Diskriminasi & Kekerasan Halangi Keinginan Perempuan Jadi Pemimpin

12 Juni 2019 17:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan karier. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan karier. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Adanya berbagai gerakan yang menyuarakan isu kesetaraan gender dan banyaknya perempuan sukses yang menginspirasi membuat perempuan saat ini tidak ragu untuk menggapai impian mereka. Meski begitu bukan berarti mereka tidak memiliki ketakutan sama sekali.
ADVERTISEMENT
Menurut riset baru yang dirilis oleh Plan International (organisasi badan amal hak-hak perempuan asal Amerika Serikat) menyatakan bahwa 9 dari 10 perempuan muda mengaku ingin menjadi pemimpin namun merasa takut nantinya mereka akan mengalami diskriminasi gender dan kekerasan seksual ketika sudah berada di level atas.
Hasil riset yang diluncurkan pada Women Deliver 2019 (konferensi terbesar di dunia yang berfokus pada kesetaraan gender) di Vancouver, Kanada pada 3-6 Juni lalu ini melibatkan hampir 10 ribu anak-anak dan remaja perempuan berusia 15-24 tahun yang tersebar di 19 negara. Survei tersebut kemudian dibuat kembali di Australia dengan melibatkan 314 orang berusia 15-24 tahun. Hasilnya, 81 persen anak-anak dan remaja perempuan di Australia percaya bahwa pemimpin perempuan diperlakukan tidak adil hanya karena permasalahan gender. Hanya 3 persen dari jumlah tersebut yang mengatakan pemimpin perempuan tidak pernah diperlakukan secara tidak adil.
Women's March. Foto: David McNew/ AFP
Sedangkan secara global, 9 dari 10 anak perempuan menyatakan mereka yakin bahwa dengan menjadi pemimpin mereka akan menerima perlakuan yang tidak adil. Dan 93 persen dari mereka setuju bila pemimpin perempuan mengalami kontak fisik yang tidak diinginkan di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
“Mengapa kita masih berada di titik ini pada tahun 2019? Kita seharusnya bisa melakukan yang lebih baik sekarang. Seperti perempuan-perempuan muda di mana pun, perempuan muda di Australia juga percaya diri dan ingin berhasil dalam karier mereka, tetapi mereka khawatir dengan apa yang akan terjadi nantinya. Perempuan tidak akan mau jadi pemimpin bila nantinya mereka mengalami kekerasan, dianggap tidak mampu, dan menghadapi pergolakan di berbagai titik," ungkap Susanne Legena, CEO Plan International seperti dikutip dari Marie Claire Australia.
Susanne Legena beranggapan bahwa perempuan di seluruh dunia, terutama di Australia tumbuh dengan melihat berbagai inspirasi dari perempuan kuat, cerdas, dan memiliki keberanian untuk melawan misogini dan sistem yang tidak mengusung isu kesetaraan.
Women's March. Foto: Valerie Macon/ AFP
“Di seluruh dunia, anak perempuan terlalu sering mendapat hambatan untuk mencapai posisi strategis. Beberapa ditolak untuk masuk ke sekolah tinggi, yang lain dipaksa menikah ketika remaja, dan banyak yang diberitahu bahwa hanya anak laki-laki yang diizinkan menjadi CEO atau Perdana Menteri. Tetapi di satu sisi, anak-anak perempuan juga yang meruntuhkan batasan-batasan tersebut, mendobrak stereotip gender di rumah dan komunitas mereka, membentuk gerakan global menuju kesetaraan gender dan membuktikan bahwa mereka dapat melakukan apa saja. Ketika kita mendengarkan anak-anak perempuan tersebut, kita mengubah dunia,” ungkap Susanne Legena.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian dari Plan International tersebut menjadi panggilan tidak hanya bagi sesama perempuan, tetapi juga bagi masyarakat di seluruh dunia untuk bersama-sama mewujudkan lingkungan kerja yang lebih ramah gender.
Diperlukan kerjasama dari berbagai sektor untuk mendukung perempuan- perempuan muda agar pandangan mereka berubah soal posisi perempuan di tingkatan yang tinggi. Jika semua itu terwujud, maka kita telah membuka kunci potensi yang luar biasa dari perempuan muda di seluruh dunia yang manfaatnya akan berdampak pada kesejahteraan secara global.