Women on Top

Founder COTTONINK Bicara Busana Inklusif untuk Perempuan Indonesia

31 Januari 2020 18:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Carline Darjanto, Owner dan Creative Director COTTONINK dan Ria Sarwono, Owner dan CMO COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Carline Darjanto, Owner dan Creative Director COTTONINK dan Ria Sarwono, Owner dan CMO COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Saat ini, kita mungkin sudah tak asing lagi dengan brand retail fashion lokal, COTTONINK. Dengan kualitasnya yang mumpuni, brand ini semakin banyak dijadikan pilihan oleh para perempuan, baik sebagai baju untuk bekerja ataupun untuk bersantai.
COTTONINK sendiri didirikan oleh sepasang sahabat yang sudah saling mengenal sejak SMP, yaitu Carline Darjanto dan Ria Sarwono. Meski awalnya dipasarkan melalui media sosial, brand yang didirikan pada 2008 itu telah berkembang pesat dan melebarkan sayap hingga ke empat buah pusat perbelanjaan di Jakarta, yaitu di Plaza Senayan, Senayan City, Kota Kasablanka, juga Pondok Indah Mall 2. Pada 2016, salah satu pendiri mereka, Carline Darjanto, bahkan mendapat pengakuan dari Forbes Asia, sebagai salah satu entrepreneur muda yang masuk ke jajaran ‘30 Under 30’.
Sukses meraih nama sebagai salah satu brand fashion favorit banyak perempuan, Carline dan Ria tak sekadar mengejar keuntungan melalui COTTONINK. Sembari menargetkan pertumbuhan bisnis, mereka juga kerap menyisipkan misi sosial dalam berbagai aktivitas brand. Misal, dengan membuat kampanye ‘#WomenEmpowerWomen’ pada Hari Kemerdekaan Indonesia untuk membantu memberdayakan perempuan, juga bekerja sama dengan British Council untuk menghadirkan peragaan busana inklusif pada pekan mode Jakarta Fashion Week 2020.
Selain itu, brand yang telah memiliki lebih dari 500 ribu followers di media sosial ini juga menaruh perhatian khusus kepada body issue. “Itulah mengapa kami menciptakan COTTONINK. Kami ingin membuat baju yang nyaman dipakai dan membuat perempuan lebih percaya diri,” ujar Carline saat ditemui di toko COTTONINK Senayan City beberapa saat lalu. “Ini bisa dilihat juga dari campaign kami yang sudah-sudah. Kami mengajak perempuan COTTONINK untuk be yourself saja,” lanjut Ria.
Baru-baru ini, kumparanWOMAN berbincang dengan Carline dan Ria mengenai berbagai hal. Mulai dari body issue, dunia fashion hingga seluk beluk berbisnis dengan sahabat.
Selengkapnya, berikut percakapan kami dengan Carline Darjanto dan Ria Sarwono untuk rubrik Role Model, collection Women on Top.
Role Model Women on Top edisi ketiga: Carline Darjanto (kiri) dan Ria Sarwono (kanan), founder brand fashion lokal, COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra, Argy Pradypta/kumparan
Bagaimana cara COTTONINK mengakomodasi bentuk tubuh perempuan yang beragam? Apakah dengan menciptakan sub-label spesial seperti plus size?
Carline: Background saya adalah fashion design. Dalam ilmu ini, ada cara untuk menjadikan siluet perempuan terlihat lebih kurus atau lebar. Untuk mengakomodasi aneka body type yang ada, caranya tidak hanya dengan sizing, walau itu memang penting.
Dulu, COTTONINK menjual pakaian all size. Tapi, sekarang kami memiliki berbagai size, dari small sampai extra large. Kami juga punya line COTTONINK Modest yang bajunya lebih panjang dan lebar. (Ini dilakukan) karena loose-nya perempuan yang ingin bajunya modest, berbeda dengan loose regular fit.
Kalau untuk plus size, kami belum punya. Tapi, COTTONINK memiliki customer dengan beragam bentuk tubuh, karena baju kami dibuat sedemikian rupa, sehingga tidak terlalu ketat saat dipakai.
Saat ini, trennya adalah berpakaian lebih loose dan tidak terlalu mempertontonkan bentuk atau lekuk badan dengan terlalu mendetail. Makanya, kita jarang lihat ada perempuan Indonesia yang memakai baju ketat dari atas sampai bawah. Walau mungkin ada, saya jarang melihat seperti itu.
Selain itu, saya ingin menunjukkan bahwa customer kami adalah orang-orang yang mencari baju yang comfortable dan enak dipakai sehari-hari, baik untuk pekerjaan atau keseharian mereka.
Carline Darjanto, Owner dan Creative Director COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Apa prinsip Anda dalam berusaha mengakomodasi keperluan para perempuan Indonesia?
Carline: Kami tidak mau mengubah perempuan, tapi kami ingin membuat mereka comfortable dengan menutupi bagian tubuh yang mungkin membuat mereka tidak percaya diri. Saya tidak bilang bahwa perempuan Indonesia tidak pede. Tapi, kadang ada perempuan yang tidak mau perutnya kelihatan gendut. Kami mengakalinya lewat siluet, garis, dan pattern bajunya sendiri. Saya usahakan agar perempuan lebih percaya diri saat memakai baju COTTONINK.
Apakah Anda setuju bahwa pakaian bisa menambah rasa percaya diri perempuan?
Carline: Pasti. Saya sangat mempercayai hal itu. Itulah mengapa kami menciptakan COTTONINK. Kami ingin membuat baju yang nyaman dipakai dan membuat perempuan lebih percaya diri.
Bagaimanakah caranya agar perempuan bisa merasa lebih percaya diri dalam berpakaian?
Carline: Sebetulnya, (kita) harus mengerti tipe badan sendiri. Seringkali, kesalahannya adalah karena enggak berani mencoba siluet yang baru. Kedua, karena merasa siluet yang dipakai adalah yang terbaik. Padahal, bisa juga dia salah. Baju yang dipakai malah mengurangi bentuk terbaik dari tubuhnya sendiri.
Selain itu, menurut saya, banyak perempuan yang masih menganggap dirinya tidak cocok memakai bentuk atau warna baju tertentu. Maka, yang terpenting adalah mengenali bentuk badan kita, kemudian berani terus mencoba. Karena, biasanya, mereka takut keluar dari zona aman. Mungkin, karena takut diketawain atau mendapat komentar buruk dari orang. Tapi, kalau itu bisa membuat mereka lebih baik, kan, kenapa enggak? Kadang, masalahnya bisa karena warna, panjang, atau siluet yang salah.
Ria: Buat saya, just try a size yang lebih kecil satu ukuran daripada biasanya. Karena menurut saya kita bisa jadi lebih rapi dengan menggunakan satu size yang di bawah.
Ria Sarwono, Owner dan CMO COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Berbicara tentang bisnis fashion, adakah tantangan yang secara khusus akan dihadapi oleh perempuan yang ingin masuk ke industri fashion?
Ria: Sebenarnya, business is business, ya. Mungkin, perempuan punya lebih banyak pertimbangan sebelum memulai, apalagi jika sudah berkeluarga. Tapi, ketika sudah dijalani, tantangannya sama saja (antara laki-laki dan perempuan).
Apa saran Anda bagi perempuan yang ingin mulai mendesain pakaian dan membuat bisnisnya sendiri?
Carline: Finding out about fashion itu boleh, lah. Jangan sekadar menganggap ini bagus, terus Anda mau bikin baju itu. Kenapa ingin bikin baju ini? Apakah kita mengerti kainnya? Tak ada salahnya memahami hal ini. Menurut saya, hal-hal seperti ini sedikit banyak membuat struktur kita kuat.
Selain itu, kami selalu berpikir bagaimana caranya agar customer, apalagi yang membeli online, merasa bahwa bajunya enak dipakai dan bagus di badan. Itu memerlukan kepedulian khusus. Jangan sekadar ingin membuat baju yang murah dan gampang dijual. Karena, belum tentu customer akan kembali kalau mereka merasa bajunya enggak enak dipakai atau langsung ciut setelah dicuci. Itu hal yang mungkin kecil, tapi sering enggak kepikir ketika baru memulai.
Ria: Dari saya, sarannya adalah bertahanlah. Kalau baru memulai, ya, jangan nekat. Pertimbangkan dengan matang. Business is business, kita invest sejumlah uang di situ, kita ingin ada return-nya dan syukurlah kalau ada lebih sedikit. Jadi, menurut saya, perhitungannya harus matang. Kita boleh bermimpi, tapi harus didukung dengan perhitungan.
Carline Darjanto, Owner dan Creative Director COTTONINK dan Ria Sarwono, Owner dan CMO COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Kalau dilihat, sebagian besar pegawai COTTONINK adalah perempuan. Apakah memang ada kebijakan khusus?
Carline: Ini bukan karena spesifik mau empowering women, tapi, perempuan memang sangat resilient di bisnis fashion. Bisnis ini detailnya banyak banget, kompleks banget. Satu baju banyak detailnya. Kebanyakan, yang bisa bertahan adalah perempuan, karena kerjanya mendetail dan menjalaninya juga lebih tenang. Kami juga punya pegawai laki-laki, tapi lebih banyak di manajemen warehouse, IT, system store, logistik.
Kalian sudah berteman sejak SMP, lalu kemudian membangun bisnis bersama. Apakah waktu itu tidak ada ketakutan dan pertimbangan khusus dalam berbisnis dengan sahabat?
Carline: Pas pertama kali membangun bisnis, kami tidak terpikir soal itu. Kami lumayan naif, lah. Tapi, kalau sekarang, pasti harus dipertimbangkan. Terutama, partneran bisnis itu (sebaiknya) jangan dari background yang sama, karena pasti berantem atau merasa bahwa dia lebih baik dari temannya. Jadi, misal satu jago di creative, marketing, ya, saya sebaiknya jago di tempat yang berbeda. At least ada dua skill yang berbeda. Enggak perlu semua departemen lengkap ada yang pegang. Saya juga awalnya enggak ngerti apa-apa saat mulai meniti bisnis sama Ria. Belajar sambil melakukan.
Ria: Mungkin, karena kami memulai bisnis pas masih muda, jadi kami enggak ada ekspektasi terhadap satu sama lain. Kami juga mungkin enggak terlalu keras kepala kali, ya. Mungkin kalau sudah umur segini dan mau partneran, akan lebih hati-hati dan matang perhitungannya karena sudah lebih banyak pengalaman. Tapi, dulu pas baru memulai, kami learning by doing. Ketika itu kami sekitar 20-21 tahun. Saya sangat merasa learning by doing kalau di COTTONINK.
Carline Darjanto, Owner dan Creative Director COTTONINK dan Ria Sarwono, Owner dan CMO COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Apa tantangan dan peluang saat berbisnis bersama teman?
Carline: Tantangannya mungkin ekspektasi ke teman, ya. Ekspektasi bahwa dia harusnya mengerti kita. Padahal, pekerjaan ya pekerjaan. Kita tidak pernah tahu, setiap orang kayak gimana cara kerjanya, cara komunikasinya, sampai kita kerja bareng. Jadi, tantangan utamanya lebih di situ sih.
Ria: Iya banget. Tahun pertama, kami sering banget berantem. Ternyata, yang lebih sering diberantemin ya karena hal sepele, seperti, “Eh, lo kok komunikasinya gitu sih?”. Hal-hal kayak gitu.
Carline: Masalah komunikasi, ekspektasi itu enggak akan pernah hilang sampai udah punya banyak karyawan. Tapi mungkin bedanya, sekarang komunikasi saya dengan Ria lancar. Yang sekarang jadi perhatian adalah komunikasi saya dengan manajer, kemudian manajer dengan staf. Itu yang harus kami sadari dan kasih tahu dari pengalaman pribadi. Soalnya, biasanya, yang membuat sebuah bisnis menurun produktivitasnya itu adalah masalah internal. Jadi, bukan karena market sedang lesu. Itu mungkin ada, tapi lebih ke masalah internal.
Bagaimana cara Anda mengatasi masalah ini?
Carline: Meeting. Keep update dengan semua staf.
Ria: Caranya ya meeting, kumpul. Communication is key. Mau di bisnis, di relationship, kuncinya itu. Kita bukan cenayang, jadi kita tidak tahu mereka berpikir apa.
Tapi apakah ada kelebihannya saat berbisnis dengan teman?
Carline: Ada. Enaknya, kalau kerja sama Ria, ngantor itu kayak sekalian berteman atau hangout. Ini berbeda dengan, misalnya, saat kita bekerja di tempat asing. Kalau baru bekerja di suatu tempat, kita mungkin merasa kurang enak dan enggak bisa curhat ke orang lain. Kalau saya dan Ria, karena sudah berteman dari lama, bisa cerita soal apa saja. Enaknya di situ, dapat quality time bersama teman tapi sekaligus ke kantor.
Ria: Kurang lebih, saya juga seperti itu. Saya merasa mendapat partner yang bisa tumbuh dan berkembang bersama. Karena, saya kenal Carline dari zaman SMP dan kami membuat bisnis ini bersama. Inilah yang saya hargai, di luar apa yang sudah kami raih hingga sekarang. Kami tetap berteman, bersahabat, atau bahkan lebih baik dari itu. Sekarang kami sudah punya keluarga dan anak masing-masing, perjalanan itu yang saya hargai.
Apakah ada tips untuk orang-orang yang ingin membangun bisnis bersama teman?
Ria: Jangan malu untuk membicarakan uang. Dalam semua hal, kita harus transparan. Ketika mau kerja bareng, kita harus membicarakan modal; Anda punya berapa, saya berapa. Beberapa bisnis terhambat karena awalannya tidak dinyatakan dengan benar.
Carline: Kalau dari saya, pisahkan antara pekerjaan dengan persoalan pertemanan. Misalnya, ketika saya menegur dan bilang pekerjaan dia jelek sekali. Ingat bahwa yang dikritik adalah pekerjaan, bukan pribadinya. Memang, ini tergantung orangnya juga. Tapi, terkadang, ada orang yang merasa bahwa kita harus lebih halus berbicara, karena kita temannya. Tapi, ada yang merasa bahwa karena ini pekerjaan, kalau ada yang salah harus ditegur juga. Sering bertengkarnya di sini.
Tips lain, pastikan visinya sama. Seringkali, visinya berbeda aja. Ada yang ingin menjadikan ini sebagai pekerjaan sampingan, ada yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan ini.
Ria: Ya, komunikasi tadi itu lah, ya. Apa pun harus diomongin, karena menurut saya business partner is like a life partner, even worse.
Carline: Kalau kata temanku, ini lebih buruk dari hubungan suami istri. Karena, suami dan istri bisa bercerai. Kalau business partner, berantemnya jadi jauh lebih susah dibandingkan perceraian. Istilahnya begitu. Bukan membuat jadi takut, tapi agar lebih wise aja.
Carline Darjanto, Owner dan Creative Director COTTONINK dan Ria Sarwono, Owner dan CMO COTTONINK. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten