online demi menekan penyebaran COVID-19. Namun, mengingat pendidikan tidak dapat dialihdayakan kepada pihak lain, maka orang tua lah yang harus mengajarkan anaknya di rumah, termasuk membimbing dan melatih anak-anak dalam mengerjakan tugasnya. Presentase ini 10 persen lebih banyak dari laki-laki, yang hanya 29 persen menghabiskan waktu untuk mengajar anak di rumah.
ADVERTISEMENT

Cerita Seorang Ibu Bekerja

Hal ini dirasakan langsung oleh seorang ibu bekerja, Miranda Asima, yang semenjak pandemi harus membantu serta mengawasi kegiatan belajar anaknya yang baru duduk di kelas 1 di sebuah SD Swasta di Jakarta. Padahal, Miranda adalah karyawan swasta yang bekerja di perusahaan jasa dan juga tengah melakukan work from home (WFH).
Miranda Asima. Foto: dok. Istimewa
Pekerjaannya sebagai sales person membuatnya juga disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang harus berinteraksi dengan klien setiap harinya. Miranda harus pintar-pintar membagi waktu antara dua tanggung jawab tersebut.
"Di jam sekolah saya harus mengawasi anak, tapi kadang suka bentrok sama jam meeting, jadi suka minta bantuan ayah saya untuk mengawasi. Tapi untuk tugas sekolah, saya selalu bantu. Tahu sendiri, school from home (SFH) justru semakin banyak PR-nya. Bikin video olahraga, menari atau nyanyi, tugas prakarya juga banyak, jadi malam-malam selesai kerja langsung cari perlengkapannya," cerita Miranda pada kumparanWOMAN, Senin (9/11).
ADVERTISEMENT
Diakui ibu satu anak ini, salah satu tantangan mengawasi anak belajar di rumah sambil WFH adalah mengatur tingkat emosi. Ia agak kewalahan mengatur jadwal WFH sambil mengawasi anaknya belajar karena perusahaannya yang mengharuskannya standby untuk meeting dengan klien. Hal ini kadang berpengaruh terhadap tingkat emosinya, apalagi ketika sang anak minta ditemani belajar padahal ia tengah sibuk.
Miranda Asima. Foto: dok. Istimewa
"Karena saya kerja di perusahaan multinational, kadang saya juga ada jadwal meeting jam 9 atau setengah 10 malam, akhirnya enggak ada waktu untuk diri sendiri dan jadi lebih cepat emosi. Kadang juga saya kasihan lihat anak saja, karena sekolah pakai Zoom, jadi lebih sensitif kalau gurunya tidak perhatikan, merasa tidak dianggap akhirnya nangis dan minta matikan laptop," lanjut Miranda lagi.
ADVERTISEMENT
Miranda juga kerap dihinggapi rasa bersalah karena tak bisa punya waktu santai yang lebih banyak bersama sang anak. Setelah kelar urusan pekerjaan, ia masih juga harus disibukkan oleh berbagai tugas rumah tangga lainnya yang terkadang membuatnya lebih stres.
"Kadang saya merasa bersalah dengan anak saya, tidak bisa maksimal menemani dan bantu anak belajar. Semenjak WFH saya justru merasa kurang waktu dengan anak, karena kerjaan pun juga semakin banyak. Pernah anak saya sedih sampai meneteskan air mata, tapi enggak sampai bad mood," demikian tutur Miranda.

57% perempuan mengalami peningkatan stres dan kecemasan sejak pandemi

Kisah yang diceritakan Miranda ini mungkin juga dialami oleh para ibu bekerja lainnya di luar sana. Karena berdasarkan laporan dari UN Women, ada 57 persen perempuan yang mengalami peningkatan stres dan kecemasan sejak pandemi, sedangkan hanya 48 persen laki-laki mengalami hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Peningkatan ini diakibatkan karena banyak perempuan yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anggota keluarga atau merawat mereka yang sakit, ditambah dengan kecemasan atas hilangnya pekerjaan dan pendapatan serta efek pembatasan sosial terhadap kekerasan berbasis gender.
Ilustrasi perempuan kesulitan bekerja, mengurus anak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga dalam waktu yang bersamaan selama pandemi. Foto; Shutterstock
Laporan lainnya menyebutkan bahwa 69 persen perempuan menghabiskan lebih banyak waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga tak berbayar. Sebab, keputusan pemerintah untuk melakukan PSBB dan social distancing membuat pekerjaan rumah seperti membersihkan rumah dan memasak, sulit dipindahtugaskan ke orang lain dan harus dikerjakan sendiri demi menjamin keselamatan dan kesejahteraan anggota keluarga, terutama anak kecil dan keluarga yang sakit. Akibatnya, beban pekerjaan rumah tangga, perawatan dan pengasuhan yang dilakukan oleh perempuan meningkat tajam.
Hal ini telah menambah beban pekerjaan rumah tangga yang memang sudah meningkat sehingga memungkinkan terjadinya kesehatan mental perempuan yang memburuk secara tidak proporsional.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Anda, Ladies? Apakah Anda juga menemani kegiatan belajar anak saat SFH?