Girls in Science, Upaya Mendobrak Stereotip Profesi Peneliti di Mata Perempuan

12 Agustus 2020 11:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan bisa menjadi apa saja termasuk menjadi peneliti. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan bisa menjadi apa saja termasuk menjadi peneliti. Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
ADVERTISEMENT
Di era modern seperti sekarang ini, perempuan sudah jauh lebih maju. Banyak perempuan yang mulai berani menyuarakan diri dan meraih segala hal yang mereka impikan, termasuk menjadi peneliti perempuan. Sebuah profesi yang selama ini masih sering didominasi oleh pria. Bagaimana tidak, data dari UNESCO menyebutkan bahwa jumlah ilmuwan perempuan di dunia baru mencapai angka 28 persen. Untuk di Indonesia sendiri angka tersebut baru mencapai 31 persen.
ADVERTISEMENT
Padahal di tahun 2015 UNESCO merilis laporan yang menunjukkan bahwa pelajar perempuan di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) cukup tinggi. Selain itu, jumlah mahasiswa perempuan lulusan bidang sains juga tidak sedikit, yaitu 52 persen. Namun angka mahasiswa perempuan tingkat doktor hanyalah 35 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang melanjutkan karier di bidang sains masih rendah.
Talkshow virtual, Girl in Science yang diselenggarakan oleh ForMIND Institute (ForTi), Sabtu (8/8). Foto: dok. YouTube
Ketimpangan gender di dunia penelitian ini menjadi perhatian tersendiri bagi sejumlah peneliti perempuan. Sastia Putri, peneliti perempuan sekaligus asisten profesor di Universitas Osaka, Jepang, serta managing director dari ForMIND Institute (ForTi), mengungkapkan bahwa sudah saatnya sesama peneliti membantu mendobrak stereotip yang selalu menyebutkan bahwa STEM atau dunia penelitian bukan tempat yang cocok untuk perempuan.
ADVERTISEMENT
Sastia Putri, peneliti perempuan sekaligus asisten profesor di Universitas Osaka, Jepang, serta managing director dari ForMIND Institute (ForTi). Foto: dok. YouTube
Oleh karena itu, Sastia bersama dengan ForTi menggagas acara webinar yang menghadirkan sosok peneliti perempuan profesional baik dari Indonesia maupun luar negeri dalam program talkshow virtual, Girls in Science: Even the Number! Talkshow ini bertujuan untuk menegaskan kembali adanya ketimpangan gender dimana jumlah peneliti perempuan lebih sedikit daripada laki-laki. Acara talkshow ini juga merupakan rangkaian dari kegiatan Girl in Science, setelah sebelumnya ForTi sudah menggelar World Class Scientist yang dihadiri oleh dua ilmuwan perempuan kelas dunia, yaitu Prof. Eriko Takano dari Manchester University dan Assoc. Prof Jessica Lasky-Su dari Harvard University.
Pada Sabtu (8/8) lalu, acara yang didukung oleh Kemenristek/BRIN, Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4), L’Oreal Indonesia, Pipiltin Cocoa, Nusantics dan IABIE ini digelar secara virtual melalui Zoom dan live di kanal YouTube Kemenristek/ BRIN.
Menteri Riset dan Teknologi/ Badan Riset Inovasi Nasional RI, Prof. Bambang Brodjonegoro dalam acara talkshow virtual, Girl in Science, Sabtu (8/8). Foto: dok. YouTube
Acara ini dihadiri oleh Menteri Riset dan Teknologi/ Badan Riset Inovasi Nasional RI, Prof. Bambang Brodjonegoro dan Plt. Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek/BRIN, Dr. Muhammad Dimyati; serta deretan peneliti perempuan serta beberapa CEO dari perusahaan berbasis penelitian dan teknologi. Ada Prof. Herawati Supolo Sudoyo (Wakil Kepala Eijkman Institute, ); Dr. Ines Atmosukarto (CEO Lipotek Pty & Diaspora Indonesia di Australia) ; Sharlini Eriza Putri, M.Sc (Co-Founder dan CEO Nusantics); dan Retno Wahyu Nurhayati Ph.D (Peneliti Sel Punca – IMERI-FK Universitas Indonesia
ADVERTISEMENT
Dalam virtual talkshow tersebut, mereka memaparkan pentingnya peran perempuan di dunia STEM dan apa saja yang perlu dilakukan agar jumlah peneliti perempuan terus bertambah hingga bisa setara dengan laki-laki. Sebab menurut Menristek Bambang Brodjonegoro, saat ini Indonesia tengah menyasar target menjadi negara maju di 2045.
Perbandingan jumlah tenaga profesional di dunia STEM yang masih didominasi oleh pria. Foto: Dok. YouTube
Untuk mencapai target tersebut, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah tingkat Labor Force Participation perempuan yang minimal harus mencapai angka 70 persen seperti negara-negara maju lainnya. Selain itu, menurutnya sistem ekonomi kita harus berubah dari ekonomi berbasis sumber daya alam menjadi ekonomi berbasis inovasi. Agar target itu bisa tercapai, dibutuhkan peran perempuan di berbagai sektor, termasuk dunia penelitian.
“Untuk menuju ekonomi berbasis inovasi, dibutuhkan proses research and development (R&D). Sektor ini tentu sangat berkaitan dengan dunia penelitian, dimana kita harus melakukan riset dan pengembangan agar bisa melahirkan inovasi itu sendiri. Dan kenyataannya, peran perempuan di Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi. Padahal menurut pengalaman saya, perempuan yang diberi kesempatan untuk bekerja di bidang-bidang tertentu memiliki banyak keunggulan dari laki-laki, mereka lebih teliti dan telaten,” jelasnya.
ADVERTISEMENT

Cerita Inspiratif Peneliti Perempuan

Selain membahas pentingnya peran perempuan dalam dunia penelitian, talkshow yang berlangsung selama dua jam itu juga membahas cerita inspiratif dari para peneliti perempuan yang bertujuan untuk memberikan motivasi bagi perempuan muda Indonesia yang ingin menjadi peneliti.
Prof. Herawati, Wakil Kepala Eijkman Institute sekaligus peneliti perempuan yang terlibat dalam riset genome DNA dari COVID-19 ini misalnya, ia berbagi mengenai suka duka menjadi peneliti yang harus menjalani multi peran. Mulai dari menjadi peneliti, pendidik, administrator, sekaligus menjadi ibu untuk anak-anaknya.
Prof. Herawati Supolo Sudoyo saat sedang bekerja di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang meneliti DNA COVID-19. Foto: L'Oreal Indonesia dan Eijkman
Begitu juga dengan Dr. Ines Atmosukarto, peneliti perempuan pertama yang menerima penghargaan L’Oreal-UNESCO- for Women in Science Indonesia ini rela berjauhan dengan keluarga demi menjalani profesi sebagai peneliti sekaligus perusahaan start-up berbasis penelitian dan teknologi. Kemudian ada juga peneliti Retno Wahyu Nurhayati Ph.D., yang memaparkan perjuangannya untuk menjadi peneliti di tengah kondisi ekonomi yang tidak mencukupi.
Dr. Ines Atmosukarto, CEO Lipotek Pty dan Diaspora Indonesia di Australia saat menghadiri acara talkshow virtual, Girl in Science, Sabtu (8/8). Foto: dok. YouTube
Bagi ketiganya, semua tantangan yang mereka hadapi selama menjadi peneliti ini harus bisa dijadikan pelajaran dan motivasi untuk mendobrak stereotip yang selama ini membayangi perempuan di industri STEM.
ADVERTISEMENT
Pada kesempatan ini juga, ForTi mengumumkan pemenang Lomba Essay Mahasiswi Nasional 2020 yang diadakan oleh ForTi untuk mahasiswa tingkat S1/ D1-D4 bertema ‘Girl in Science: Even the Number!’. Dari total 290 peserta se-Indonesia, lomba tersebut dimenangkan oleh Yuriska Nurhastuti dari Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. Sedangkan untuk juara runner up diraih oleh Ananda Grace dari Universitas Tadulako, Palu.