Copa de Flores Memberdayakan Perempuan Lewat Tenun Ikat Sikka

16 Juli 2019 18:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pendiri Copa de Flores Foto: Dok. Copa de Flores
zoom-in-whitePerbesar
Pendiri Copa de Flores Foto: Dok. Copa de Flores
ADVERTISEMENT
Brand fashion Copa de Flores mempunyai cara berbeda untuk memberdayakan perempuan, yaitu melalui kain tenun Sikka, kain tenun khas yang berasal dari Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.
ADVERTISEMENT
Copa de Flores sendiri merupakan brand fashion lokal yang memiliki ciri khas bahan tenun ikat. Diluncurkan pada 2015 lalu oleh Maria Gabriella Isabella, Copa de Flores memiliki misi untuk membantu menyehatkan mental perempuan korban kekerasan, pelecehan seksual, dan kelompok disabilitas.
Pembuatan kain Sikka yang penuh kesabaran dan ketelatenan dianggap menjadi cara untuk menenangkan diri. Ketika proses mengikat tenun, mereka menumpahkan emosi dan isi hati melalui motif tenun Sikka. Hal ini diungkapkan oleh Maria saat kami temu dalam acara Media Interview yang diadakan Instagram pada Jumat (12/7) lalu.
Busana Copa de Flores Foto: Dok. Copa de Flores
Maria membangun brand Copa de Flores bersama tujuh orang sahabatnya sejak mereka masih di bangku kuliah. Mereka disatukan visi yang sama, yaitu memberdayakan perempuan. Maria yang berasal dari NTT duduk sebagai founder dan CEO. Ide awal terbentuknya brand ini adalah ketika Maria melihat banyaknya perempuan yang menjadi korban kekerasan dan human trafficking di NTT.
ADVERTISEMENT
Proses menenun yang memakan waktu tiga sampai empat bulan menjadi saran untuk menyembuhkan diri. Motif yang dibuat menggunakan daun lontar bisa menjadi gambaran kehidupan mereka, sehingga emosi tersalurkan dan membuat beban mental berkurang. “Menenun kan prosesnya lama dan hening. Nah, medium hening tersebut menjadi meditasi visual untuk merefleksikan diri mereka,” jelas Maria.
Maria menceritakan salah satu motif yang dibuat penenun dengan melibatkan perasaan mendalam. Awalnya, Maria tidak tahu bahwa kain itu memiliki arti yang begitu emosional. Ia hanya melihat keindahan motif. Namun saat memperhatikan secara seksama, motif yang terlihat adalah alat vital lelaki yang diapit. Maria menanyakan arti dari motif tersebut ke penenun. Maria mendapatkan jawaban bahwa motif itu diartikan perselingkuhan yang dilakukan oleh suami sang penenun.
ADVERTISEMENT
Bagi perempuan Sikka, kegiatan menenun tidak hanya menenangkan pikiran, tetapi juga bisa menjadi mata pencaharian tambahan mereka. Kebanyakan mereka berprofesi sebagai petani padahal penghasilan menenun tidak kalah menggiurkan. Selain itu, jika mereka masih mau menenun, mereka tidak hanya akan menambah pendapatan tapi juga menjaga warisan budaya.
Busana full tenun ikat Sikka Copa de Flores Foto: Dok. Copa de Flores
“Mereka dibina lewat tenun, Copa membeli produk mereka. Maka itu mereka suka konsultasi tren fashion dan warna. Jadi kami di sini bantu membangun,” ucap Maria saat ditemui di Workshop Copa de Flores di kawasan Ampera, Jakarta Selatan pada Jumat (12/7).
Selain memberdayakan perempuan, Copa de Flores juga memiliki misi untuk melestarikan kain Sikka. Tradisi menenun ini sudah mulai luntur di daerah asalnya, banyak perempuan muda atau nona yang kurang tertarik dalam menenun. Copa ingin kehadirannya membuat mereka kembali semangat membuat tenun ikat Sikka.
ADVERTISEMENT
“Kami bekerja dengan salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di Sikka, kami sempat ke sana dan ingin mendukung para nona-nona untuk kembali menenun. Mau menunjukkan, kami saja yang tinggal di kota suka dengan tenun,” tutur perempuan berusia 24 tahun itu.
Penenun ikat Sikka untuk Copa de Flores Foto: Dok. Copa de Flores
Dyandrastra Mairavida yang merupakan desainer Copa menambahkan, kebanyakan penenun di Sikka sudah berusia lanjut dan harus ada nona-nona yang meneruskan warisan ini agar tidak cepat hilang. Sedangkan budaya di Flores yang diperbolehkan untuk menenun hanya perempuan saja, begitu sudah memasuki masa menstruasi, mereka baru mulai belajar menenun. Sayangnya, kini banyak nona yang tidak ingin menenun, mereka cenderung ke luar kota dan mengenakan jins.
“Di dua desa, Doka Tana Tawa dan Umauta penenunnya berusia 70-80 tahun. Malah mereka suka konsultasi tren fashion dan warna ke kami. Kami bagian yang bagian pemasarannya,” tambah Maria.
Busana full tenun dan kombinasi Copa de Flores Foto: Dok. Copa de Flores
Copa menjual busana mereka yang berciri khas tenun ikat lewat pameran, bazar, dan Instagram. Menurut Maria, penjualan di Instagram cukup membantunya mendapatkan pelanggan bahkan dari luar negeri. Selain Instagram, Copa juga tersedia di Alun Alun Grand Indonesia, Pasaraya Store, Blok M & Chic Mart. Harga yang ditawarkan dimulai dari Rp 350 ribu untuk produk kombinasi tenun dan bahan linen, wol, atau katun hingga Rp 3 juta untuk busana full tenun.
ADVERTISEMENT
Copa de Flores juga menerapkan zero waste project yang merupakan upaya untuk mengurangi sampah pasca produksi. Salah satunya dengan membuat anting-anting dari sisa bahan tenun yang sudah tidak terpakai. Harganya pun cukup terjangkau, yaitu Rp 100 ribu saja.
Tertarik untuk membelinya, Ladies? Anda bisa cek koleksi mereka di akun Instagram @copadeflores.