Cerita Kesuksesan Nanik Soelistiowati Berbisnis Pisang Goreng Madu

1 Agustus 2019 12:14 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
ADVERTISEMENT
Pagi itu, hari Sabtu (20/7) pukul delapan pagi, saya datang satu jam lebih awal dari jam ‘janjian’ wawancara yang direncanakan dengan Nanik Soelistiowati (64), pemilik bisnis camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik yang terkenal itu.
ADVERTISEMENT
Waktu lowong tersebut, saya pakai untuk mengamati area toko Pisang Goreng Madu Bu Nanik yang terletak di pinggir jalan area Tanjung Duren, Jakarta Barat. Tokonya sederhana, ‘humble’, dan tidak terlalu besar seperti toko-toko dessert yang biasa Anda temui di mal-mal besar. Meski tak semewah toko makanan kekinian, di hari Sabtu pukul delapan pagi--yang biasanya jadi momen banyak orang untuk tidur lebih lama, sudah banyak orang yang rela mengantre di kedai ini untuk memesan segala camilan yang disediakan oleh gerai Pisang Goreng Bu Nanik. Di akhir pekan, total jumlah antrean untuk membeli pisang goreng ini bisa mencapai 1700.
Antrian di camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Satu jam berselang. Setelah jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Nanik Soelistiowati atau akrab dipanggil Bu Nanik datang menghampiri saya. Hari itu ia tampak mengenakan kebaya encim brokat dengan motif bunga-bunga merah, ungu, dan hijau. Bu Nanik memang terkenal dengan ciri khasnya yang selalu mengenakan kebaya dengan tatanan rambut yang disasak rapi. Bahkan, ia menyebut kebaya adalah seragam kerjanya setiap mendatangi toko pisang goreng ini.
ADVERTISEMENT
Sambil menyapa, saya mengomentari tentang kedainya yang sudah ramai sejak pagi. Bu Nanik pun menjawab ramah: “Ini tidak termasuk ramai, mba. Kalau ramai itu biasanya mengantre sampai panjang sekali ke belakang.”
Memang luar biasa usaha makanan Bu Nanik ini. Jika dilihat secara sepintas, penampilan pisang goreng madunya bisa dibilang tidak begitu menarik. Jika dilihat sekilas, kita akan mengira ini merupakan pisang goreng gosong karena berwarna cokelat. Padahal warna cokelat itu berasal dari madu yang menjadi karamel. Tekstur pisangnya pun masih terlihat berupa jendolan-jendolan tak merata dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran gorengan kebanyakan.
Pisang Goreng Madu Bu Nanik Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Namun, meski tampak ‘apa adanya’, nyatanya kepopuleran Si Hitam Manis ini sudah sampai ke telinga orang-orang di daerah lainnya, seperti Bandung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan lainnya. Tak jarang, pengunjung menjadikan Pisang Goreng Madu Bu Nanik ini sebagai buah tangan spesial untuk dibawa ke kota masing-masing.
ADVERTISEMENT
Saking populernya, kini, Pisang Goreng Bu Nanik sudah memiliki followers Instagram mencapai 22,5 ribu orang. Gerainya pun selalu ramai dipadati pengunjung. Bahkan, pada 2017 silam, usaha Pisang Goreng Madu Bu Nanik ini disebut sebagai merchant Go-Food terlaris. Meski keberatan untuk mengungkap jumlah pisang goreng yang ia jual setiap harinya, Bu Nanik memberi petunjuk dengan mengungkapkan bahwa setidaknya ia menghabiskan 2 truk pick up pisang mentah setiap harinya.
Di gerainya yang sederhana, Bu Nanik tidak hanya menjual pisang goreng madu, tapi juga ada camilan lainnya. Ada nanas goreng, cempedak, goreng-gorengan, hingga nasi bakar. Anda pun bisa menemukan seluruh makanan ini di aplikasi moda transportasi online.
Kesuksesan Bu Nanik membangun sebuah usaha jajanan pisang goreng yang memiliki peminat tinggi ini tentu tidak terjadi dalam waktu singkat. Kepada kumparanWOMAN, Bu Nanik bercerita bahwa pernah ada masa pisang gorengnya tidak laku terjual, bahkan, dianggap tak menarik, gosong, dan jelek. Namun, hal tersebut tak membuatnya pesimis. Ia yakin bahwa pisang yang dijualnya ini, suatu saat akan memiliki ruang tersendiri di hati pencinta makanan. Sekitar sepuluh tahun sejak ia memulai usaha pisang goreng ini, ia membuktikan kegigihannya membuahkan hasil.
Camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Simak perbincangan kami dengan Bu Nanik tentang perjalanannya menjadi seorang pengusaha makanan yang sukses berikut ini.
ADVERTISEMENT
Sudah lebih dari sepuluh tahun menjalankan bisnis ini, apakah Bu Nanik masih terjun langsung untuk proses quality checking dari produk-produk yang dijual setiap harinya?
Ya, sehari-hari saya masih terjun dan lihat langsung prosesnya dari pukul empat pagi sampai 10 malam. Dapur kami sudah buka dari pukul empat pagi, karena banyak perusahaan tertentu seperti cafe, restoran, kantin-kantin yang beli untuk mereka jual lagi. Itulah mengapa saya masih tetap terjun untuk mengecek segala prosesnya. Bisa dibilang, saya adalah tes terakhir. Semua makanan dari pisang, goreng-gorengan, hingga nasi bakar harus melalui approval terakhir saya.
Pisang Goreng Madu ini memiliki penampilan yang khas dan berbeda dari kebanyakan camilan pisang lainnya. Sebenarnya, bagaimana awal cerita Bu Nanik membangun bisnis ini?
ADVERTISEMENT
Saya mendirikan bisnis pisang ini sebenarnya karena ketidaksengajaan. Awalnya, saya punya bisnis catering dengan kapasitas 1500-2000 porsi makanan setiap harinya untuk karyawan hotel-hotel bintang lima. Sebagai salah satu inovasi saya untuk mempertahankan catering di suatu tempat, saya selalu punya menu yang variatif. Mulai dari makanan utama, snack, hingga buah.
Nah, salah satu buah yang sering saya bawa itu pisang. Namanya pisang, terkadang dalam satu sisir itu ada yang bonyok hitam. Tidak busuk, tapi tekstur kulitnya nggak selalu mulus, kan? Sayangnya, kalau penampilan pisang sedang hitam-hitam, karyawan suka nggak mau ambil. Bahkan, waktu itu pernah ada satu waktu jumlah pisang yang tidak termakan banyak sekali. Mungkin, karyawan juga jenuh kalau saya kasih pisang terus.
ADVERTISEMENT
Untuk menyiasati pisang sisa itu, saya iseng-iseng goreng dengan tepung. Kalau pisang goreng kan mayoritas orang suka ya sebagai camilan, termasuk ibu saya. Sayangnya, dia penderita diabetes, jadi kalau makan pisang goreng, gula darahnya suka naik keesokan harinya. Alhasil saya coba pikirkan alternatif lain, yakni mengganti gula dengan madu. Kita taruh madu di adonannya, dan jadilah pisang goreng madu itu. Ternyata, pakai madu jadi lebih bagus dan crispy.
Beberapa hari berikutnya, setelah saya menemukan pisang goreng madu ini, saya buatkan untuk karyawan hotel. Jika biasanya saya kasih snack seperti lemper dan risol, suatu hari saya kasih pisang goreng madu ini.
Nah, biasanya setiap ada menu atau snack baru, saya pasti minta feedback dari karyawan hotel lewat staf-staf saya yang jaga. Saya pun tanya sama staf saya tentang rasa pisang gorengnya. Mereka bilang: “Ibu..nggak ada satu pun yang ngasih komentar bagus, semuanya kasih komen jelek dari pisang goreng ini. Kata mereka jangan dikeluarin lagi. Masa pisang goreng gosong dikasih ke orang?” Itu feedback yang saya dapat pertama kali.
ADVERTISEMENT
Ya udah, awalnya saya pikir nggak akan dikasih lagi. Tapi seperti trial-error, beberapa hari kemudian saya tetap coba kasih ke karyawan-karyawan hotel. Mungkin mereka juga nggak ada pilihan lain, jadi coba makan. Setelah dimakan, kok malah enak, nggak ada di luaran. Ini kan nggak bisa dicari di tempat lain, tidak seperti risol dan lemper yang memang sudah banyak dijual. Mereka bilang sama petugas saya, katanya: “Tolong bilang Bu Nanik untuk buatkan lagi pisang gorengnya ini, soalnya enak. Kami nggak nemu di tempat lain. Nanti snack-nya pisang gosong ini aja terus, jangan yang lain.”
Sampai pernah ibu-ibu karyawan hotel request beli sama saya untuk acara pengajian. Ya saya bilang bahwa saya ini nggak jual pisangnya. Pisang goreng ini murni inovasi sebagai bagian dari snack catering hotel. Mereka tetap maksa, yaudah akhirnya saya buatkan secara sukarela, misalnya 40-50 biji. Tapi karena sering, ibu-ibu ini ya lama-lama merasa sungkan. Alhasil, setelah disosialisasikan dengan mereka, saya jual satu bijinya Rp 2 ribu. Itu harga di tahun 2005. Jadi awalnya karena ketidaksengajaan ini.
ADVERTISEMENT
Memulai bisnis pisang dari mulut ke mulut di 2005, dan resmi menjualnya dengan gerobak di tahun 2007.
Apakah berbisnis di bidang makanan memang sudah jadi keinginan Bu Nanik dari dulu?
Saya memang hobi masak, tapi saya tidak pernah terpikirkan untuk menjadikan hobi ini sebagai sumber penghasilan. Malahan, dulu cita-cita saya ingin punya salon.
Dari kecil, saya memang suka bisnis. Dulu saya suka buat pizza kecil, makanan-makanan ringan, nah itu saya bungkus dan saya jual ke teman-teman. Saya juga pernah bisnis serabutan ambil baju-baju batik di Jawa Tengah, lalu saya jual lagi di Jakarta. Tapi kalau berbicara soal bisnis yang benar-benar ditekuni, ya bisnis catering itu. Saya menikah di usia 30-an, jadi bisnis catering ini saya mulai di usia akhir 30-an.
ADVERTISEMENT
Dari segala jenis bisnis, apa alasan Bu Nanik memilih bisnis catering?
Saya merintis usaha catering itu dari nol. Saya tadinya ibu rumah tangga biasa. Ketika anak-anak sudah besar, saya mulai jenuh. Jujur, saya tipe perempuan yang nggak bisa diam. Saya harus punya kegiatan.
Usaha catering pun bermula dari iseng. Suatu waktu, teman saya dari Gereja kasih tau, bahwa Hotel Ibis membutuhkan catering untuk karyawannya. Teman saya ini tahu kalau saya suka masak dan menurut dia masakan saya enak. Alhasil, saya coba ajukan ke hotel dan ternyata diterima. Di situ awal mula saya terjun ke bisnis catering.
Apakah sekarang Bu Nanik masih menggeluti bisnis catering?
Bisnis catering sudah saya tutup untuk fokus di Pisang Goreng Madu ini. Tapi kalau ada hotel yang request untuk keperluan outing, biasanya masih saya layani sesekali.
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Mengapa Bu Nanik berani mengambil keputusan untuk menutup bisnis catering yang sudah berjalan lancar, sukses, dengan klien dari hotel-hotel terkenal, untuk bisnis baru yang belum jelas prospeknya?
ADVERTISEMENT
Benar, bisnis catering saya memang bisa dibilang besar. Bagaimana tidak, saya sudah jalani catering tersebut selama 22 tahun. Ketika saya memutuskan tutup, banyak hotel yang keberatan, saking sudah merasa ‘klop’ dengan masakan saya.
Alasan utama saya menutup catering adalah karena anak-anak. Saya punya dua anak, semuanya kuliah di luar negeri. Saat mereka sudah pulang ke Indonesia, saya tanya apa yang mau mereka lakukan, apakah mau bekerja di luar atau membesarkan bisnis saya. Mereka jawab: “Mau gedein usaha ini jadi usaha keluarga, tapi dengan syarat bukan usaha catering.” Memang, catering itu susah dan sangat melelahkan sekali.
Anak-anak saya bilang mau gedein usaha pisang dan buat toko saja. Ya udah, pelan-pelan catering saya kurangi, sampai akhirnya ditutup. Sekarang, mereka berdua berkolaborasi dengan saya untuk memajukan usaha pisang goreng ini. Anak saya yang perempuan mengurusi kolaborasi dan partnership dengan brand seperti Tokopedia, GOJEK, Grab, transportasi, kemasan, dan lainnya. Anak saya yang laki-laki, fokus di bagian manajemen. Kalau saya sendiri di bagian produk.
ADVERTISEMENT
Adakah kekhawatiran yang Bu Nanik rasakan ketika memutuskan untuk menutup catering?
Saya khawatir tapi saya harus memutuskan. Tujuan saya kerja itu kan buat anak. Nah, mereka sudah menegaskan ingin meneruskan usaha saya asalkan bukan catering. Kalau saya nggak berani, kurang bertekad, dan tidak yakin bahwa bisnis ini akan sukses, ya sampai hari ini saya tidak akan menutup catering. Artinya, anak-anak pun tidak akan jadi membantu saya.
Saya menutup catering itu tidak instan. Saya menutupnya secara perlahan dengan mengurangi klien satu per satu. Jadi sambil menjual pisang goreng, saya tutup catering pelan-pelan.
Setelah memutuskan untuk memajukan bisnis pisang, apakah pisang goreng tersebut langsung terkenal seperti sekarang? Bagaimana prosesnya sehingga bisa laku seperti saat ini?
ADVERTISEMENT
Wah, jauh dari kata laku. Begitu besar jatuh bangun saya untuk memajukan pisang goreng ini. Awal-awal disajikan di hotel saja dibilang pisang gosong kan, he..he..he..
Di tahun 2007, saya pernah mengelola makanan khas Jawa Timur. Di setiap meja, saya sediakan si pisang goreng itu di atas piring. Dalam satu hari, rasanya mau jual 20 biji saja nggak bisa. Susah sekali. Setiap kali saya potong-potong kasih tester, pengunjung pasti bingung dan bilang: “Ini apaan sih pisang bentuknya kok aneh gosong dan jelek.” Pokoknya susah sekali laku.
Selain itu, kalau ada tamu datang ke rumah, saya pasti sajikan pisang ini. Awalnya, mereka pasti bilang ini apaan kok gosong banget. Tapi saya paksa-paksa mereka, saya bilang coba dulu baru nanti kasih komentar. Eh, taunya malah jadi suka.
ADVERTISEMENT
Jadi begitu salah satu trik saya. Saya kasih dulu ke orang untuk mereka mencoba sendiri. Misalnya, saya bawa ke gereja, saya kirim-kirim langsung ke teman, dan lainnya. Pengaruhnya besar sekali, karena promosinya langsung dari mulut ke mulut. Dulu belum ada media sosial, tidak semudah sekarang. Saya malah sempat cetak brosur dan naik motor keliling sendiri untuk selip-selipkan brosur ke atas mobil dan motor. Jadi ya bisa dibilang saya memang memulai dari nol sekali untuk memajukan pisang goreng ini.
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Apa yang membuat Bu Nanik gigih menjual pisang yang sempat tidak laku ini?
Saya ini orangnya bersikeras. Saya bisa bilang, saya ini orangnya ulet. Ketika pisang 20 biji nggak laku, ya nggak apa-apa. Biar saya makan sendiri saja. Kalau nggak sanggup makan sendiri, ya saya kasih ke orang-orang sekitar rumah. Alhasil, pelan-pelan, ketika mereka ada acara, mereka pesan pisangnya sama saya. Caranya memang memberi dulu, orang merasakan enak dulu, baru mau pesan.
ADVERTISEMENT
Buat saya, kerja itu harus ulet, tekun, dan bisa berinovasi. Apa yang kita bisa, ya kita jalani dengan sungguh-sungguh. Jangan karena nggak laku, langsung menyerah. Saya jualan 20 biji nggak laku, kalau nggak ulet, pasti nggak akan maju seperti sekarang. Buka di 2007, dan baru bisa booming di 2014. Jadi memang ada proses yang harus saya usahakan.
Kalau boleh tahu, bagaimana perbandingannya dengan sekarang? Berapa pisang yang bisa Bu Nanik jual setiap harinya?
Saya nggak berani sebut jumlahnya, karena saya nggak mau dianggap sombong. Tapi kalau bisa diumpamakan, sehari bisa dua truk pick up full pisang. Tadinya cuma dua peti pisang. Lama-lama naik, naik, sampai ya kaya sekarang.
Jadi memang bertahap naiknya. Contohnya, awal partner dengan GOJEK, paling cuma satu sampai tiga gojek saja yang pesan. Sekarang, wah, banyak sekali. Hari Sabtu dan Minggu antrian kita bisa sampai 1700 nomor dalam sehari. Kalau weekday Senin sampai Jumat, itu biasanya hanya 1200 nomor antrian saja tapi 60 persennya datang dari aplikasi ojek online.
ADVERTISEMENT
Apakah Bu Nanik pernah merasa gengsi berjualan pisang goreng?
Tidak. Jujur, dalam urusan jualan saya tidak pernah merasa gengsi. Saya selalu bilang sama anak saya: “Kamu pulang kuliah dari Kanada, kalau ditanya kerja dimana dan misal bilang di Pisang Goreng Madu Bu Nanik, kamu malu nggak? Jadi orang itu dalam bekerja nggak usah malu.” Kalau kamu kerja di perusahaan orang, yang maju perusahaan orang. Tapi kalau ini pisang goreng maju, ya yang maju kita sendiri. Waktu pun kita yang ngatur. Ini hal yang nggak bisa kita dapatkan kalau kerja di perusahaan orang lain.
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Adakah tantangan yang Bu Nanik rasakan sebagai pebisnis perempuan? Pernah tidak merasa diremehkan oleh klien, partner dan lainnya?
ADVERTISEMENT
Mungkin pernah, tapi itu semua tergantung bagaimana kita menerimanya. Lebih tepatnya, bagaimana kita bisa menempatkan diri. Saya pribadi tidak pernah merasakan hal-hal seperti itu, atau tantangan spesifik hanya karena saya seorang perempuan. Tantangan yang saya rasakan dalam bisnis pisang ini lebih ke kalau pisang belum matang, dan saat pisang sedang langka, he..he..he..
Nilai-nilai kehidupan apa yang Bu Nanik terapkan kepada anak-anak?
Saya memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan segala hal, yang penting mereka ingat bahwa dalam melakukan suatu pekerjaan kita harus ulet dan jangan gampang menyerah. Jika merasa punya keuntungan, jangan serta-merta langsung merasa puas dan sombong. Saya juga tekankan pada mereka untuk bisa merawat karyawan, karena mereka bukan sekadar pekerja, tapi mereka yang membantu kita mencapai kesuksesan tersebut. Saya juga menerapkan kegiatan sosial kepada anak-anak. Sesukses apapun, harus ada harta yang disisihkan untuk orang yang memang tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan apa yang kita miliki.
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Usaha Pisang Goreng Madu Bu Nanik ini sudah maju dan dibantu anak-anak. Apakah ada rencana untuk pensiun dalam waktu dekat?
ADVERTISEMENT
Tidak ada, saya tidak bisa begitu. Saya harus kerja, kalau tidak kerja saya pasti jenuh. Musim lebaran aja misalnya, saya menunggu-nunggu waktu untuk toko bisa buka lagi. Jadi tidak ada kata pensiun dalam hidup saya, selagi saya masih mampu, masih kuat, dan masih bisa, akan terus saya lakoni.
Apa mimpi besar Bu Nanik yang belum tercapai saat ini?
Saya ingin ekspor dan buka panti asuhan untuk anak yatim piatu. Beban jiwa terbesar saya itu ada di anak-anak yatim piatu. Dulu saya pernah menghadiri yayasan tuna netra, mereka itu pegang-pegang anting dan kalung saya sambil bilang: “Wah...wah.. bagus ya, bagus ya!” Padahal mereka nggak lihat rupanya. Itu sempat membuat saya menangis melihatnya. Jadi itu jadi beban hati saya sampai sekarang. Hal yang bisa saya lakukan sekarang adalah membantu yatim piatu di sekitar saya. Saya nggak pandang mau mereka Muslim atau Kristen, yang penting mereka anak kecil dan mereka butuh bantuan saya.
ADVERTISEMENT
Bu Nanik punya gaya khas berkebaya dengan gaya rambut yang juga khas. Apakah ada alasan di baliknya?
Saya memang menjadikan tampilan ini sebagai ciri khas saya. Lagipula, Indonesia kan punya kekayaan kain dengan model-model kebaya yang cantik. Saya suka pakai kebaya karena menurut saya, ini busana yang anggun. Ini juga langkah saya untuk melestarikan kekayaan Indonesia.
Jadi entah apa alasan utamanya, yang jelas saya suka. Kalau saya pergi sehari-hari bukan untuk jualan, ya saya pakai baju biasa seperti kaos. Tapi kalau saya jualan, saya pakai kebaya. Saya selalu pakai kebaya dan batik ke toko, nggak pernah nggak.
Apa rutinitas sehari-hari Bu Nanik?
ADVERTISEMENT
Waktu tidak menentukan saya, tapi saya yang menentukan waktu. Setiap hari, saya pasti bangun pukul setengah empat pagi. Saya kalau tidur kelamaan, badan justru jadi nggak enak. Mata saya seperti ada alarm otomatis. Kalau tidur, jadwalnya nggak menentu, kadang pukul 10 atau 11 malam, tergantung kondisi toko bagaimana. Saya tidur maksimal lima jam. Dan sampai sekarang sehat. Saking nggak bisa diamnya, anak-anak saya sampai bilang: “Mami ini jangan menyamakan orang lain dengan mami, nggak ada orang yang bisa sama dengan mami.”
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Berapa jumlah karyawan Bu Nanik saat ini?
Sekarang, saya memiliki karyawan sekitar 90 orang, dan 20 di antaranya, adalah karyawan yang sudah bersama saya dari dulu sekali. Saya sediakan tempat tinggal dan mess sendiri. Setahun sekali saya ajak outing, sesekali ajak makan keluar. Saya anggap keluarga saja.
ADVERTISEMENT
Bagaimana cara Bu Nanik memimpin karyawan yang berjumlah 90 orang tersebut?
Mereka saya anggap keluarga. Saya selalu menerapkan kepada mereka, bahwa jangan pernah menganggap pekerjaan yang ada di depan mata itu milik orang lain. Anggaplah itu pekerjaan Anda sendiri, tanpa harus menunggu orang lain yang mengerjakan. Dengan begitu, kita akan terlatih untuk melakukan yang terbaik dalam pekerjaan. Baik saat ada atau nggak ada bos.
Karyawan yang kerja bersama saya dari zaman catering masih ada sampai sekarang. Saya ini tegas. Kalau memang karyawan buat salah, ya saya marahi. Tapi kalau memang dia pekerjaannya bagus, loyal, membuktikan, saya akan appreciate mereka. Saya sudah membantu beberapa dari mereka untuk pergi umrah. Saya berpikir bahwa urusan uang itu bisa dicari, tapi kesempatan mereka untuk beribadah antara dunia dan akhirat itu tidak selalu ada kesempatannya. Saya umrahkan mereka sebagai modal mereka di kemudian hari.
Nanik Soelistiowati, pemilik gerai camilan Pisang Goreng Madu Bu Nanik. Foto: Gina Yustika Dimara/kumparan
Apa tips yang akan Bu Nanik berikan untuk perempuan muda yang ingin mulai berbisnis?
ADVERTISEMENT
Saya kalau ditanya jualan apa, saya nggak akan malu bilang jualan pisang goreng. Yang penting itu kamu jualan halal dengan cara yang halal juga. Pada akhirnya, semua itu UUD, Ujung-Ujungnya Duit.
Bagaimana dengan tips Bu Nanik untuk perempuan di atas 30-40 tahun yang ingin berbisnis tapi merasa takut untuk memulai karena menganggap ‘sudah terlambat’?
Nggak usah takut untuk memulai bisnis. Jangan segan untuk memulai. Kalau Anda ingin kerja, ya jangan takut untuk gagal. Namanya usaha, gagal itu ya termasuk ke dalam risikonya. Tapi jangan jadikan risiko tersebut sebagai penghambat.
Kalau mau mulai bisnis dengan modal yang kecil, ya nggak perlu muluk-muluk dulu. Mulai dari hal-hal sepele saja seperti makanan. Dulu saya hanya bermodalkan pisang sisa yang tidak termakan saat catering, lho. Bayangkan, jika 20 biji pisang nggak laku membuat saya pesimis, saya tidak akan seperti hari ini, kan? Jangan pernah takut karena usaha itu tidak akan berhasil kalau kita tidak memulainya.
ADVERTISEMENT
Tekun, ulet, dan mau berinovasi. Kita juga harus rajin menabung. Jangan sampai kita terbuai dengan uang yang dimiliki, sampai lupa untuk menabung.
Apa motto hidup Bu Nanik yang masih diyakini hingga hari ini?
Harus sukses, sehingga bisa membantu banyak orang.
Saya mulai dari nol, saya bukan konglomerat, saya hanya ibu rumah tangga biasa. Ketika mau mulai usaha, saya harus memilah-milah, melalui jalan yang panjang, menabung, untuk sewa tempat saja harus bertahap. Saya sebisa mungkin tidak ingin gegabah ambil modal dari bank. Saya harus menabung selama bertahun-tahun. Jadi harus sabar.
ADVERTISEMENT